Selasa, 02 Oktober 2012

Di Balik Sejarah (Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2012)



Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Sejarah adalah kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat, dan peradaban. Demikian kata Herodotus, Bapak Sejarah. Atas dasar itu, secara bijak, peradaban menempatkan manusia sebagai pelaku sekaligus penulis kronologi sejarah bangsa yang jujur apa adanya.
Salah satu sejarah pilu bangsa kita ialah G30S/PKI. Konon, berlatarbelakang perebutan kuasa, gerakan ini menghembuskan isu dewan jendral dan dengan sadis membunuh perwira AD seperti Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Brigjen D.I. Panjaitan, serta Brigjen S. Siswomiharjo. Bereaksi; rakyat yang sebagian besar mahasiswa pun menghendaki pembubaran PKI. Maka dengan wewenang pemulihan keadaan, Mayjen Soeharto mengabulkan panyuwunan tersebut.
Itu sekilas gambaran duka 1 Oktober 1965 dini hari versi literatur sejarah yang termuat di buku diktat kala kita duduk di bangku sekolah. Buku yang secara sistematis masuk dalam alam bawah sadar dan memberi imagery kisah pemberontakan berdarah.

Alur Tunggal
Satu di antara banyak ciri penulisan sejarah Indonesia ialah kental akan alur tunggal. Alur tunggal memuat satu konten narasi sejarah dan merupakan alat paling manjur dalam pembentukan ingatan kolektif masyarakat (collective memory).
Dalam konteks G30S, ingatan kolektif berperan besar guna memunculkan nama tujuh pahlawan sebagai korban, PKI sebagai tokoh antagonis, serta pembubar PKI sebagai tokoh protagonis. Meski menuai keganjilan, mengenai siapa sebenarnya dalang di balik sejarah, sebagian besar kita teguh meyakini apa yang telah ditulis pewarta sejarah. Hanya sedikit yang sangsi, dan terlalu sedikit yang sungguh hati ingin merekontruksi ulang secara jujur.
Bila boleh jujur, sejatinya terlalu banyak masa lampau yang patut dipertanyakan ke-sahih-annya. Namun apa boleh buat, kuasa penguasa Orba begitu kuat. Keganjilan bak suara hati yang diam menyaksikan alur tunggal mengoceh tak ada lawan. Ya. Alur-alur pengganggu dicitrakan sebagai tutur tinular yang (sengaja) dimatikan atau dibiarkan mati sendiri dalam ruang hampa.
Peringatan-peringatan karya Orba juga menyirat multifungsi, yang salah satu fungsinya memperkuat jalan cerita. Seberapa penting atau seberapa benar, tak terlalu dipersoalkan. Belum lagi monumen-monumen yang kokoh berdiri untuk memperkokoh narasi pilihan atau film dengan efek audio-visual nan kuat yang sengaja dicipta demi memperkuat emosi dan belief.

Kisah Lainnya
Kembali melihat G30S. Bila kita amati, yang paling kerap bersenandung dalam diktat sejarah ialah kisah pembunuhan dewan jendral, dilanjutkan pembubaran PKI. Namun apakah benar cerita pilu tersebut membilang angka tujuh sebagai jumlah korban? Apakah hanya pembubaran PKI, sebagai buntut Tri Tuntutan Rakyat? Kiranya tidak.
Kesadisan peristiwa penculikan dini hari nyatanya berujung penumpasan (balik) besar-besaran terhadap anak negeri yang tegak di bawah bendera palu-arit. Benedict Anderson tahun 1985-an memperkirakan 500.000 sampai 1 juta jiwa melayang sia-sia, tersebar seantero nusantara. Mengerikan. Penumpasan ini membantai anggota, simpatisan dan keluarga yang tak tahu menahu perihal kudeta. Sedemikian cepat kala itu, sehingga rakyat tak sempat membaca analisis lain seperti analisis yang menyebut G30S sebagai persoalan internal TNI/AD, atau kudeta Soeharto terhadap Soekarno, atau rekayasa Soekarno, atau konspirasi Aidit/Soekarno dan Mao Zedong, ataupun provokasi asing  (Sulastomo, 2008).
Sungguh, sejarah memang sebuah oase mencari kebenaran masa lalu, namun tak jarang pula ada yang memanfaatkan sebagai alat pembenaran. Malahan kita kerap larut sebagai pelaku sejarah dengan kepentingan tertentu; dan secara sukarela kita pun mewarisi apa yang Hamdi Muluk sebut sebagai ingatan palsu.
Maka, budaya triangulasi mesti kita lakukan. Sebab sudah menjadi tanggungjawab moral seluruh masyarakat, kususnya insan mahasiswa untuk tanggap memaknai peristiwa, dan menguak dalang di balik layar sejarah. Di samping terus mencari kebenaran saat menulis sejarah dalam konteks kekinian zaman. Gusti mboten sare.

Jumat, 27 Juli 2012

Keluarga dan Lahirnya Generasi Pembaharu (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Keluarga adalah hulu bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat, menjadi tempaan pertama bagi lahirnya generasi pembaharu. Keluarga berkontribusi nyata terhadap kemunculan sosok pemimpin dan teladan di setiap masa untuk kaumnya.

Soekarno (1901-1970), misalnya. Ia ialah satu dari sekian banyak putra bangsa yang mencusuar berkat sepak terjang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di bawah asuhan Raden Soekemi Sosrodihardjo ‘sang ayah’ dan Ida Ayu Nyoman Rai ‘sang Ibu’, Soekarno kecil tumbuh mandiri. Menjelang masa remaja ia menetap di pondok kediaman H. O. S. Tjokroaminoto untuk menimba ilmu di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya sekaligus mengasah kemampuannya dalam berorganisasi.

Contoh lain ialah Nabi Muhammad (571-632). Muhammad merupakan tokoh dunia yang membawa cahaya bagi peradaban dunia. Michael Hart dalam buku The 100, menempatkannya di urutan pertama. Bagaimana Muhammad kecil? Ya. Karena Abdullah, ‘sang ayah’, sudah meninggal ketika masih dalam kandungan, ia tumbuh di bawah asuhan ibu, kakek, dan paman. Ia yang menjadi penggembala dan pedagang, tumbuh dewasa sebagai pribadi yang berakhlak mulia.

Esensi Keluarga
Friedman (1998) mengartikan keluarga sebagai kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang sebagai bagian dari keluarga. Keluarga memegang fungsi afektif, reproduksi, ekonomi, dan sosialisasi.

