Rabu, 11 Oktober 2017

Gadis yang Terluka



Dia adalah gadis remaja, umurnya baru belasan. Seperti remaja pada umumnya, dia dalam suatu pengembaraan identitas.

Gadis itu menyusuri jalan. Lurus, enggan berbelok. Namun, suatu ketika, tibalah pada persimpangan jalan. Dia mulai lelah, dia tampak kebingungan memilih jalan. Jalan yang begitu-begitu saja, yang menurutnya mulai menjenuhkan, atau jalan yang lain(?)

Dia pejamkan matanya. Dibiarkan langkah kaki yang memandunya.

Saat membuka mata, dia sadar jalan yang dipilih tidaklah seirama dengan apa yang sudah dilaluinya. Dari belakang terdengar suara amak, apak dan sanak keluarga memanggilnya untuk kembali.

Namun dia abaikan, karena di sepanjang jalan baru itu dia menemukan sesuatu yang belum pernah ditemui, sesuatu yang lebih menantang. Matanya terbuka lebar-berbinar, menandakan suasana hati nan gembira. Kemudian dikeluarkanlah kertas dari tas jerami. Dia menulis, dan terus menulis. Dia menulis setiap pengalaman dan mambagikannya kepada setiap orang di tepi-tepi jalan.

Orang yang membaca sungguh terkesima akan kelihaiannya meramu kata(k)ata. Bagaimana tidak? Beberapa saudagar ulung pembawa berita telah mencatat namanya. Perempuan bermata tajam laksana surya pun menyebut-sebutnya sebagai gadis pandai yang menggenggam pita kebhinnekaan. Bahkan pedepokan terpandang di seantero negeri tak sungkan mempersilakan bertandang untuk mengalirkan ilmu kepada orang-orang sepuh yang belajar di situ. Puncaknya, menteri keluhuran budi diminta oleh Sang Raja untuk memanggul gadis itu ke istana. Hampir seluruh negeri mengelu-elukannya.

Di kemudian hari, aku melihat tulisannya mulai disangkali. Dia letih, tak mengerti dengan semua yang dialami. Meninggi langit dan terhempas seketika. Hari ini, dia jatuh dan terluka. Tapi mereka yang sudah meninggikan, seolah bisu. Kemana wahai kau raja? Kemana kau menteri? Kemana kau ki ageng? Kemana kau perempuan bermata surya(pal)? Oh, kemana kau saudagar-saudagar penyebar berita?

Gadis ini terluka. Tidakkah kau memanggilkan seorang tabib untuk meredakannya?

Luka itu begitu menganga, bukan hanya di tubuhnya, tetapi karena seperti sabdamu banyak anak-anak negeri sudah terlanjur mengikuti jejak langkahnya. Akankah mereka terluka jua pada akhirnya?

Jumat, 06 Oktober 2017

CCTV Tilang



Hari ini saya lagi mau bahas soal CCTV untuk tilang kendaraan bermotor. Ya. Di tengah kenaikan pajak dan harga berbagai komoditas, agaknya beban masyarakat masih ditambahi dengan tilang via CCTV. Di beberapa kota besar sudah berlaku. Hayo ngaku siapa yang suka langgar lalu lintas?

Menurut saya, kebijakan ini paham betul karakteristik manusia Indonesia yang kurang disiplin dan sedikit agak nekad. Saya semester kemarin beri tugas mahasiswa buat artikel seputar remaja. Seorang mahasiswi mengkritisi CCTV untuk mengawasi siswa yang ujian nasional di kelas. Yang pasti CCTV ini berfungsi "menilang" siswa yang ngepek (membaca bahan contekan) dan nirun (mencontek teman). Intinya, menindak siswa yang berbuat curang. Yang menarik, di situ masih ada guru sebagai pengawas. Artinya, ada dua media pengawasan yakni guru pengawas (man) dan CCTV (machine). Dalam kajian praktik kecurangan di area pendidikan, keberadaan pengawas merupakan simbol superordinat yang membuat pihak subordinat taat pada aturan.

Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan CCTV untuk tilang kendaraan bermotor? Apakah masih ada pengawas (man) dalam pelaksanaannya? Jika polisi lantas sebagai pengawas masih ada di TKP (misal traffic light) tentu sifat CCTV adalah sebagai komplemen dalam pengawasan. Adapun, jika CCTV bersifat subtitusi maka personel polisi lantas bisa dikurangi. Menurut saya, ini penting untuk diperjelas bagaimanakah sifatnya. Jangan sampai tumpang tindih.

Landjoet. Apakah CCTV tilang ini murni untuk mendidik kedisiplinan masyarakat atau untuk kepentingan lain, seperti membiayai proyek infrastruktur? Kalau untuk mendidik masyarakat, ini jelas patut diapresiasi dan didukung. Tapi kalau untuk membiayai proyek, ini menjadi tanda tanya besar. Seakan paradoks. Jika untuk membiayai proyek infrastruktur, penerapan CCTV tilang ini kurang strategis. Lhoh kok?

Iya. Sebaiknya CCTV tilang ini dipasang di gedung dewan. Kita lebih terdesak untuk menilang anggota dewan terhormat yang tidak disiplin. Tidur di saat rapat atau malah membirkan kursi kosong sama sekali. Barangkali akan menarik jika monitor aktivitas mereka bisa live sebuah channel televisi khusus, sehingga bisa disaksikan jutaan pasang mata. Selanjutnya anggota dewan yang terkena tilang harus membayar kepada masyarakat daerah pemilihan, sebagai pemegang kedaulatan. Dukungan pembangunan infrastruktur di daerah lebih jelas. Waktu pemilu juga ada data anggota petahana ditilang berapa kali, supaya tidak salah pilih. Saya rasa ini juga mendidik disiplin. 👌😊