Jumat, 29 Desember 2017

Menanggapi CELUP

Ruang publik digunakan untuk aktivitas pacaran yang menjurus ke mesum. Yang melaporkan dituding menganggu privasi. Logika macam mana ini. Justru perilaku mesum tadi yang menganggu pemandangan publik.

Mata awam kita masih sehat untuk
membedakan hal itu.

Memang pelaporannya mesti ditujukan kepada dinas yang berwenang, bukan diupload dan jadi konsumsi netizen. Saya turut mengapresiasi mahasiswa yang membuat desain Celup. Itulah mahasiswa, perlu dibimbing. Kalau saya jadi dosennya saya beri A. Kenapa? Sensitivitas kepedulian sosial itu tak ternilai harganya. 

Minggu, 24 Desember 2017

Bertanya tentang Petasan



Jelang akhir tahun seperti ini, saya sering teringat masa kecil, seusia sekolah dasar. Sebagai mantan pemain petasan, saya selalu mempertanyakan, mengapa petasan sering dirazia?

Di saat yang sama, di tengah kota, di pusat keramaian, di televisi, petasan pasti digunakan untuk perayaan akhir tahun oleh pejabat. Mengapa pejabat tidak dirazia?

Saya pun bertanya lagi, petasan yang dipakai pejabat tadi diproduksi sama siapa? Barangkali para pembuat petasan bisa kerja di situ, para penjual bisa beli di situ, dan masyarakat bisa nyalakan petasan seperti itu.

Selasa, 19 Desember 2017

LGBT

Kekinian zaman, bhinneka tunggal ika makin sering didengungkan. Sesanti di pita cengkraman Pancasila itu semakin banyak diucapkan. Secara normatif itu sangat bagus.

Yang disayangkan ialah banyak pihak yang berlindung di balik kebhinnekaan (keragaman). Bahwa keragaman mereka harus dihormati. Sementara ada tunggal ika diabaikan.

Misalnya, LGBT. Sejumlah aktivitas meminta keragaman itu dihormati. Tapi mereka lupa, LGBT merusak, mengoyak nilai luhur bangsa. Menciderai sila-sila dalam Pancasila.

Minggu, 10 Desember 2017

Profil Politik Manusia Indonesia



Saya baru mengamati isu sosial-politik 10 tahun terakhir dan mempelajari psikologi 7 tahun. Dalam perjalanan pengamatan ini saya membuat beberapa simpulan profil politik manusia Indonesia.

Pertama, pemahaman parsial-egoistik. Indonesia tahun 1950 mencantumkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika seiring dengan diresmikannya Garuda Pancasila sebagai lambang negara. Bhinneka (beragam) tunggal ika (persatuan). Kata bhinneka lebih sering digunakan dari pada tunggal ika maupun kalimat utuh bhinneka tunggal ika. Agaknya keparsialan ini pada gilirannya terinternalisasi dan menjadikan kita potensial memiliki diri egoistik. Sementara kita sering lupa ikrar ketunggalikaan.

Kedua, pengagungan kelompok. Seperti kita ketahui Indonesia ini beragam suku, ras, agama, dan golongan. Kesetiaan itu melekat dalam memori kolektif bangsa, mungkin karena kita pernah hidup dalam kerajaan-kerajaan dari Hindu Budha hingga Islam. Feodalistik itu masih menjadi prototipe, sehingga kesetiaan diberikan kepada kelompok. Saat itulah mereka merasa bahwa kelompok (dan pemimpinnya) adalah paling benar dan paling benar.

Ketiga, manusia sosiologis-psikologis. Manusia Indonesia lebih melekatkan diri dalam ikatan sosiologis seperti kesukuan, agama, dan kewilayahan serta psikologis seperti kekaguman pada pemimpin. Sisi rasional hanya sebatas manfaat transaksional, bukan rasional formal sebagaimana yang dipahami saat ini seperti atensi pada kinerja maupun kompetensi. Rasional lebih cenderung sebagai mekanisme pertahanan karena melarang SARA dan untuk menunjukkan seberapa terdidik dia. Hanya sedikit orang yang benar-benar rasional.

Dst tulisan ini masih berlanjoet

Sabtu, 09 Desember 2017

Bung Karno Perlu Mbeguru Sampeyan



Dalam sejarah bangsa Indonesia, Pancasila mengandung lims dasar yang sangat ideal. Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial. Hampir dapat dipastikan semua orang sulit menjadi manusia sesempurna seperti yang diidealkan tersebut. Karena itulah, Pancasila ditempatkan sebagai philosophische gronslag.

Sekarang, di alam demokrasi yang agak mengarah ke oklokrasi ini, Pancasila justru dijadikan alat untuk menjustifikasi perilaku kelompok (tertentu) setelah mengangkat diri, mengaku sebagai juru tafsir. Satu jari mendeklarasikan diri sebagai manusia Pancasila, empat jari memprasangkai orang lain.