Fungsi afektif terkait dengan pemenuhan kasih sayang dan kebutuhan psikologis. Fungsi reproduksi terkait pelanjutan keturunan. Fungsi ekonomi terkait pemenuhan kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan minum. Sedangkan fungsi sosialisasi terkait penanaman nilai dan norma dalam suatu budaya.

Keluarga memegang andil yang luar biasa bagi tumbuh kembang anak. Pasalnya pola asuh keluarga berpengaruh terhadap kepribadian anak. Seorang psikonalisis, Sigmund Freud, percaya bahwa masa lalu (ketika masih anak-anak) mempengaruhi seseorang di masa kini dan nanti. Adapun Bandura dengan aliran behavior meyakini bila perilaku merupakan modeling pada seorang figur, tak terkecuali dalam hal ini anak yang modeling pada keluarga.

Bagaimana dengan “keterpurukan” pemimpin kita kini? Jawabannya pun sama. Keluarga memegang peran yang penting dalam penanaman pondasi kepribadian mereka. Meski pada perjalanannya juga dipengaruhi oleh masyarakat dan sistem. Jadi, sebaik apapun asuhan keluarga, bila tidak diimbangi oleh asuhan masyarakat dan sistem, maka hasilnya juga akan (cenderung) nihil.

Generasi Pembaharu
Generasi pembaharu sangat dinanti di tengah gonjang-ganjing keindonesiaan kita. Generasi itu diharapkan membawa perubahan sekaligus perbaikan yang nyata di semua lini. Generasi itu juga diharapkan mampu memimpin bangsa ini dengan kearifan dan kejujuran.

Lantas bagaimana ikhtiar kita menghadirkan generasi tersebut? Yang pasti generasi itu tidak datang tiba-tiba. Mereka tak lahir secara instan, tetapi lahir, dibesarkan dan dididik dengan kasih sayang. Mereka harus dibuai dengan nilai-nilai luhur yang mengakar budaya. Mereka mesti diajarkan perihal kecintaan pada negara (nasionalisme). Dan pangkal dari perwujudan cita-cita mulia ini berawal dari keluarga.

Keluarga yang mengalun indah menempatkan rumah sebagai surga (baiti jannati). Artinya di dalam rumah terdapat keluarga yang saling mendamaikan hati. Terdapat pula hubungan hangat penuh harmoni antara orangtua dan putra-putrinya. Sehingga proses transfer nilai-nilai kultur maupun religius dapat berlangsung dengan baik.

Maka kembali kita pertegas bahwa kedudukan keluarga sangat penting, bahkan sampai (jauh) menyangkut perbaikan suatu bangsa. John Locke pernah berkata bahwa seseorang yang lahir itu ibarat kertas putih, lingkunganlah yang memberikan warna terhadapnya.

Sungguh, terkait generasi pembaharu adalah tanggungjawab bersama. Sinergi antara elemen-elemen, mempermudah kinerja sebuah keluarga. Tak ada yang tak mungkin, bila kita terus berusaha. Semoga ada jalan bagi peradaban bangsa. Dari keluarga untuk Indonesia Jaya.

Minggu, 20 Mei 2012

Setelah 14 Tahun Reformasi (Kedaulatan Rakyat, 15 Mei 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Empat belas tahun sudah, reformasi bergulir mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selama itu pula, di setiap tahunnya, kita senantiasa dibawa dalam pengkajian menarik bertemakan memori Mei 1998.

Ya. Masih terekam jelas dalam arsip negeri. Betapa dahyat gelombang reformasi bergaung di tiap sudut kota seantero nusantara kala itu. Tuntutan mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat membahana menghendaki peletakan kekuasaan Sang Maestro Pembangunan. Singkat kisah, tarik ulur kesepakatan berpuncak pada 21 Mei 1998 tepat pukul 09.00 WIB, saat dimana tuntutan massa “dikabulkan” oleh pemerintah.

 Sorak sorai, sujud syukur, dan tangis bahagia para demonstran menjadi cerminan rasa puas. Rasa puas atas pertaruhan tenaga, luka, nyawa, harta dan benda yang dibayar lunas dengan kukutnya rezim penguasa tiga dekade. Pula rasa puas penuh harap akan digelarnya lembaran baru yang lebih baik di tanah air tercinta.

Epifani Negeri
Reformasi 1998 sejatinya merupakan epifani negeri yang berdampak luas bagi dinamika keindonesiaan kita. Reformasi menjadi pemutus rantai Orde Baru sekaligus awal bagi sebuah masa pembaharuan yang ideal. Dengan kata lain, reformasi berfungsi sebagai gerbang penyambung antara dua tujuan dalam kesatuan harapan.

Namun, dalam praktiknya, reformasi hanya nampak menjadi pemutus rezim belaka. Peristiwa nan penting itu bak teater megah tanpa skenario yang berbenang merah. Bagaimana tidak? Sampai detik ini, pembaharuan yang dilakukan, tak jua selaras dengan pencapaian kesejahteraan sosial. Pembaharuan dibiarkan berjalan terkatung-katung tanpa konsep proporsional yang baik dan benar.

Selain itu, ramai pembenahan sistem pada masa peralihan tak diimbangi dengan pembenahan nurani para pembesar negeri. Yang demikian, diestafetkan hingga kini. Bahkan makin parah. Sebut saja sektor pendidikan yang bermetamorfosis menjadi pendidikan yang kental akan unsur komersial; atau sektor ekonomi yang digiring ke arah kapital; ataupun sektor politik yang merujuk pada politik liberal dengan orientasi kekuasaan.

Belum lagi minimnya atmosfer “edukasi” dalam masyarakat terkait demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Hasilnya mudah ditebak; masyarakat cenderung bersikap pasif atau kalau tidak, bersikap aktif namun tak faham tentang duduk persoalan. Ironis. Padahal tegaknya suatu negara mensyaratkan partisipasi aktif dan partisipasi yang tepat oleh rakyat.

Sebuah Ikhtiar
Sebagai negara yang berasas fundamental Pancasila maka salah satu langkah awal ialah menghadirkan (kembali) Pancasila di bumi Indonesia. Pasalnya, bila kita amati, banyak sekali problematika sosial dan kejanggalan usaha-usaha kesejahteraan diakibatkan karena hilangnya penghayatan Pancasila dari episentrum penyelenggaraan negara - baik ditinjau dari kebijakan publik maupun kebijakan sosial - dan kehidupan bermasyarakat.

Menghadirkan kembali di sini tidak berarti melakukan (lagi) pola indoktrinasi, tetapi implementasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai-nilai tersebut harus diejawantahkan dalam kesatuan yang berintegrasi antara satu dengan yang lain.

