Rabu, 03 Desember 2014

Menimbang Kebebasan Mahasiswa (Kedaulatan Rakyat, 2 Desember 2014)



oleh Alfaruqy M. Zulfa
mahasiswa S2 Magister Psikologi Sosial UGM, alumnus Psikologi UNDIP
bergiat di Forum Psikologi Progresif Indonesia


Dua pekan sudah pemerintahan Jokowi-JK menaikkan harga BBM (17/11). Dua pekan itu pula gejolak terjadi di tubuh masyarakat. Sebagian kontra dan sebagian lagi pro. Dalih pihak kontra dilandaskan atas “keganjilan” keputusan menaikkan harga saat harga minyak dunia sedang turun. Imbasnya bisa ditebak. Indonesia mengalami inflasi yang pada gilirannya merangsang kenaikan komoditi lain. Adapun dalih pihak pro dilandaskan atas keyakinan manfaat pengalihan subsidi untuk kebutuhan berbagai sektor strategis dan demi melunasi janji 3 kartu sakti: Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Dinamika yang berkembang menunjukkan banyak mahasiswa berada di pihak kontra, Demonstrasi menuntut penurunan (kembali) harga BBM pun digelar di berbagai daerah. Di Yogyakarta, teman-teman mahasiswa berdemonstrasi di Jalan Solo-Yogyakarta (18/11). Sempat terjadi kerusuhan berupa pelemparan batu dan pengrusakan pos polisi. Beruntung, tidak ada korban jiwa.
Di tanah Makassar, setelah hampir sepekan mereda, demonstrasi rusuh lagi-lagi terjadi. Adalah mahasiswa Universitas Muslim Indonesia yang melakukannya. Mahasiswa dibantu masyarakat bentrok dengan polisi di depan kantor Gubernur Sulsel (27/11). Naas! Satu korban bernama Ary (17) tewas. Belum jelas apa penyebabnya. Beberapa media mengatakan bahwa ia tertabrak water cannon, sementara media lain mengatakan bahwa ia terkena benda tumpul.

Merenungkan Demonstrasi
Upaya mahasiswa mengkritisi kebijakan pemerintah sejatinya patut kita apresiasi. Mahasiswa yang didaulat sebagai penyambung lidah masyarakat berperan sebagaimana mestinya. Yang disayangkan dari demonstrasi mahasiswa seantero tanah air ini adalah beberapa diantaranya berakhir rusuh yang mengarah pada vandalisme. Bahkan menjadi sangat tragis lantaran menyebabkan nyawa orang melayang.
Seperti yang kita ketahui bersama, di setiap demonstrasi ada agenda setting yang sudah disepakati dengan aparat keamanan. Artinya, aksi demonstrasi telah legal karena dinilai tidak berbahaya. Namun ketika demonstrasi berujung pada tindakan berbahaya seperti bentrok dan pengrusakan fasilitas, masyarakat pun resah dan bertanya-tanya: apa yang sesungguhnya terjadi? Apa motivasi mahasiswa? Demi si(apa)kah aksi dilakukan?
Keresahan masyarakat tersebut tentu patut direnungkan dengan saksama. Ada dua hipotesis yang dilematis. Pertama, mahasiswa terjebak pada keinginan pragmatis eksistensi. Eksistensi menunjuk pada kebutuhan manusia untuk meng-ada (Abidin, 2007). Kedua, mahasiswa tersandera perilaku agresif akibat tidak mampu mengontrol emosi dalam satu kerumunan massa. Agresi di sini merujuk pada perilaku fisik maupun verbal dengan tujuan menyakiti (Sarwono, 2007).

Bebas yang Bertanggungjawab
Demonstrasi sebagai bagian dari kebebasan menyampaikan pendapat ialah hak semua warga, termasuk mahasiswa. Kita bisa menengoknya dalam konstitusi yang dijabarkan lebih lanjut pada UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Disebutkan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu bentuk penghargaan atas hak asasi manusia.
Barangkali yang sering terjadi kini adalah hak kebebasan menyampaikan pendapat tanpa sadar sering mereduksi sisi empatik untuk menghargai hak orang lain. Dalam kajian psikologi komunikasi, ini dipahami sebagai bentuk dominasi seseorang saat menyampaikan pesan. Akibatnya, tumbuh keengganan untuk mendengarkan orang lain.
Atas dasar itulah, penting untuk direnungkan: jika memang tujuan demonstrasi adalah memperjuangkan suara masyarakat, demonstrasi (hendaknya) berangkat dari kesediaan mendengar aspirasi bahwasanya masyarakat tidak ingin terpasung dalam keresahan. Jika memang demonstrasi berupaya memperjuangkan hak asasi manusia, bukankah lebih baik kita berangkat dari menghargai hak asasi itu sendiri?
Sungguh, semua pihak tidak ingin terjadi penurunan kepercayaan (decline of trust) kepada mahasiswa. Oleh sebab itu, mahasiswa sebagai insan terdidik perlu menimbang ulang kebebasan dalam menuangkan aspirasi. Menjadi sosok teladan guna merubah arah demonstrasi rusuh menuju domonstrasi edukatif, solutif dan bertanggungjawab. Hidup Mahasiswa Indonesia!

Jumat, 28 November 2014

MERANGKAI DALAM: Mozaik Tenun Cinta dan Doa



 dari dan untuk ZU/LFA


MENEMPATKAN DOA

Tatkala bunga tak menghendaki bertemu matahari,
mendekat menyinarinya bak langkah yang melayukan
Menempatlah sebagaimana adanya,
menyaksikan mekaran nan sempurna

Bilamana senja adalah kebaikan,
maka sang kala jualah yang menentu:
mengiya atau meniadakan sama sekali
Sinaran kan memeluk setia

dalam doa, dan senyum

14 November 2014



MELETAK-SINGGASANA

Pergi, lari, jauh
Benci, sakit, lara
Tegar, berdiri, sendiri

Angin berhembus lirih
matahari naik separuh
Harimau mengaum kencang
di atas taman
Tegak, beranjak,
Menghilang dan kembali ke rimba
Menyinggasanakan rasa dan nalurinya
Meletakkan kebodohan
Menebas semak-semak bersuara parau

Peduli apa?