Bicara soal Pancasila, tentu kita tidak bisa lepas dari manusia multi dimensional yang bernama Soekarno. Soekarno konon turut andil dalam membidani kelahiran Pancasila 1 Juni 1945. Soekarno tidak pernah sekalipun mengkatakan bahwa dirinya adalah penggagas Pancasila, apalagi mengaku sebagai si Pancasila itu.

Bung Karno dalam tulisan-tuliasannya mengatakan bahwa Pancasila digali dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Butuh 15 tahun, atau bahkan lebih, mengkaji-merenungi. Dari Sukamiskin, Ende, Bengkulu, sampai kembali ke Jakarta, menguji dan terus menguji embrio Pancasila.

Teruntuk Pengaku Pancasilais,
Kok sampeyan (kamu) mengatakan paling Pancasilais. Andai Soekarno masih hidup, mungkin dia sangat ingin bertemu sama sampeyan, perlu mbeguru sama sampeyan.

Kamis, 07 Desember 2017

Anies dan AHY, Ca(wa)pres?



Nama Anies dan AHY kian moncer dalam bursa capres - cawapres. Mengapa? Anies adalah pemenang kompetisi di ibu kota. Sementara AHY, meski kalah di kompetisi yang sama, adalah sosok muda yang tak pantang menyerah untuk membangun kepercayaan publik dengan rajin berkunjung ke daerah-daerah.

Ulasan ini tidak lepas dari pertimbangan konstelasi politik sekarang yang mengerucut pada Jokowi dan Prabowo.


Peluang Anies Capres
Gubernur Anies berada pada kondisi yang berbeda dengan Gubernur Jokowi. Jokowi memang memakai ibu kota sebagai batu loncat untuk pencapresan 2014. Bagi Anies, melakukan hal serupa jelas menjadi tantangan yang besar. Kala itu, Jokowi tidak menghadapi petahana (presiden maupun wapres), karena SBY sudah dua periode dan Boediono nyaris tidak bergerak sama sekali dalam bursa. Saat ini, jika maju pencapresan, Anies menghadapi Jokowi.

Selain itu, Anies tidak berafiliasi pada partai. PKS sebagai pengusungnya di DKI1 terlalu kecil untuk membentuk koalisi. Gerindra juga masih mempunyai ambisi mencalonkan Prabowo sebagai capres. Kecuali, Prabowo legawa memberikan "tiket" untuk Anies. Tapi sepertinya, tidak mungkin karena dalam berbagai konsolidasi internal, Prabowo tampak masih siap tarung ulang di 2019.

Melihat hal itu, jika pilihan Anies capres atau tidak capres? Maka sebaiknya, Anies tidak capres. Daripada capres lebih baik Anies bertahan saja sebagai DKI1. 2024 barangkali beda urusan.


Peluang AHY Capres
AHY sebagai putra mahkota SBY jelas memiliki dukungan dari Demokrat. Demokrat berpengalaman dalam membentuk serta memimpin koalisi. Jika koalisi partai tidak cukup besar, maka Jokowi masih tertalu tangguh untuk seorang AHY.

Demokrat termasuk partai yang mengharapkan MK membatalkan ambang batas pencalonan presiden 20%. Jika tidak ada ambang batas pencalonan, AHY mungkin saja capres, tapi untuk tujuan lain, yakni mendongkrak perolehan legislatif Demokrat. Kemungkinan AHY kalah sangat besar, dan konsekuensinya AHY semakin tercitrakan sebagai orang yang kalah.

Melihat itu, jika pilihan AHY capres atau tidak capres? Maka sebaiknya, AHY juga tidak capres. AHY butuh waktu untuk mematangkan diri.


Peluang Anies - AHY Wapres
Peluang cawapres, masih sangat mungkin bagi Anies dan AHY. Bahkan, boleh dikatakan 2019 adalah ajang pemilihan cawapres yang tepat untuk Jokowi maupun Prabowo. Keduanya membutuhkan cawapres, yang memiliki basis massa tersendiri untuk memperluas dukungan.

Pertama, Prabowo - Anies kurang bagus, karena Anies memiliki basis massanya yang hampir sama. Kedua, Prabowo - AHY lumayan, AHY memiliki basis massa yang berbeda, tapi keduanya sama-sama berlatar belakang militer sehingga perlu dipertimbangkan lagi. Ketiga, Jokowi - Anies bagus, tapi pertanyaannya mampukan Anies membawa basis massa yang hampir sama dengan Prabowo. Keempat, Jokowi - AHY sangat bagus, karena AHY memiliki basis massa yang berbeda dan bisa melengkapi Jokowi, pertanyaannya apakah Mega - SBY siap jalin komunikasi?