Stagnansi dan regresi 14 tahun reformasi juga dapat diatasi dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mengabdikan diri untuk negara dan melayani kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang menggelontorkan rupiah saat meminta kuasa, lalu mengeruk rupiah saat berkuasa. Mengutip pernyataan Inu Kencana Syafiie dalam Kuliah Umum Sosial : 14 Tahun Reformasi di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (5/5), maka pemimpin yang dibutuhkan bangsa Indonesia sekarang ialah dia yang mampu melakukan harmonisasi antara ilmu, moral dan seni.

Sungguh, persoalan bangsa-negara menuntut ikhtiar semua lapisan masyarakat. Pun demikian terkait reformasi. Akan hampa perjuangan aktivis kala itu, bila tak diimbangi dengan perbaikan di masa sekarang. Semoga hari ini lebih baik dar hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Salam sosial.

Gonjang-Ganjing Demokrasi (Kedaulatan Rakyat, 3 April 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Demokrasi. Kata yang satu ini tentu sudah tak asing lagi bagi kita. Demokrasi mengandung dua unsur kata, yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Kekuasaan rakyat. Dengan demikian dalam suatu pemerintahan, idealnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

Demokrasi dalam pemikiran Abraham Lincoln diterjemahkan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sekali lagi itu idealnya. Di Indonesia sendiri, demokrasi telah mendapat kesepakatan bersama oleh para founding father. Namun berbeda dengan negera lain, demokrasi kita didasarkan pada permusyawaratan perwakilan.

Pasang surut penyelenggaraan demokrasi telah mewarnai indah perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998) hingga Demokrasi Era Transisi (1998-sekarang). Meski berbeda praktik, tapi sebenarnya semua berpijak pada satu tujuan mulia, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jalan Terjal
Secara matematis, masa kejatuhan Orde Baru telah melewati tahun ke-13. Namun demokrasi tak kunjung menemui titik perbaikan. Bagaimana tidak? Bakuhantam kepentingan selalu dikedepankan tanpa melihat kebutuhan rakyat. Neraca sejahtera makin menunjukkan ketimpangan. Bahkan kemiskinan terus lestari di antara megah-mewah kehidupan para penguasa negeri.

Jika diperhatikan, demokrasi kita seperti berjalan tanpa pedoman pokok. Kehadirannya mengalir begitu saja. Rakyat pun dibiasakan dan atau membiasakan diri pada meriah dentuman demokrasi, tapi tidak sampai menyentuh wilayah hakikat.
Kita ambil contoh penolakan BBM yang memanas menjelang 1 April. Gonjang-ganjing berawal dari wacana pemerintah memangkas subsidi BBM, dengan alasan menyelamatkan APBN lantaran mengikuti kenaikan harga dunia. Maka, mengatasnamakan kepentingan rakyat, demontran yang terdiri dari mahasiswa dan beberapa elemen lain bergerak menyuarakan penolakan. Bumi pertiwi kian panas. Demonstran dan “penjaga keamanan” terlihat beringas layaknya pasukan perang yang adu kekuatan.

Dari situlah, tampak kontaminasi terhadap hakikat demokrasi. Kekuasaan rakyat, oleh sebagian orang “termaknai” sebagai kebebasan tanpa aturan (lawlessness freedom). Aksi vandalisme lantas dianggap lumrah. Belum lagi aksi-aksi yang berakhir pada bentrok dengan pihak yang notabene dibela (warga setempat). Pertanyaan pun menyeruak, kalau begitu sebenarnya demonstran membela siapa? Bijakkah vandalisme itu?

Menggugat
Bila kita telah menentukan sebuah metode penelitian, maka kita akan melakukan penelitian berdasarkan metode tersebut. Demikian halnya pada penyelenggaraan pemerintahan. Ketika kita sudah sepakat pada demokrasi, maka kita wajib malakukan semua hal dengan menggunakan rule-nya demokrasi.

Sosok pemimpin negara demokrasi haruslah berangkat dari hati rakyat. Asumsi bahwa pilihan dari dan oleh rakyat dapat mewakili aspirasi rakyat memang masih perlu dukungan serta tindakan nyata. Sebab banyak fakta menyiratkan jika perwakilan hanya berhenti pada proses pemilihan. Artinya pemilihan umum hanya dipakai sebagai alat mendapatkan hak perwakilan dan hak kekuasaan. Adapun esensinya telah menguap bersama janji-janji.

Terkait permasalahan nasional, seharusnya pemerintah mampu melihat, mendengar dan merasakan apa yang menjadi keluh-kesah rakyat. Sehingga dapat diambil keputusan yang bijak dan masuk akal. Tapi kata “seharusnya” tak berbanding lurus dengan fakta “senyatanya”. Kembali menyinggung soal BBM, pemerintah terkesan apatis dan menutup hati. Pihak Senayan juga tak menentu karena pecah suara. Kondisi inilah yang memunculkan parlemen jalanan. Tapi tetap saja, anarkisme dan vandalisme tak bisa dibenarkan. Oleh sebab itu, kiranya kita perlu membaca ulang budaya, yang konon katanya santun, ramah dan faham unggah-ungguh.

Memang tak mungkin melaksanakan satu per satu kepentingan 237 juta penduduk Indonesia. Tapi masih sangat mungkin meluruskan hati untuk senantiasa berikhtiar mewujudkan negara kesejahteraan sosial. Pasti ada jalan.

SNMPTN : Sebuah Ironi (Joglosemar, 19 Maret 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro – Semarang

Seleksi penerimaan mahasiswa baru sejatinya merupakan wahana bertemu dua pihak berkepentingan, yakni perguruan tinggi dan calon mahasiswa. Bagi perguruan tinggi, seleksi penerimaan mahasiswa baru adalah sarana untuk menjaring calon mahasiswa yang secara potensi dan kompetensi sesuai dengan jurusan. Sedangkan bagi calon mahasiswa dimanfaatkan untuk mendapat perguruan tinggi dan jurusan sesuai peminatan.

Namun sayang, baik SNMPTN yang bersifat kolektif nasional maupun Ujian Masuk (UM) yang bersifat mandiri di setiap perguruan tinggi, sama-sama rentan praktik perjokian. Bila kita amati, modus praktiknya makin beragam; mulai dari yang “tradisional” sampai yang terkoordinir rapi menggunakan peralatan high technology. Tarif pun bervariasi dari jutaan hingga ratusan juta rupiah, tergantung pilihan jurusan.

Berbagai kecurangan peserta di beberapa Panitia Lokal (Panlok) SNMPTN 2011, seakan menjadi bukti eksistensi para joki. Terang saja, fenomena gunung es ini membuat geram insan pendidikan. Pasalnya, masih sangat dimungkinkan ada banyak kecurangan lain yang belum terungkap. Ironis sekali. Seleksi yang diharapkan dapat meminimalisir nepotisme, malah memunculkan ketidakjujuran calon mahasiswa.