27 November 2014



MENENUN CINTA

Ada pengorbanan tanpa cinta,
tapi keberadaan cinta senantiasa menghadirkan pengorbanan.

Apa itu cinta?
Kita mempertanyakan dia subjek atau objek, kita jua mempertanyakan dia berasalan atau tidak,
Bagi yang menganggapnya beralasan, cinta mestilah ada pengetahuan, tanggungjawab, perhatian dan penghormatan. Bagaimana mungkin mencintai tanpa paham apa dan siapa yang dicinta(?)
Bagi yang menganggapnya tidak beralasan. Ya, itulah cinta yang sebenarnya; sampai-sampai tak tau bagaimana menafsirkannya.

Apa makna cinta?
(1) Cinta adalah anugrah Tuhan.
Anugrah? Dia adalah pemberian dari Maha Cinta
Given, yang bekalnya diberikan kala ruh ditiupkan
(2) Cinta adalah aktivitas "mengalami" dan memiliki objek, yaitu reraga. Pada gilirannya, dia melahirkan makna yang terekam oleh memori keakuan dalam lingkup kekitaan; sang pengamal cinta

Cinta yang seperti apa?

Ada cinta tanpa pengharapan,
tapi ada pengharapan tanpa cinta

Ada cinta tanpa hasrat,
Ada cinta tanpa kelekatan,
Ada cinta tanpa kekuatan, namun
Ada pula cinta tanpa ketiganya
Malam ini kau meng-ada.
Kau hadir menyanding, memadu-kasihkan
bersama cinta yang kuat, yang berhasrat, dan yang lekat.

Yang dirundung rasa,

28 November 2014

Minggu, 16 Maret 2014

Mengobarkan (Kembali) Nasionalisme



Mengobarkan (Kembali) Nasionalisme
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro


Bangsa Indonesia adalah kita. Bangsa Indonesia adalah kita yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk menjadi khalifah di bumi nusantara. Bangsa Indonesia tidak lain dan tidak bukan ialah kita yang senantiasa mengobarkankan semangat kebangsaan di singgasana hati. Sungguh, sebuah kebanggaan tersendiri menjadi bagian dari in-group yang sedang menata(p) masa depan.
Ibarat menanam padi, kita tidak bisa hanya menanam identitas diri sebagai pemilik sah Republik Indonesia tanpa merawat dan menjaga sebaik-baiknya. Kita butuh pupuk yang bernama nasionalisme dan aliran air kepedulian. Beruntungnya kita adalah pupuk dan air itu tidak disediakan cuma-cuma, tetapi perlu usaha keras untuk mendapatkannya. Bukankah sesuatu yang diusahakan dengan saksama jauh lebih bermakna (?)

Nasionalisme
Nasionalisme mengajarkan kita untuk setia pada bangsa. Mengutip kata Searle-White (dalam Houghton, 2008), nasionalisme merupakan identifikasi individu dengan kelompok yang memiliki kesamaan. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa karena penentuan nasib sendiri untuk menciptakan sebuah negara merdeka. Identifikasi tersebut ialah hasil dari proses kognisi yang pada gilirannya memunculkan sense of belonging pada bangsa.
Nasionalisme bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Kita merdeka adalah buah dari semangat nasionalisme para pendiri bangsa. Dalam konteks kekinian, seorang nasionalis ditandai dengan adanya komitmen terhadap persatuan, martabat, dan kesejahtaraan negara, bahkan ketika tidak menyukai pemerintah. Pertanyaannya sekarang, masihkah kita mencintai tanah air ini?

Mengobarkan (Kembali)
Konsep mengobarkan kembali nasionalisme, berhubungan erat dengan bagaimana kita mengoptimalkan tiga komponen sikap yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Sebuah studi yang dilakukan peneliti pada mahasiswa PTN di Jateng dan DIY tahun 2013 menunjukkan bahwa nasionalisme adalah sebuah perasaan bangga serta cinta terhadap bangsa yang diwujudkan dalam tindakan. Perasaan bangga (afeksi) sebagai bangsa diawali oleh pemahaman tentang potensi dan masalah negara (kognisi).
Perasaan terhadap bangsa dimanifestasikan dalam perilaku (konasi) yang sederhana, antara lain: autokritik atas kondisi bangsa, menggunakan bahasa dan produk Indonesia, mengedukasi mahasiswa dan masyarakat, serta mempersiapkan diri untuk berkontribusi di masa depan. Apabila kita cermati, nasionalisme bukanlah konsep transendential, melainkan konsep nyata yang dapat dikobarkan dalam diri manusia Indonesia.
Siapakah yang bertanggungjawab pada proyek besar ini? Ya. Proyek besar tersebut bisa berjalan hanya jika dilakukan secara kolektif. Butuh goyong-royong dari keluarga, organisasi, media massa, pendidikan, agama, dan setiap diri kita. Sungguh, nasionalisme sangat diperlukan pada masa sekarang. Nasionalisme kita tidak sedang dihadang oleh perang, tetapi dihadapkan pada lelaku menjaga kedaulatan Indonesia sesuai bidang yang ditekuni. Yakinlah, Indonesia adalah bangsa yang besar. Wallahu a'lam bishawab.

Referensi:
Houghton,D.P.(2008). Political Psychology. New York: Taylor&Francis.