Minggu, 30 Desember 2018

4

Rin.du
Kumatikan lampu. Kurapatkan tirai jendela. Tak ada cahaya, kecuali yang mengintip di balik pintu. Kubiarkan saja sunyi menemani, duduk dingin di hadapanku.

Berdamai. Cinta enggan berlari. Dia datang, sebelum sempat kau kirimkan pesan. Menaruh rasa, saat kau ulurkan tangan. Tetap bersama, meski kau tlah meminta jauh pergi meninggalkan.

Sekalah linangan rindu. Tak perlu menahan, atau berusaha melepaskan. Cinta bukan sesuatu yang kuasa kau genggam. Dia bukan batu, lebih halus dari debu, lebih cair dari air. Cinta, dia diam dalam hatimu.

Dan, pada masanya nanti,
akan kutanyakan kata hatimu, sekali lagi.

27 Desember 2018




Rin.du
Mengajarkan bagaimana seseorang menjadi bagian hidup dari pasangannya, dan meresapi betapa berharganya "kita"

29 Desember 2018




Rin.du
Mereka mengitari. Mereka kandas di pelupuk mata. Sementara dia telah melabuh di mata hati. Dia menjelma sebagai pusat segala rindu yang tercipta, sebait anugrah Sang Pencipta.

30 Desember 2018

Kamis, 18 Oktober 2018

2

Dinda,
Begitu aku sebut dirimu dalam lirik doa.
Berharap saat esok tiba, terteguhkan jua hatimu dan hatiku.

Dinda,
Ini bukan perkara masa.
Sebab jika berbicara masa, entah sudah berapa ribu malam aku menanti hadirmu setanah-seudara di naungan langit utara.
Ini bukan pula perihal hikayat lama.
Sebab tak banyak waktu, hanya pintasan yang pertemukan kita, di balik layar atau bertatap-bercakap sembari melangkah berjalan.
Ini perihal keyakinan, perihal kepercayaan.
Tentang tarikan nafas, tentang dentuman jantung, tentang ketertundukan hati, tentang kesediaan melengkapi sebagai peneman hidup.

Dinda,
Cinta sejati tak tumbuh dalam relung persemaian ketidakjujuran.
Aku batalkan apa-apa yang buatmu meragu, aku menyayangimu bukan imajiku.
Aku nyaris tak peduli bila kau akan mengajukan syarat penantianku atas kesediaanmu.
Bagiku, membersamaimu lebih bernilai sebagai bentuk penghormatanku atas dirimu, seorang perempuan yang kini beranjak dewasa.

Sungguh,
Kaulah yang lahirkan keberanian diri untuk nyatakan cinta padamu, dan padamu pulalah cinta ini aku titipkan.





Selasa, 10 Juli 2018

Zonasi, Kecerdasan atau Perumahan?



Ada logika yang aneh dari penerapan zonasi. Iya, (anak) kita tidak dimotivasi untuk jadi murid yang cerdas secara akademis, tapi jadi murid yang cerdas merayu orang tua memindahkan rumah. Potret remaja yang riang berjuang dengan tumpukan buku untuk mempersembahkan yang terbaik. Diganti dengan potret remaja yang menggantungkan nasib di selembar KK.

Lebih kacau lagi, murid jadi lebih cerdas merayu orang tuanya berpura-pura miskin, demi SKTM. SKTM itu proteksi. (Mestinya) murid berusaha masuk dulu, nanti SKTM akan berfungsi setelah diterima. SKTM melindungi murid dalam proses pendidikan, bukan sebagai tiket masuk pendidikan. Hukumnya sama dengan si kaya, murid berusaha masuk dulu, perkara orang tua mau beri dukungan itu berlaku kalau sudah proses pendidikan.

Akankah berlanjut ke zonasi perguruan tinggi? Kalau iya, zonasi juga calon pemimpin daerah supaya tidak lompat ke daerah lain. Supaya ketika dalil keadilan itu diucapkan tidak bergelayut sebelah. Tidak ada perguruan tinggi favorit, tidak ada kota atau provinsi favorit.