Menyikapi problematika tersebut, maka peran optimal elemen-elemen terkait merupakan sebuah kewajiban. Antisipasi panitia yang membedakan tipe soal berdasarkan tahun kelulusan pada penyelenggaraan SNMPTN tahun lalu patut diterapkan lagi tahun ini. Pengawasan pun harus diperketat dengan menambah jumlah pengawas. Antisipasi sejenis kiranya juga bisa diterapkan oleh perguruan tinggi yang memakai UM sebagai jalur masuk.

Hal nan tak kalah penting adalah kesadaran peserta untuk belajar dan tidak memanfaatkan joki dalam melenggangkan cita-cita. Sebab proses belajarlah yang membuat kita resisten pada tantangan perkuliahan dan masa depan. Adapun orangtua seyogyanya tidak memaksakan kehendak, apalagi memfasilitasi putra-putrinya untuk memakai jasa perjokian.

Sungguh, pendidikan ialah tanggungjawab bersama. Mari kita kawal penyelenggaraan SNMPTN dan atau UM perguruan tinggi tahun 2012 agar dapat berjalan lancar. Semoga mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang telah disepakati para pendiri negara, bukanlah angan-angan belaka. Tuhan Mendengar doa kita. Amin.

Narkoba : Tak Semata Tragedi Maut (Joglosemar, 6 Februari 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Adalah Afriyani Susanti, pengemudi mobil yang telah merenggut sembilan nyawa pejalan kaki di kawasan Tugu Tani Jakarta Pusat tanggal 22 Januari lalu. Belakangan terungkap bahwa Afriyani, yang sudah tidak memiliki SIM sejak tahun 2003, menyetir dalam pengaruh narkoba dan minuman keras (miras).

Singkat kata, dia pun dijerat pasal berlapis, yakni pasal tentang lalu lintas dan angkutan jalan (UU No. 22 tahun 2009) serta narkoba (UU No. 35 tahun 2009) dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Bahkan belum lama ini, Pasal 338 tentang pembunuhan siap untuk diterapkan.

Sebenarnya kasus tersebut bukan semata tragedi maut yang khatam bila hukuman telah ketok palu. Sebab ada hal urgen yang patut mendapat perhatian, yaitu menjamurnya narkoba dan miras di kalangan masyarakat, wabil khusus generasi muda. Bagaimana tidak? Narkoba beredar dari tangan ke tangan. Peredaran miras juga sangat leluasa bergentayangan.

Berkaca pada fakta lapangan, maka tak mengherankan bila BNN (Badan Narkotika Nasional) menemukan sebanyak 3,8 juta jiwa tercatat sebagai pengguna narkoba pada tahun 2011. Meski terbilang cukup fantastis, data ini sekiranya hanyalah fenomena gunung es saja. Artinya kuantitas asli (tidak tampak) jauh lebih besar daripada yang tampak.

Oleh sebab itu, keseriusan segenap elemen untuk bekerjasama menghentikan laju narkoba mutlak dilakukan. Generasi muda sebagai sasaran utama harus menyadari kerentanan posisi mereka. Informasi hasus digali secara aktif, sembari berupaya preventif terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar. Adapun orangtua mesti mengawasi serta memberi proteksi bagi anak.

Sekolah/kampus juga tak luput dari peran membentengi siswa/mahasiswa dari pengaruh narkoba. Wawasan tambahan layak diberikan di sela kegiatan belajar mengajar. Sedangkan POLRI - BNN di tingkat pusat dan atau POLDA – BNNP di tingkat daerah harus bahu-membahu dalam penegakan hukum serta penanganan narkoba.

Sungguh, narkoba adalah tanggungjawab bersama. Narkoba selaksa penjajah yang hendak menguasai daerah potensial. Jika perlawanan dilakukan secara sepihak saja akan tumpul. Lain halnya bila dilakukan serentak; bukan tak mungkin keberadaan narkoba dan miras  dapat diminimalisir, bahkan dihilangkan sama sekali. Amin.

Eling Amanah (Joglosemar, 19 Januari 2012)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Gelontoran uang bernilai miliaran rupiah dijadwalkan mendarat di Senayan pada tahun 2012 ini. Ya. Gelontoran tersebut akan dialokasikan untuk pengadaan dan renovasi beberapa fasilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebut saja renovasi ruangan Banggar (senilai 20M), renovasi toilet (2M), pengadaan kalender (1,3M), servis kompleks rumah jabatan (36,6M) dan megaproyek lain yang sudah siap dieksekusi.

Akibat dari megaproyek itu mudah kita tebak. Berbagai elemen masyarakat, baik rakyat biasa, mahasiswa, akademisi maupun pengamat politik berbondong-bondong melayangkan kritik. Bahkan, dalam beberapa hari belakangan, hampir semua media massa mengangkat keputusan yang tak wajar tersebut sebagai trending topic.

Tapi, sayang. Hati (sebagian) dewan yang terhormat sepertinya sudah mati rasa. Bagaimana tidak? Mereka tak mundur satu langkah dan tetap kukuh pada keputusan awal. Bencana alam, kemiskinan dan rusaknya fasilitas pendidikan tak lagi menjadi prioritas utama. Kesejahteraan sosial semakin jauh dari kata sempurna. Padahal pada Pemilu 2009, merekalah yang mengumbar janji. Mereka pulalah yang antusias menjadi wakil rakyat; yang senantiasa mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Sementara DPR sedang jadi sorotan publik, di tubuh mereka sendiri malah terjadi insiden perihal tanggungjawab. Antara Ketua DPR, Sekjen DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) nampak tak seiya-sekata. Mereka saling berebut benar serta melempar salah di depan umum. Disharmonis nan ironis !!!

Sungguh, yang demikian ini merupakan bukti nyata, ketika fungsi anggaran, legeslasi dan pengawasan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan yang tercipta hampir selalu menimbulkan reaksi negatif lantaran ditetapkan sepihak dan segolongan.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa, kita harus berada dalam garda terdepan dalam mengawal kebijakan yang dihasilkan oleh trias politika Indonesia. Tujuannya jelas, agar kebijakan tak merugikan dan menciderai nurani rakyat. Semoga pintu hati para pemangku kekuasaan segera terbuka dan eling bahwa yang diemban sekarang ialah amanah; yang pada gilirannya nanti pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Memetik Pesan Sondang (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Adalah Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno yang nekat melakukan bakar diri di depan Istana Merdeka tanggal 7 Desember 2011. Motif mahasiswa yang aktif dalam Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi) tersebut, masih meninggalkan spekulasi dan tanda tanya.

