Kamis, 23 April 2015

Riset Kualitatif: Menapak Tilas Jalan Panjang Persatuan (Biografis-Hermeneutis)



MENAPAK TILAS
JALAN PANJANG PERSATUAN
Sebuah Analisis Biografis–Hermeneutis Makna Nasionalisme Ir. Soekarno

oleh :
Muhammad Zulfa Alfaruqy
Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Ir Soekarno, presiden pertama Indonesia, adalah salah satu tokoh nasional yang memainkan peran sentral dalam pergerakan, prosesi kemerdekaan, dan pembentukan karakter bangsa. Ir Soekarno bukan hanya manusia multidimensional tetapi negarawan yang berhasil meletakkan philosophy grondslag dan membarakan nasionalisme dalam perjuangan negara-bangsa. Tujuan penelitian adalah dalam rangka memahami makna dan dinamika nasionalisme dalam setiap fase kehidupan Ir Soekarno dari masa ke masa.
Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan biografis-hermeneutis. Pengumpulan data dilakukan dengan analisis teks dokumen pribadi dan dokumen resmi. Subjek penelitian yaitu Ir Soekarno diperoleh dari teknik pemilihan purposif dengan kasus ekstrim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ir Soekarno memaknai nasionalisme sebagai perasaan sekaligus ideologi yang mecintai tanah air atas dasar pengetahuan/ kesadaran bahwa merupakan bagian dari persatuan bangsa. Nasionalisme timbul dari rasa cinta kepada manusia dan kemanusiaan, yang di dalamnya menyertakan peran Tuhan sebagai sang pemberi anugerah perasaan. Penginsyafan pada hal tersebut memberikan corak khas nasionalisme yang tidak bersifat destruktif atau menyerang negara-bangsa lain. Nasionalisme dimanifestasikan melalui totalitas pengabdian kepada tanah air dengan menggeluti dunia politik untuk mencapai dan mempertahankan Indonesia Merdeka. Nasionalisme yang dinamis dan berkembang sepanjang hidup memunculkan empat segmen, yaitu segmen nasionalis, segmen nasionalisme marhaenis/marhaenisme, segmen integrasi diri, dan segmen pembentukan karakter bangsa.


*) Merupakan abstrak hasil penelitian MP Kualitatif MAPSI 2014/2015 Semester Ganjil. Dosen mata kuliah Subandi, M.A., Ph.D dan Dian Nasrah, Ph.D

Rabu, 22 April 2015

Patologi Lintas Budaya: Mereka Berbeda, Bukan Gila


MEREKA BERBEDA, BUKAN GILA:
Memotret Autisme dari Berbagai Sudut Pandang*
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada

Khadulah Amin (14) duduk di lantai beralas tanah sambil mengangguk – anggukkan kepala. Kaki kanannya terikat tali putih berukuran sedang pada sebuah saka. Sesekali tampak berjalan untuk berpindah tempat. Dulah (nama sapaannya) tinggal bersama nenek Muryati dan budhe Pariyem di desa Ngale, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi. Semenjak kecil, Dulah ditinggal Ibunda merantau ke negeri jiran Malaysia dengan alasan untuk bekerja. Sang Ayah pergi entah kemana. Hingga kini tiada kabar dari keduanya.
Pariyem sudah mengobatkan Dulah ke Rumah Sakit Ngawi sebanyak lima kali. Namun nihil tanpa hasil. Dulah tetap menunjukkan gejala – gejala seperti tidak melakukan kontak mata ketika diajak berinteraksi, berbicara tidak jelas, dan sering melakukan gerakan berulang. Alhasil, Pariyem sulit untuk beraktivitas seperti masyarakat yang lain karena harus menunggui keponakannya itu.
Pariyem menuturkan bahwa pemasungan terhadap Dulah dilakukan demi keamanan bersama. Dikisahkan empat tahun yang lalu, Dulah keluar rumah dan tidak bisa kembali. Semua keluarga kebingungan mencari di mana gerangan Dulah. Beruntung ada seorang baik yang menemukan Dulah di desa seberang berkenan mengantarkan pulang ke rumah. Sejak saat itulah, kaki Dulah diikat. Semua pakaian Dulah juga disablon bertuliskan nama dan alamat tempat tinggal. Tujuannya adalah apabila suatu saat ikatan kaki lepas dan Dulah kabur, mudah untuk mencari keberadaannya.
Apa yang dialami Dulah merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam masyarakat. Perilaku yang berbeda dengan anak pada umumnya dan disertai labeling yang kurang menyenangkan. Temuan awal menunjukkan bahwa Dulah menyandang autis. Secara singkat, autis dapat dimengerti sebagai gangguan yang merujuk pada gaya berpikir yang memandang diri sendiri sebagai pusat dunia. Anak autis menutup diri dari masukan dunia luar dan menciptakan kesendirian autistik (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan menggunakan berbagai sudut pandang, termasuk budaya? Lantas intervensi apa yang dapat diterapkan?

