Jumat, 27 Maret 2015

Psikologi Kepemimpinan Stratejik: The Last Samurai



The Last Samurai
Resensi Film dan Analisis Kepemimpinan Stratejik*
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy


“Kita tidak boleh melupakan siapa diri kita yang sebenarnya atau darimana kita berasal”
(Kaisar Meiji)

Alkisah, pada akhir abad ke-19, Jepang berdiri di antara budaya tradisional dan internalisasi budaya modern Barat. Hal ini meliputi segala bidang, termasuk pertahanan negara. Kaisar “muda” Meiji, karena hasutan Omura, bertekad bulat beralih pada kekuatan militer modern dan melenyapkan samurai karena dianggap kolot serta dapat menjadi batu sandungan. Sebagai langkah strategis, pemerintah menghadirkan Kapten Nathan Algren, veteran perang Amerika Serikat yang sukses menghancurkan suku Indian.
Tahun 1876, Nathan menginjakkan kaki di negeri matahari terbit. Dia dijanjikan imbalan besar jika berhasil melenyapkan para samurai Lebih dari itu, barter Amerika Serikat dan Jepang pun menjadi kesepakatan tersendiri; yang jauh lebih berharga. Singkat kata, sang kapten diberi kewenangan untuk melatih para pasukan yang sebagian besar adalah petani. Pasukan diajarkan teknik perang dan cara memakai persenjataan canggih.
Belum lama melatih pasukan barunya, Nathan dihadapkan pada perlawanan yang dilakukan para samurai pimpinan Katsumoto. Pasukan yang belum mahir terpaksa diturunkan untuk menghadapi samurai. Pertempuran terjadi di hutan belantara. Pasukan yang belum disiplin tampak panik dan kocar-kacir. Nathan tak lantas menyerah. Berbekal kemahiran perang, dia melawan dan membunuh beberapa samurai. Sayang, kekuatan tidak berimbang. Dia jatuh tersungkur. Dalam kondisi seperti ini, Katsumoto memutuskan untuk menawannya di perkampungan mereka.
Katsumoto meminta Taka, seorang janda yang suaminya dibunuh di medan perang, agar merawat dan menyediakan tempat tinggal untuk Nathan. Walau diliputi rasa benci, Taka tetap memperlakukan Nathan dengan baik. Perlakuan inilah yang membuat dirinya kagum. Di perkampungan samurai, kapten bertubuh kekar itu belajar banyak hal, termasuk gaya hidup sederhana, kedisiplinan dan teknik pedang. Dia juga mulai mempelajari bahasa Jepang dan kebiasaan setempat. Dikisahkan, dia pun mulai goyah pendirian dan mencintai Jepang serta filosofi hidup samurai. Penghormatan pada budaya tradisionl tidak lantas menjadikan warga percaya padanya. Hingga pada suatu saat, ada sekelompok ninja utusan Omura menyusup untuk membunuh Katsumoto. Dalam peristiwa percobaan pembunuhan ini, Nathan berhasil menyelematkan nyawa Katsumoto. Dia akhirnya mendapat tempat di hati warga.
Pada hari yang sudah ditentukan, Katsumoto pergi ke ibukota untuk membebaskan Nathan sekaligus menemui Kaisar guna meminta kebijakan agar tidak mengurungkan niat dalam melenyapkan samurai, mengingat samurai adalah pasukan penjaga Jepang sejak dahulu kala. Sayang, Kaisar yang kadung terhasut oleh Omura tak bergeming. Katsumoto yang merasa gagal bernegosiasi dengan Kaisar hendak melalukan hara-kiri (bunuh diri) dalam rumah yang dijaga super ketat oleh pasukan pemerintah. Bagaimana dengan Nathan? Nathan kembali ditawari untuk memimpin pasukan sama seperti misi terdahulu. Di luar dugaan, dia justru menolak dan memilih berbalik memihak para samurai. Dia pun bergegas membebaskan Katsumoto dalam kontak senjata yang cukup hebat. Putra Katsumoto tewas dalam pembebasan tersebut.
Singkat kisah, Katsumoto dan Nathan kembali ke perkampungan samurai guna perang melawan pasukan pemerintah demi mempertahankan posisi mereka. Pertempuran hebat terjadi. Para samurai dengan strategi yang disiapkan, berhasil menang. Namun, pasukan bersenjata tidak tinggal diam. Mereka mendatangkan pasukan lebih banyak. Kekuatan tidak seimbang. Pada detik - detik akhir perang, Katsumoto, Nathan, dan samurai berkuda menyerang secara terbuka. Dalam posisi ini, pasukan bersenjata leluasa memberondong mereka. Para samurai berjatuhan dan hanya menyisakan Katsumoto serta Nathan. Katsumoto lantas melakukan seppuku, mensukkan pedang pada diri sendiri. Pasukan bersenjata terperangah. Mereka bersimpuh dan sujud sebagai penghormatan.
Di akhir cerita, Nathan menemui Kaisar untuk mengingatkan tentang bagaimana pentingnya pemimpin menghargai tradisi dan pengorbanan para leluhur. Kaisar yang sedang bertemu dengan perwakilan Amerika Serikat untuk kesepakatan perjanjian modernisasi alutsisita, seketika itu juga langsung membatalkan kesepakatan.