Namun berbagai sumber meyakini jika latar belakang Sondang ialah endapan rasa kecewa atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia yang tak jua diusut tuntas.

“Penyelenggaraan” aksi itu pun harus dibayar mahal. Sondang meninggal dunia dengan luka bakar 98 persen pada 10 Desember, tepat di Hari HAM ke-63 yang diperingati oleh manusia seantero jagad. Hal ini cukup berdampak bagi garda pergerakan mahasiswa, karena kembali harus kehilangan sosok yang peduli terhadap kelangsungan negeri tercinta.

HAM, Frustasi dan Suicide
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara lewat buku Tegakkan Hukum Gunakan Hukum (2007), merumuskan HAM sebagai hak yang berakar dari harkat, martabat, serta kodrat manusia selaku makhluk Tuhan, yang antara lain meliputi hak untuk hidup, hak berpendapat, hak beragama, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak menentukan hari depan sendiri, serta hak untuk menikmati kehidupan secara bebas dan wajar.

Dari rumusan ini, jelaslah bahwa HAM dimiliki oleh semua orang. Tapi sayang, dalam kehidupan sehari-hari persoalan hak kodrati tersebut kurang mendapat perhatian dari para pemangku kekuasaan. Bagaimana tidak? Kasus aktivis hilang (1997/1998), kasus Munir (2004), dan beberapa kasus lain nampak terlantar dan tak menemui pencerahan. Sebaliknya, makin keruh karena ada keengganan menggali kebenaran.

Alhasil akitivis (seperti Sondang) mengalami frustasi. Dalam kajian psikologi, frustasi terjadi manakala seseorang memiliki suatu kebutuhan, namun karena hal-hal tertentu, kebutuhan itu tidak terpenuhi.

Frustasi yang berujung pada bunuh diri sangat mungkin terjadi. Menurut pandangan Emile Durkheim (1858-1917), bunuh diri Sondang dapat digolongkan sebagai bunuh diri altruistik (altruistic suicide); bunuh diri karena ada integrasi sosial yang sangat kuat. Sehingga mendorong berkorban demi kepentingan kelompok.

Memetik Pesan Sondang
Aksi Sondang menimbulkan benih-benih pro-kontra. Banyak orang yang menyanjung, namun banyak pula yang menyayangkan. Sebab bunuh diri tidak bisa dibenarkan oleh ajaran agama manapun. Bahkan, bunuh diri dipandang tidak menghargai hakikat dari hak asasi manusia itu sendiri.

Terlepas dari arus pro-kontra, kenekatan Sondang sejujurnya ada niat baik; meninggalkan pesan tentang urgensi penegakan keadilan dan HAM. Karena tak bisa dinafikkan, seiring berjalan waktu, rumusan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial hanya berfungsi sebagai dasar (menguasai) negara. Pun demikian dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa, hanya dinikmati oleh segelintir kalangan.

Hemat saya, bila semua pihak memang berharap agar kasus-kasus terkait HAM tak terulang lagi, maka kesungguhan para pengemban amanah harus segera diluruskan. Pasalnya, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat sudah lelah melihat kasus yang berakhir tanpa hasil. Masyarakat juga bosan melihat ketimpangan yang terkesan melindungi kepentingan tertentu.

Satu lagi pesan yang dapat dipetik, bahwa sebagai mahasiswa hendaknya menyampaikan uneg-uneg secara santun dan diimbangi implementasi pada diri sendiri. Jangan sampai kita menodai dengan cara-cara tak benar menurut kearifan hati. Semoga Tuhan menjaga niat baik kita dan menempatkan kita sebagai umat-Nya yang istiqomah dalam keadilan dan segala hal.

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia kendaknya kamu menetapkannya dengan adil. . .” (QS. An-Nisa’ : 58)

Tawuran Ciderai Pancasila (Kedaulatan Rakyat, 22 November 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Semarang

... dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk  tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia. (Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956)

Sepakat dengan apa yang diwejangkan oleh Ir. Soekarno. Begitu besar harapan dan ekspektasi Beliau terhadap mahasiswa kala itu. Pun demikian sampai sekarang. Mahasiswa merupakan sosok tangguh yang bukan hanya pemikul tanggungjawab estafet pendahulu tapi juga pribadi yang potensial untuk mengemban titah kebhinekaan.

Mahasiswa bak aset besar sekaligus ruh sebuah negara. Namun sayang, ketangguhan mahasiswa tergoyahkan karena kerikil-kerikil (persatuan) yang menghadang. Alhasil, (sebagian) mahasiswa bertransformasi dari intelektual muda menjadi preman berkampus. Mereka gagah, pintar dan beralmamater, tapi mudah terpancing marah serta tindakan agresi.

Bak menjawab segala spekulasi maupun opini, akhir-akhir ini tawuran mahasiswa menampakkan wujud aslinya di berbagai mass media. Mulai dari tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Lampung (21/9), Universitas Negeri Gorontalo (3/10), Universitas Sumatera Utara (31/10), Universitas Suryakiancana Cianjur (4/11) sampai Universitas Hasanuddin (15/11). Ngeri, tapi inilah kenyataan; buah dari minim penerapan sila Persatuan.

Cidera Persatuan Indonesia
Deras gelombang tawuran menerjang dengan pasti. Bagaimana tidak? Tawuran hampir senada dengan pola hidup hedonis, konsumtif, dan sekuler yang tak pandang bulu dalam memapar pemuda masa kini. Akibatnya, tawuran menambah deretan masalah selain korupsi, kemiskinan, pergolakan politik, pencaplokan wilayah, dan degradasi moral generasi baru yang makin kencang membekap rakyat Indonesia.

Tawuran merupakan bagian dari agresi. Dalam Psikologi Sosial, Sarlito W. Sarwono (2005) mengartikan agresi sebagai perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Adapun tawuran masuk dalam kategori agresi instrumental, di mana agresi lebih kepada tujuan tertentu, misalnya membela kelompok, balas dendam kelompok dan lain sebagainya.

Berbagai motif yang melatarbelakangi tawuran seakan mengisyaratkan bahwa ada cidera berkepanjangan di tubuh Pancasila, terutama sila ketiga; Persatuan Indonesia. Sila yang diekstrasi oleh para pendiri bangsa (founding father) kini terancam “dimuseumkan” oleh zaman. Bukan salah pada Pancasila, tapi salah (kita) yang mengaplikasikan “persatuan” hanya sebagai pemanis di antara beragam suku, ras, agama, adat dan sosial budaya. Pendeknya, makna persatuan seperti kehilangan esensi dan urgensi.