MULTIPERSPEKTIF
Perspektif Budaya
Pada kasus di atas tidak dijelaskan secara eksplisit istilah apa yang dipakai masyarakat desa Ngale untuk menyebut gangguan yang dialami Khadulah Amin. Namun, ada satu fakta menarik bahwa masyarakat kita dengan pengetahuan yang dimiliki, memandang gangguan tersebut identik (atau bahkan disamakan) dengan gila. Dalam pergaulan masyarakat Jawa disebut edan. Hal itu pernah diungkapkan Ir Nurani MT, seorang pegiat autis dari Yayasan Autisma Semarang, “Banyak yang dibiarkan begitu saja. Bahkan ada beberapa tahun lalu kami menemukan anak dipasung karena dianggap gila, padahal menderita autisme.” (Suara Merdeka, 24/07/2011)
Tahun 2013, istilah gila juga latah diucapkan masyarakat sebuah kabupaten di Jawa Timur kepada seorang anak autis. Kala itu ada seorang anak autis yang memiliki obsesi pada api menyulut api. Demi pemenuhan rasa puas, dia membakar seisi rumah. Masyarakat lantas menyebut dia gila dan memutuskan untuk mamasung anak tersebut. Istilah lain yang lazim digunakan masyarakat untuk menyebut autis adalah sinting, sebagaimana yang banyak ditemui di kabupaten Wonogiri.
Masyarakat mempunyai keyakinan masing – masing terhadap penyebab sinting atau edan (yang sebenarnya memenuhi kriteria DSM untuk autis). Keyakinan tersebut antara lain disebabkan karena keterbelakangan mental, kutukan dari dewa, kutukan dari penunggu suatu tempat atau benda, penyakit mistis, guna-guna, atau kemasukan roh jahat. Tidak jarang anak-anak seperti Dulah dijauhi oleh masyarakat sekitar karena dianggap bisa menularkan pada anak – cucu mereka. Sementara si anak dijauhi dan di-bully, orang tua dilanda rasa malu dan khawatir karena tidak ada penerimaan dari masyarakat setempat (National Geograpic, 2013).

Perspektif Behavior
Perspektif behavior menjelaskan bahwa autis disebabkan oleh kesalahan belajar pada masa kanak – kanak. Ferster (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2010) berpendapat tidak adanya perhatian dari orang tua, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial (stimulus – respons). Akibat orang tua tidak menjadi penguat sosial, perilaku anak tidak terkendali dan mengakibatkan gangguan autistik. Pun demikian, perspektif ini patut dipertanyakan hubungan kausalitasnya.

Perspektif Kognitif Behavior
Perspektif kognitif – behavior memandang bahwa penyebab autis karena ada defisit perseptual yang membuat anak hanya bisa memproses satu stimulus pada waktu tertentu. Hal tersebut menyebabkan lambat belajar (asosiasi SR). Anak autis diketahui tidak menghu-bungkan reinforcement primer seperti makanan atau pelukan dengan pengasuhnya.
Menurut Rutter (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) anak autis juga memiliki defisit kognitif yang membuatnya sulit untuk mengintegrasikan informasi dari berbagai indera. Anak autis sensitif pada satu rangsangan tetapi tidak sensitif pada rangsangan yang lain. Defisit perseptual dan kognitif mengurangi kapasitas mereka dalam menggunakan informasi guna memahami serta menerapkan norma dan aturan sosial.

Perspektif Neuropsikologi
Dari perspektif neuropsikologi, autis dikaitkan dengan abnormalitas otak. Disinyalir penyebabnya sangat majemuk. Stokard (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) menyebut penyebab autis adalah kebiasaan atau perilaku ibu hamil yang sering bersentuhan dengan lingkungan lercemar zat polutan, sehingga menyebabkan kerusakan gen ketika bayi masih di dalam kandungan. Konsumsi terhadap makanan dengan pengawet dan pewarna yang tak aman juga dinilai menjadi penyebab.

FAKTA AUTIS
Daniel Tammet (36) mampu mengingat 22.514 angka dan menguasai 10 bahasa.
Microsoft merekrut karyawan autis karena unggul dalam kode dan matematika tahun ini.
Khalid Abu Musa (10) mampu menghafal Al Quran.

DIAGNOSIK ABNORMAL (DSM –IV)
v  Diagnosis membutuhkan kombinasi dari ciri – ciri yang ada di beberapa kelompok berikut ini. Tidak semua ciri dari setiap kelompok harus ada untuk dapat dilakukan diagnosis.
A.    Hendaya Interaksi Sosial
1.  Hendaya pada perilaku nonverbal seperti ekpresi wajah, postur tubuh, gesture, dan kontak mata yang biasanya mengatur interkasi sosial.
2.  Tidak mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai dengan usianya.
3.  Kegagalan dalam berbagi kegembiraan dengan orang lain.
4.  Tidak menunjukkan reaksi sosial dan emosional timbal balik.
B.    Hendaya Komunikasi
1.  Keterlambatan pada pekembangan bahasa verbal.
2.  Kurangnya kemampuan untuk memulai dan mempertahankan percakapan.
3.  Menunjukkan abnormalitas pada bentuk atau isi bahasa.
4.  Tidak mempelihatkan kemampuan bermain sosial spontan dan imajinatif
C.   Pola Perilaku yang Terbatas dan Repetitif
1.  Menunjukkan minat yang terbatas.
2.  Memaksakan rutinitas.
3.  Menunjukkan gerakan – gerakan stereotip.
4.  Menunjukkan fokus yang berlebihan pada bagian-bagian objek atau kelekatan yang tidak biasa terhadap objek – objek.
v  Kemunculannya terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi yang abnormal pada paling tidak satu dari hal-hal berikut ini: perilaku sosial, komunikasi, atau bermain imajinatif.