Hierarki itu selalu ada, alamiah, termasuk pada individu -hierarki kecerdasan akademis. Hierarki itu perlu penyikapan, bukan zonasi pengkotakan.

Jumat, 06 Juli 2018

1

Sajak menyeruak di perbatasan,
di antara raut nyata dan maya.
seperti rona di langit bermega
berpapasnya surya dan purnama
beri alasan untuk aku

Kontemplasi sampai pada simpulan,
bahtera menemukan sandaran
pembasuh luka didera ombak
padamu jua aku berpulang
beri alasan untuk aku

Perihal hati tempatnya menaruh rasa,
beri alasan untuk aku tidak mencintaimu,




Senin, 14 Mei 2018

Kami Tidak Takut: Dalil Kontroversi Psikologis


Turut berduka cita atas kejahatan kemanusiaan Bom Surabaya. Dan pasca kejadian, muncullah dalil #KamiTidakTakut, yang sesungguhnya mengandung kontroversi. Mengapa?

Pertama, dalil #KamiTidakTakut merupakan bentuk psy war yang (justru) membangkitkan kembali benih-benih perilaku teror. Meskipun benih, faktanya kita masih sulit memberantas secara paripurna. Ya. Ini sejatinya bukan perkara siapa takut dan siapa tidak takut, karena memang bukan level tawuran antar kelompok. Negara tak seremeh itu; posisinya jauh lebih tinggi, jauh lebih kuat.

Kedua, dalil #KamiTidakTakut jika mengalami pengulangan perilaku teror dan efek berjatuhannya korban, malah melemahkan dalil itu sendiri. Hari Rabu (9/5) muncul pasca kerusuhan, hari Minggu (13/5) terjadi Bom di Surabaya dan Sidoarjo, serta lagi-lagi Senin (14/5) Bom di Surabaya. Bung, mekanisme otak tidak mengenal kata "Tidak". Maka residu yang tertinggal hanyalah: ketakutan.

Ketiga, dalil #KamiTidakTakut mestinya disubtitusi dengan dalil eling lan waspada (red: ingat dan waspada). Repetisi himbauan agar masyarakat untuk waspada, dan aparat untuk siap siaga. Menjaga ruang-ruang publik. Senyap, menindak benih-benih teror, di manapun, entah di gereja, entah di masjid, entah di jalanan perumahan. 

Minggu, 28 Januari 2018

Agama dan Politik


Kampanye sebagai sebuah bentuk persuasi massa kian marak akhir-akhir ini. Apalagi kalau bukan gegera tahun politik. Ya. Juni 2018 kita disuguhkan pilkada di 171 daerah, dan pada Agustus 2018 nanti racik-racik komposisi Presiden-Wakil Presiden 2019 sudah dimulai.

Saya mengamati setidaknya kandidat-kandidat bakal calon kepala daerah di empat provinsi besar. Belum juga diresmikan KPUD, kampanye beraroma agama sudah harum terasa.

Kampanye dengan mengkategorisasikan diri dengan agama (satu dari empat unsur SARA) adalah sah dalam politik. Sebab yang dilarang adalah merendahkan SARA yang lain. Dari kaca mata pemilih pun, memilih berdasarkan ajaran agama jelas merupakan kemerdekaan masing-masing.

Bicara soal politik dan agama, kita ingat nasihat dari Bapak Presiden Jokowi, "Pisahkan Politik dan Agama!"

Alih-alih memisahkan diri dari agama, di Pilkada 2018 ini, politisi justru giat mendekatkan diri pada identitas, aktivitas, dan tokoh agama. Apapun asal partainya. Yang biasanya jarang sowan kyai, sekarang maraton silaturahmi. Yang tidak berkerudung, sekarang sudah menutupi rambut dengan sehelai kain. Makam pinisepuh ulama pun ramai bunga dan untaian doa.

Dalam hal pendekatan terhadap simbol agama, siapakah yang sebenarnya politisi sedang sasar? Apakah pemilih rasional? Jelas bukan. Politisi itu sedang menyasar pemilih sosiologis, pemilih yang menyandarkan keputusan berdasarkan identitas sosial. Sejumlah penelitian pun menegaskan pemilih rasional, jumlahnya tak lebih dari 35%. Artinya, pemilih sosiologis itu sangat potensial.