Tawuran seakan menjadi hal wajar, meski tak bisa dibenarkan. 


Rindu Kedamaian
Siapa yang tidak rindu kedamaian? Secara akal sehat pasti tidak ada yang tidak mengharapkan kedamaian. Apalagi untuk negara “sekelas” Indonesia yang konon punya budi luhur, ramah, sopan dan tahu unggah-ungguh.

Kampus sebagai tempat aktivitas kaum intelatual harusnya bisa menjadi panutan. Panutan dalam segala hal, terutama saling mengerti dan memahami hubungan antar sesama baik dari kajian teoritis maupun praktis. Bukan menebar jala perang. Bayangkan apa jadinya negeri ini, bila calon pendidik, calon ilmuwan, calon penegak keadilan dan calon pengampu kekuasaan punya kebiasaan tawuran di masa muda? Mau di bawa ke mana tanah air kita? Tentu bukan arena tinju illegal yang kita harap. Bukan medan perang yang kita damba.

Tenggangrasa, toleransi serta saling menghargai merupakan kunci yang harus ditanam dalam lubuk sanubari bila memang ada niatan yang tulus untuk menyelamatkan muka dunia pendidikan (jangka pendek) dan keberlangsungan negeri ini dua-tiga dekade mendatang (jangka panjang). Semoga Tuhan meridhoi itikad baik kita dan menempatkan kita sebagai kaum-Nya yang selalu istiqomah.

Kekerasan dalam Pendidikan Kita (Joglosemar, 8 November 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani.
(Ki Hajar Dewantara)

Siapa yang tak kenal untaian kalimat nan penuh makna tersebut? Ya. Hampir dapat dipastikan jika sebagian besar dari kita sudah akrab mendengarkannya. Bahkan boleh dikatakan sudah menjadi hafalan di luar kepala atau mendarah daging dalam sistem kognisi setiap penduduk Indonesia.

Apa yang disuratkan KHD kerap dikait-kaitkan dengan dunia pendidikan di bumi pertiwi.  Mengalir begitu indah dan secara turun-temurun menjadi “pedoman tak tertulis” bagi Bapak/Ibu Guru. Di mana guru diharapkan dapat memberi teladan ketika di depan, memberi memotivasi saat di tengah dan menjadi pendorong tatkala berada di belakang.

Ini artinya guru harus bisa menjadi figur yang bisa digugu lan ditiru. Sedangkan siswa mesti menghormati guru sesuai kapasitas mereka sebagai sosok pengajar dan orang tua kedua. Demikian idealnya. Pertanyaan kemudian menyeruak dalam pikiran kita, apa jadinya bila keidealan tersebut bertemu dengan realita zaman?

Kenyataan Getir
Sampai detik ini sudah tak terhitung lagi berapa banyak kasus bertema siswa “versus” guru mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Banyak versi, banyak pembelaan dan banyak berebut kebenaran. Entah siapa yang memulai. Entah siapa pula pihak yang merasa merugikan atau dirugikan. Kita yang terus-terusan disodori kasus-kasus sejenis hanya dapat mengelus dada sembari berdoa kepada Tuhan agar yang seperti itu tidak membudaya dari generasi ke generasi.

Belum sembuh memori ini dari kasus pemukulan yang dilakukan oknum guru terhadap siswa di bilangan Jakarta Barat (30/9), kasus serupa pun muncul lagi. Kali ini terjadi di kawasan Solo Raya, tepatnya di Kabupaten Sragen. Seorang guru Bimbingan Penyuluhan SMP menampar siswanya yang duduk bangku kelas XI lantaran ujung baju sang siswa tidak dimasukkan ke dalam celana ketika rampung sekolah. Akibat dari penamparan, siswa mengalami pendarahan, trauma dan enggan masuk sekolah. (Joglosemar, 4/11/2011).

Sungguh sangat disayangkan. Tapi apa boleh dikata, yang sudah terjadi harus dihadapi dengan ksatria. Meskipun konsekuensinya adalah muka dunia pendidikan yang makin tercoreng. Jujur. Tak ada sebersit niat untuk “menghakimi” siapa yang benar dan siapa yang salah pada kesempatan yang mulia ini. Hemat saya, akan jauh lebih bermanfaat jika kita mencoba menggali penyebab dan solusi mengapa konflik siswa-guru kini marak terjadi. Harapan saya saat tulisan ini dibuat, kasus yang membelit kedua belah pihak tadi dapat diselesaikan secara damai. Semoga.

Sebenarnya, kasus yang mewarnai dunia pendidikan (terkait perilaku siswa) tak terpaku pada siswa -guru saja, tapi variatif. Bagaimana tidak? Berbagai bentuk penyimpangan makin terang-terangan menunjukkan eksistensi kepada khalayak ramai. Pemberitaan dan beredarnya video maupun foto yang tak sesuai dengan kodrat pelajar seakan menjadi bukti penegas bahwa telah terjadi pergeseran nilai. Sebut saja kasus tawuran yang dilakukan ratusan siswa SMA 6 Jakarta dengan wartawan (19/9).

Hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi. Belakangan, sekurang-kurangya ada lima tawuran ter-blow up media massa, yakni tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Hasanuddin (12/9), Universitas Lampung (21/9), Universitas Negeri Gorontalo (3/10), Universitas Sumatera Utara (31/10) dan Universitas Suryakiancana Cianjur (4/11).

Maka tak bisa dipungkiri jika polah mahasiswa pun tak jauh beda dengan siswa. Bahkan kadang lebih bringas, meski title “maha” sudah melekat di pundak. Peraturan tentang norma kampus hanya dibaca ketika masa penerimaan mahasiswa baru saja. Setelah itu, peraturan tak ubahnya pelengkap dan angin lalu. Miskin aplikasi. Malahan, citra mahasiswa kian buruk akibat pola perilaku yang mengagungkan sekuler, hedonis dan konsumtif.

Fakta-fakta di atas memang tak bisa digunakan untuk dapat menggeneralisasi bahwa perilaku menyimpang merajai tangga life style semua siswa dan atau mahasiswa Indonesia, tapi setidaknya bisa dijadikan peringatan  yang mesti diindahkan oleh berbagai pihak.