Rabu, 06 Desember 2017

212: Gerakan (Lama) yang Terbarukan


Sudah sekian waktu tidak menulis, dan mungkin ini yang sangat tepat. Seperti judulnya kali ini saya mau bahas tentang fenomena gerakan 212. Sekadar menjelaskan posisi, saya tidak pernah ikut 212 baik 2016 maupun 2017. Jadi, izinkan saya membahas dengan sudut pandang sebagai penikmat isu sosial.

Baik, yang dimaksud gerakan 212 memang tidak bisa lepas dari 2 Desember 2016, yang pada intinya adalah mendukung proses hukum pelaku penistaan agama, yang kebetulan ialah Ahok. Gerakan itu begitu besar dan akan gagal dijelaskan jika hanya melihatnya dengan kalkulasi politik dan materialistik. Saya sebutnya sebagai gerakan iman.

Gerakan ini jika kita perhatikan sudah ada dalam memori kolektif sebagian masyarakat Indonesia. Perihal apa? Ya, memori kolektif untuk mewujudkan negara yang di dalamnya terselenggara nilai-nilai keislaman (red: tidak sama dengan Negara Islam). Sejak kapan? Setidaknya sejak awal abad ke-19, ketika tumbuh subur beberapa organisasi pergerakan bernafas Islam. Di saat yang sama muncul pergerakan nasionalis, dan beberapa lainnya.

Nah, semangat keislaman ini kemudian tersatukan dengan gerakan lain pada 1928, 1945-1949, serta pada masa Orde Baru. Ketiga waktu ini memiliki faktor pemersatu masing-masing yang khas. Sebab itulah, dalam kajian psikologis kita tak bisa abai dengan konteks sosialnya.

Pertanyaanya, apakah semangat itu hilang sama sekali? Tidak. Ada masa surut dan pasangnya. Sekitar 1950-1959, semangat keislaman itu masih diperjuangkan. Lihat bagaimana Masyumi - PNI, silih berganti mengisi kepemimpinan kabinet antara lain Natsir dan Burhanudin Harahap. Lihat juga bagaimana, konstituante tak kunjung mencapai hasil mutlak seperti harapan Soekarno. 55% menginginkan UUD 1945, sementara 45% menginginkan UUD dengan mengakomodir (lebih banyak) aspirasi Islam sebagaimana dijanjikan Soekarno saat terjadi perbedaan pendapat antara Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo tanggal 18 Agustus 1945.

Saat Orde Baru berkuasa, dalam narasi pembangunan, nyaris (di)ti(a)dak(kan) perbedaan. Pasca kejatuhan Orde Baru, semangat itu tumbuh lagi. Salah satunya termanifestasi melalui menjamurnya partai politik Islam, yang jika dikuantifikasikan dalam presentase masih di bawah capaian tahun 1955. Namun pada perkembangannya, beberapa partai politik Islam ini dalam kadar dan situasi tertentu, belum bisa memenuhi sepenuhnya idea keislaman, di antaranya yang paling utama ialah menyangkut penegakan keadilan.

Alhasil, muncul ke permukaan gerakan terbarukan bernama 212. Kendati tidak semua organisasi Islam resmi menyatakan diri, agaknya memang anggota dari seluruh organisasi ada di situ. Jika semangat 212 hanya sekadar praktis untuk mendukung proses hukum pelaku penistaan agama, kiranya akan paripurna di tahun 2016 saja karena Ahok sudah ditahan di Mako Brimob. Nyatanya, kemarin hari, 212 masih melakukan konsolidasi gerakan dengan tajuk Reuni.

Apakah ini mengandung unsur politis? Setiap yang mempengaruhi kebijakan dan persepsi sosial adalah perilaku politis. Kita berbagi berita merupakan akualisasi jiwa politis. Pun sama, saat berbagi sepeda atau berbagi argumentasi di laman media sosial. Dan, saya menulis ini pun boleh jadi politis. Maka, perdebatan politis - tidak politis bukan sesuatu hal yang esensial.

Selanjutnya, saya pribadi sangat yakin 212 atau dengan nama lain, akan terus ada, senantiasa berdialog dengan kawan lamanya --nasionalisme. Lebih dari itu, menjalar pula kapitalisme dan liberalisme. Yang demikian yang tentu menarik atensi publik, berikut identifikasi dirinya: saya lebih condong ke mana(?)

Dalam keputusan mengambil jalan demokrasi, yang demikian merupakan dinamika yang lumrah. Bukankah kita sudah sepakat tentang sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Kita tidak bisa sewaktu-waktu memilih bhinneka (perbedaan) saja atau tunggal ika (persatuan) saja. Kecuali, kita sudah hanyut menjadi pengikut setia media massa bertuan. Salam.