Sebagai penutup, saya memiliki asumsi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pemilih sosiologis. Saya tidak yakin semua pemilih mengerti (atau setidaknya hafal) visi-misi politisi kandidat itu. Tapi saya sangat yakin pemilih tau betul apa agama, partai, dan darimana kandidat itu berasal.

Rabu, 10 Januari 2018

Mengapa Pemilih Rasional?




Sejumlah analis politik mengarahkan agar masyarakat menjadi pemilih rasional, yang berbasis pada prestasi kerja. Seolah tipe pemilih lain, seperti pemilih sosiologis, psikologis, dan relasional, perlu segera dimetamorfosiskan. Pemilih sosiologis dituding SARA, pemilih psikologis dibilang labil albaper.

Pemilih rasional itu memang bagus, tapi agaknya ada sisi unggul tipe pemilih lain yang terabaikan. Pemilih sosiologis, contohnya, mempunyai pertimbangan aspek sosial dan kewilayahan yang futuristik, memandang preferensi keberpihakan (pengambilan kebijakan) calon pemimpin jauh di masa yang akan datang. Mempertimbangkan proses dan hasil senyawa identitas sosial.

Contohnya, perilaku pemilih Jawa Tengah. Pemilih Jawa Tengah mempunyai sejarah mengantarkan calon pemimpin dengan modal elektabilitas di bawah 10% menjemput kemenangan di atas 40%. Mengapa? Banyak masyarakat Jawa Tengah merupakan pemilih relasional. Siapa pun bila berelasi dengan partai tertentu, pasti akan dipilihnya.

Calon muda atau yang baru injak kaki masuk politik, tentu tak sebanding dengan orang lama atau petahana. Dalam prestasi mengelola pemerintahan, maksudnya. Ikhwal itulah pemimpin baru hadir menawarkan ide, gagasan. Di sini ada kalanya logika tipe pemilih rasional sulit menjelaskan hal itu, namun justru rentan digunakan untuk merendahkan calon baru.

Ya. Inilah demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berdiri di bumi Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa dalam pemilihan umum seolah keragaman itu mesti dilangkahi? Kiranya tidak perlulah masyarakat digiring cepat-cepat menjadi pemilih rasional. Mengalir. Nikmati saja. Toh, kalau itu baik, pasti juga ke arah sana.

Selasa, 09 Januari 2018

Tipe Pemilih dalam Pemilu



2018 adalah tahun politik. Awal sampai pertengahan tahun ada diramaikan dengan Pilkada, sementara mulai tengah tahun kita sudah akan menyaksikan bursa calon Presiden dan Wakil Presiden.

Kita akan menggunakan hak pilih. Pertanyaannya kita cenderung sebagai pemilih yang mana?

Pertama, Pemilih Sosiologis
Pemilih yang mendasarkan pada atribut identitas sosial seperti suku, agama, golongan, dan kewilayahan. Pemilih ini ada. Apakah SARA? Iya. Makanya, saya pribadi heran, mengapa pemilih tidak boleh memilih berdasarkan SARA. Yang tidak boleh itu merendahkan SARA pihak lain. Kalimatnya beda tipis, tapi maknanya jauh berbeda.

Kedua, Pemilih Psikologis
Pemilih yang mendasarkan pada magnet personal (calon) pemimpin. Kecerdasan, kharisma, keterkenalan, adalah beberapa di antaranya.

Ketiga, Pemilih Rasional
Pemilih yang mendasarkan pada kinerja (calon) pemimpin. Histori prestasi dan hasil kerja menjadi bagian yang akan menjadi atensi dalam memilih pemimpin.

Keempat, Pemilih Relasional
Pemilih yang mendasarkan pada keterkaitan. Pemilih tidak melihat asal, prestasi, dan personality (calon) pemimpin, tapi lebih kepada bagaimana menelisik keterkaitan (calon) pemimpin dengan sosok panutannya.