Memahami dan Mengais Solusi
Penyimpangan perilaku yang ditunjukkan siswa merupakan contoh riil dari dinamika remaja yang sangat kompleks; yang sekurang-kurangnya melibatkan hubungan erat antara perkembangan fisik dan psikis. Tugas-tugas perkembangan seperti menerima keadaan fisik, menjalin hubungan baru dan menjalankan peran sosial pun menuntut penyelesaian. Semua mengendap membentuk stereotip yang mengatakan jika masa remaja adalah masa yang penuh dengan tekanan. Stanley Hall (1844-1924) menyebutnya sebagai masa badai dan tekanan (storm and stress).

Menurut kajian aliran behaviorisme, segala bentuk perilaku seseorang dipengarungi oleh lingkungan. Ini artinya lingkunganlah membentuk karakter siswa. Degradasi moral dan etika yang berujung pada terjadinya krisis merupakan akibat dari tidak mampunya lingkungan menciptakan siswa sebagai aset masa depan.

Pemahaman lingkungan tersebut tak lantas mendiskreditkan pada lengahnya pihak sekolah sebagai pihak tunggal penyebab krisis moral siswa. Pasalnya ada lingkungan yang lebih mendominasi di luar jam sekolah, antara lain pergaulan dengan teman sebaya (peers group) dan kuatnya arus globalisasi. Di mana imitasi, identifikasi dan modeling terhadap tingkah laku tertentu dapat dengan mudah dipraktikkan oleh para siswa dan atau remaja.

Celakanya tingkah laku negatiflah yang kerap memenangi sistem kognisi, afeksi dan konasi siswa. Sehingga segala bentuk kenakalan tak bisa dielakkan. Bayangkan penggunaan narkoba, tawuran antarpelajar, seks bebes (free sex), premanisme dan berbagai bentuk penyimpangan lain bisa menjadi bom waktu yang siap sewaktu-waktu.

Untuk itu peran keluarga dan sekolah dalam memantau pergaulan siswa sangat diperlukan. Menjadi lingkungan yang nyaman bagi mereka juga merupakan salah satu solusi terbaik. Sebab tak jarang penyimpangan pada usia remaja terjadi lantaran minimnya kasih sayang. Apalagi menurut Erickson (Hurlock, 2009) masa remaja adalah masa pencarian identitas. Di mana orang terdekat memegang andil besar.

Bila kita perhatikan, dalam diri siswa maupun remaja ada kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian. Syukur kalau diwujudkan dalam prestasi. Lha kalau diwujudkan dalam perilaku nakal, tentu menjadi masalah baru. Maka pemberian pemahaman yang benar, sangat penting di sini. Apalagi bila ditambah penguatan (reinforcement), pasti akan lebih memotivasi kebiasaan baik. Di samping itu penanaman agama dan nilai sosial kemasyarakatan juga merupakan poin penting yang tidak boleh diabaikan.

Sungguh, masalah yang mewarnai dunia pendidikan, harus ditangani oleh semua pihak. Semoga ada perbaikan di posisi masing-masing. Harapannya pada saatnya nanti akan kita jumpai generasi yang berakhlak mulia, pandai, tahu unggah-ungguh dan tidak rajin korupsi. Amin. Gusti mboten Sare.

... dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk  tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia.
(Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956)

Remaja di Lembah Free Sex (Joglosemar, 2 Agustus 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Pemerhati masalah sosial, mahasiswa Fakultas Psikologi Undip Semarang


Boleh dua-duaan,
asal tetap di lingkaran
Tapi awas jangan pergi
berduaan, kata nenek itu
berbahaya
(Titiek Puspa- Marilah Kemari).


Ya. Benar apa yang dikatakan Eyang Titiek Puspa. Kalau berduaan itu berbahaya. Pasalnya aktivitas berpasangan antara dua remaja lawan jenis yang kini marak terjadi, cenderung dapat menjadi pemicu bagi permasalahan yang lebih kompleks. Free sex (seks bebas), misalnya, telah mewabah di kalangan remaja, mulai dari jenjang SMP sampai SMA. Hal serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa, yang terasa semakin riskan dengan kian lengkapnya fasilitas penunjang.

Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, seks bebas makin tak terbendung. Seks bebas sukses bermetamorfosa sebagai “penyakit massal” yang sewaktu-waktu bisa menular kepada siapa saja yang tak kuat pengendalian syahwatnya, tak terkecuali pada remaja. Bahkan sekarang seks bebas bisa digolongkan dalam perilaku yang “lumrah” di tengah derasnya arus globalisasi. Alhasil, tak mengherankan bila seks bebas seolah-olah menjadi tren anyar dalam jagat pergaulan remaja. Sungguh mengerikan!

Melihat keadaan itu, pengangkatan opini ini tak lepas dari rasa penasaran penulis untuk menggali data dan fakta di balik menjamurnya seks bebas di usia remaja. Sebuah fenomena yang banyak dilatarbelakangi keinginan mendapat pengakuan kedewasaan, namun dengan cara yang salah. Yakni melakukan aktivitas pemenuhan insting seksual yang mestinya hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah secara agama dan peraturan negara.

Berita berjudul Mesum di Rumah Kosong, Pelajar Digerebek yang dimuat Joglosemar pada edisi 22 Juli 2011, berkisah tentang ditangkapnya dua remaja SMP dan SMA di Wonogiri. Mereka kedapatan melakukan perbuatan asusila di sebuah rumah kosong. Terang saja, berita ini seakan mengamini dan meyakinkan kepada kita bahwa sekapur sirih di atas bukanlah sekadar isapan jempol belaka.

Sebenarnya berita mengenai perilaku seksual di Surakarta bukan kali pertama dimuat Joglosemar. Menyempatkan diri berselancar di internet, saya menemukan tulisan menarik dari website Joglosemar yang berjudul Pramunikmat Abu-abu Putih. Pada tulisan yang berisi wawancara dengan beberapa oknum itu, dikatakan bahwa di Kota Solo telah lama merebak pinky (pramunikmat yang berstatus SMA). Hemat kisah, pinky yang dibagi menjadi dua jenis yakni pop (short time) dan klasik (long time) ini, sering didayagunakan oleh pria hidung belang.

Dua penggal fakta tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang merebak di DIY dan Jawa Tengah, lebih khusus kawasan Surakarta. Di luar sana masih banyak kasus-kasus yang tak kalah parah. Bahkan di kota-kota besar, seperti Jakarta, bisnis jual diri ala pelajar dengan motif untuk memenuhi materi atau sekadar memenuhi gaya hidup kerap ditemui. One night stand, swinging dan grouping tak asing lagi di telinga.

Survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan dari Januari sampai Juni 2008 menunjukkan hasil fantastis. Sebanyak 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. 93,7 Persen remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin, dan oral seks. 62,7 Persen remaja SMP sudah tidak perawan dan 21,2 persen pernah aborsi. Berkenaan dengan aborsi, BKKBN juga memberikan hasil survei bahwa sebanyak 800.000 kasus dari 2,4 juta kasus aborsi, berasal dari kalangan remaja.