INTERVENSI
Apa yang dialami oleh Dulah dan penyandang autisme lain perlu diberikan perlakuan atau intervensi, baik secara budaya setempat maupun psikologi.
Intervensi Budaya
Di beberapa daerah di Jawa bahkan mungkin Indonesia, penyandang autis (atau dalam bahasa masyarakat sinting) kurang mendapat perhatian. Sebagian masyarakat menerapkan pasung. Kaki penyandang diikatkan pada saka rumah. Bahkan di daerah seperti Wonogiri dan Ponorogo dilakukan pememasungan kaki pada kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa. Pasung dipandang masyarakat mampu untuk memberikan ketenanganan bagi penyandang dan mengurangi rasa malu bagi orang tua karena sering dijadikan bahan pergunjingan oleh lingkungan sekitar ketika anak mereka “berulah”. Keefektifan pasung sebagai sebuah penangangan masih perlu dikaji ulang, karena pasung justru membatasi ruang gerak sosialisasi dan membiarkan asyik dengan kesendiriannya.

Akupunktur di Klaten
Di kabupaten Klaten orang tua penyandang autis menginisiasi sebuah Yayasan Arogya Mitra yang memberikan intervensi alternatif, yaitu akupunktur. Akupunktur sebenarnya merupakan penanganan tradisional asal China. Akupunktur dilakukan dengan menusukkan jarum tipis ke titik – titik tertentu pada tubuh penyandang autis. Tujuannya adalah untuk merangsang pengaktifan neurotransmitter. Secara medis, intervensi akupunktur meyakini bahwa tubuh manusia mempunyai titik tumpul, sebuah tempat energi yang apabila tidak mengalir akan menjadi kesakitan. Tertusuknya titik – titik tersebut akan menjadikan keseimbangan sistem syaraf, hormonal dan neurotransmitter. Akupunktur memiliki dua mekanisme kerja. Pertama, menusuk pada titik terentu yang dapat  menaikkan aliran darah ke otak, sehingga metabolime otak meningkat. Naiknnya metabolisme otak dapat merangsang kecerdasan anak. Kedua, menstrabilkan neurotransmitter di dalam otak.

Intervensi Psikologi
Terapi berbasis pendekatan perilaku (behavioral therapy) masih menjadi salah satu primadona dari intervensi psikologi untuk penanganan autis. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi perilaku yang mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi. Perilaku baru dicapai dengan reinforcer. Terapis memasangkan reiforcer sosial (pujian) dengan reinforcer primer (makanan) untuk membentuk perilaku baru. Seorang terapis Ivar Lovas mempraktikkan behavioral therapy pada 19 anak autis dengan penanganan 40 jam/minggu selama dua tahun. Setiap anak berperilaku baik diberikan reward. Hasilnya 12 anak mencapai IQ normal, 9 di antaranya naik kelas dua (Davidson, Neale, & Kring, 2010)

REKOMENDASI
Penulis merekomendasikan kepada terapis atau orang tua yang mempunyai buah hati penyandang autis, seperti Dulah, untuk memberikan intervensi psikologi behavioral therapy yang dipadukan dengan intervensi alternatif akupunktur. Dua pendekatan secara kolaboratif dinilai efektif untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Intervensi akupunktur diarahkan untuk pengaktifan neurotransmitter, sedangkan intervensi behavioral therapy diarahkan untuk kondisioniong penghasil perilaku baru.

REFERENSI
Davidson, G.C., Neale, J.M, & Kring, A.M. (2010). Psikologi Abnormal Edisi Keenam. Jakarta: Rajawali Press.
National Geograpic. (27 September 2013). Mengubah Persepsi Anak Autis Melalui Autimaze. Diakses dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/mengubah-persepsi-anak-autis-melalui-autismaze pada tanggal 5 April 2015.
Nevid, N.S., Rathus, S.A. & Greene, B. Psikologi Abnormal Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Nurani. (24 Juli 2011). Salah Kaprah yang Membahayakan. http://suaramerdeka.com/v1/ index. php/ read/cetak/2011/07/24/153634/Salah-Kaprah-yang-Membahayakan. Diakses pada tanggal 5 April 2015.
Youtube. (2014). Arogya Akupunktur Klaten. https://www.youtube.com/watch?v=5GS8cOc1
Youtube. (2015). Bocah Penderita Autis Dipasung https://www.youtube.com/watch?v=TRR4


*) merupakan tugas mata kuliah  Patologi dan Terapi Lintas Budaya MAGPSI 2014/2015
Dosen Prof Dra Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D