Melihat hasil survei itu, otomatis membuat kasus HIV/AIDS jadi tak kalah mencengangkan. Berdasarkan data Kemenkes pertengahan Juni 2010 terdapat 47.257 kasus HIV dan 21.770 kasus AIDS. Perinciannya, 48,1 persen pengidap berusia 20-29 tahun dan 30,9 persen berusia 30-39 tahun. Dari kesemuanya itu sebanyak 49,3 persen menular lewat hubungan heteroseksual; 3,3 persen lewat hubungan homoseksual, dan 40,9 persen IDU.

Fakta dan survei di atas tentu membuat merinding bulu kuduk kita. Bagaimana tidak? Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya religi sudah mulai luntur akibat sapuan budaya sekuler yang gagal difilter. Sila pertama Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29, seakan telah jebol pertahanannya dalam mempertahankan budaya luhur nusantara. Ironis. Remaja (Indonesia) terjebak dalam gemerlap hedonis.


Di Balik Free Sex
Terlepas dari kekhilafan remaja yang sudah telanjur basah masuk dalam kubangan seks bebas, seyogianya kita juga bisa memahami apa yang terjadi di balik itu semua. Setidaknya untuk menambah wawasan kita. Apa sih yang sebenarnya mempengaruhi remaja sehingga nekat melakukan tindakan seksual?

Santrock (2003) dalam buku Adolescence  mengatakan bahwa dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara yang mana boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan” yang dialami berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan, aborsi, dan sebagainya.

Sekarang jelas apa yang menjadi penyebab internal seks bebas. Kemudian berkenaan dengan penyebab eksternal. Tampaknya teori social learning yang digaungkan Albert Bandura pada tahun 1986 mampu menjawab. Dalam teori tersebut, Albert berpendapat bahwa perilaku manusia adalah hasil dari modeling. Di mana ada empat unsur penting dalam modeling yakni perhatian (attention), mengingat (retention), reproduksi gerak (reproduction) dan motivasi. Pun demikian dalam seks bebas. Besar kemungkinan jika yang mereka lakukan adalah hasil dari modeling adegan film porno dan konten porno yang mudah diakses melalui internet.

Maka tak salah bila kita katakan bahwa peran penting dipegang oleh lingkungan. Dengan kata lain baik atau buruk perilaku seseorang, tak luput dari didikan lingkungan. Dalam kasus mesum dan pemerkosaan misalnya. Tak sedikit kasus semacam itu diilhami dari teman sebaya. Karena dalam tahap pencarian identitas diri, beberapa remaja sering keblinger. Anggapan bahwa masih perawan atau perjaka itu tidak gaul, mereka iyakan begitu saja. Kasihan.

Mengais Solusi
Menurut Stenley Hall (1844-1924) remaja berada dalam badai dan tekanan. Untuk itu perlu pendekatan khusus dalam menghadapi remaja dan segala permasalahannya. Ada beberapa pihak yang harus membantu remaja agar tak terjerumus dalam dunia pergaulan bebas, antara lain orangtua, sekolah, dan pemerintah.

Orangtua yang notabene adalah objek lekat paling dekat dan paham mesti memberikan perhatian pada remaja. Sebab tak jarang remaja masuk dalam dunia seks bebas, lantaran kurang perhatian dari orangtua. Selain itu, kombinasi yang baik antara orangtua dan pihak sekolah sangat penting dalam memberikan pendidikan seks. Pasalnya, sangat riskan bila informasi mengenai seksual didapat dari informan yang salah.

Pemerintah juga harus serius dalam membendung arus pornografi. Jangan sampai UU Nomor 44 tahun 2008 yang telah dibuat, hanya digunakan sebagai pemanis. Di samping itu, kebijakan memasukkan pendidikan seks perlu dipertimbangkan lagi. Harapannya agar generasi muda dapat memahami perihal seks secara benar dan gamblang.

Sungguh, peran seluruh elemen diperlukan dalam memutus rantai budaya seks bebas di Indonesia. Sebab Tanah Air ini masih butuh generasi penerus dan pemimpin masa depan yang memiliki moral serta etika layaknya bangsa timur. Tak ada kata terlambat untuk (kembali) menjadi negara yang berwibawa. Tuhan mendengar doa kita. Amin.

Luar Biasa Penting : Urgensi Organisasi Mahasiswa (Joglosemar, 25 Juli 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro


Organisasi mahasiswa intra kampus yang selanjutnya disebut organisasi mahasiswa (ormawa) merupakan bagian vital dalam kehidupan kampus. Pasalnya, melalui sentuhan budaya organisasi, mahasiswa dapat bermetamorfosa menjadi pribadi yang cerdas, tangguh, tegas dan mandiri. Terlebih, fakta telah berbicara bahwa teori saja tak mampu mengantarkan kita menjadi “orang sukses” bila tidak diberengi soft skill  yang salah satunya bisa didapat dari pengalaman berorganisasi.

So, luar biasa penting, mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keberadaan ormawa. Bagaimana tidak? Ormawa menyediakan wahana yang lengkap untuk kita dapat mempelajari betapa pentingnya interaksi, koordinasi, leadership dan pemaknaan individual differences. Sehingga bisa kita bayangkan bila mahasiswa terus mengisolasi diri dari organisasi, maka yang akan terbentuk ialah intelektual muda yang kaku dengan dunia sosial. Hal ini tentu seja bertentangan dengan konsep tri dharma perguruan tinggi yang menginginkan adanya harmonisasi antara pendidikan, penelitian dan pengabdian.

Ormawa tak ubahnya sebuah miniatur negara. Dimana di dalamnya terdapat “unsur” legeslatif dan eksekutif baik tingkat pusat maupun daerah. Hemat saya, tak berlebihan rasanya bila berkaca pada kedinamisan organisasi yang tersebar di seluruh perguruan tinggi di tanah air saat ini, kita dapat memprediksi masa depan Indonesia dua sampai tiga dekade mendatang. Luar biasa.

Sungguh, urgensi organisasi mahasiswa itu memang nyata adanya. Tak ada salahnya berkecimpung dalam dunia organisasi. Itung-itung mengisi waktu di sela-sela aktivitas akademik, kita bisa mempersiapkan diri untuk berhubungan dengan orang lain. Lebih dari itu, kita juga dapat memenuhi kebutuhan selaku makhluk sosial, agen penyambung lidah rakyat. Hidup mahasiswa!!! Hidup rakyat Indonesia!!!