Analisis Kepemimpinan Stratejik
Film besutan Edward Zwick menampilkan sosok pemimpin luar biasa yaitu Katsumoto. Katsumoto digambarkan sebagai pemimpin samurai yang mengedepankan tradisi yang dijunjung tinggi secara turun – temurun oleh Jepang. Hal tersebut kontras dengan Omura, yang justru berorientasi pada modernisasi. Dengan perkataan lain, Katsumoto menginginkan sebuah sistem pertahanan negara yang relatif stabil daripada sistem yang bergerak ke arah pertumbuhan.
Keinginan Katsumoto mendapat tantangan yang besar. Pasalnya, Kaisar Meiji sudah berhasil dihasut oleh Omura yang melakukan pendekatan secara struktural. Dalam posisi seperti ini, modal utama Katsumoto adalah kedekatan dengan masyarakat dan para samurai. Diilustrasikan jika Katsumoto tinggal di perkampungan yang tidak memberikan jarak antara pemimpin dan masyarakatnya. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi Kastumoto kecuali berjuang walaupun harus menghadapi pasukan pemerintah yang kala itu sudah dilaitih dengan alutsista modern.
Singkat kisah, Katsumoto berhasil mempengaruhi (influencing) para samurai agar tetap setia dengan jalan hidupnya, yakni berkorban untuk melayani negara. Dari sini tampak bahwa kesetiaan pada negara diimplementasikan dengan cara melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sedang dalam hasutan. Ini merupakan poin penting yang menunjukkan keefektifan kepemimpinan Katsumoto. Sebagaimana dikatakan Gary Yukl (2001) dalam Leadership in Organization, kepemimpinan berkaitan dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang lain. Ditinjau dari segi kebermanfaatan tujuan, jelas, tujuan Katsumoto sangatlah mulia. Maka, teridentifikasi dan tidak terbantahkan bahwa Kastumoto ialah leader with good leadership.
Dalam rangka mewujudkan tujuan, Katsumoto berkerja sama dengan Kapten Nathan Algren. Nathan dicitrakan sebagai kapten perang yang menguasai strategi perang, baik secara individu maupun kolektif. Ada beberapa poin penting, mangapa Nathan juga patut diperhitungkan sebagai sosok dengan kepemimpinan efektif. Pertama, pada saat ditugaskan melawan para samurai di hutan belantara, Nathan tidak diskusi dengan pasukan karena bisa menjatuhkan mental sebelum menginjakkan kaki di medan perang. Hal tersebut sesuai dengan kaidah kepemimpinan, bahwa dalam situasi kritis, seorang pemimpin mengambil keputusan tanpa harus diskusi. Meskipun pada kenyataannya belum berhasil dalam pertempuran itu.
Kedua, Nathan berhasil meyakinkan para warga di perkampungan samurai bahwa meskipun dia adalah seorang kapten Amerika yang semula bertujuan untuk melenyapkan para samurai, semenjak tinggal dengan mereka, dia telah berubah pandangan. Dia berhasil memanfaatkan momentum penyelematan Katsumoto. Seorang yang memiliki kepemimpinan yang tinggi dapat melihat peluang yang ada di depan mata.
Ketiga, Nathan bersama dengan Katsumoto dapat menyusun strategi perang samurai dengan baik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pemahamannya terhadap karakteristik dan teknik para samurai serta prediksi strategi lawan. Menurut Blake dan Mouton pemimpin yang efektif memperhatikan relasi dan tugas. Dengan jumlah samurai yang tidak imbang namun mampu memberikan perlawanan hebat, ini sungguh luar biasa.
Dalam analisis saya, puncak dari keberhasilan dari kepemimpinan Katsumoto yang didukung oleh Nathan adalah pada detik – detik akhir penandatanganan kesepakatan alustsista Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun pada kesempatan pertama, Katsumoto belum berhasil meng-influence Kaisar Meiji. Namun pada kesempatan kedua, Nathan tidak mensia-siakan peluang untuk meyakinkan Sang Kaisar. Dengan susunan kalimat yang baik, Nathan menyampaikan pesan yang kurang lebih seperti ini:
 “Ini pedang Katsumoto. Dia ingin Anda memilikinya agar semangat samurai selalu bersama Anda. Dia berharap bersama nafas terakhirnya Anda bisa mengenang para leluhur yang menggenggam pedang ini dan untuk apa mengorbankan nyawa”

Hal tersebut terbukti ampuh untuk merubah keyakinan Kaisar Meiji. Kaisar Meiji membatalkan kesepakatan dan berbalik arah. Dalam ungkapannya dikatakan bahwa kita tidak boleh melupakan siapa diri kita yang sebenarnya atau darimana kita berasal. Tradisi tetap harus dipegang teguh meskipun modernisasi silih berganti. Nathan sukses mengeksekusi tujuan Katsumoto dan para samurai mempertahankan tradisi dan semangat bushido. Sebagaimana pendapat Yukl (2001), efektivitas kepemimpinan diukur dari seberapa jauh tugas atau tujuan itu tercapai.

*) Paper MK Kepemimpinan Stratejik MAPSI UGM 2015

Referensi:
Yukl, G. 2001. Leadership in Organization. Jakarta: Indeks.

Senin, 16 Maret 2015

Qualitative Research: Case Study (Studi Kasus)



FIELD NOTE 9TH
MEMBAHAS STUDI KASUS
Senin, 10 November 2014


Pada pertemuan kali ini kelas diisi oleh Ibu Dian. Pak Bandi tidak hadir, mungkin ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Ya. Di hari yang bertepatan dengan Hari Pahlawan, saya turut mengucapkan selamat meresapi nilai-nilai kepahlawanan, nilai-nilai nasionalisme – cinta tanah air –. Semoga generasi muda tidak melupakan jasa para pendahulu, sebaliknya akan meneruskan pengabdian mereka secara kekinian.
Kembali ke kelas MP Kualitatif. Hari ini kami memulai dengan kuis. Kami ditunjukkan teks via tayangan power point, selanjutnya kami diminta menyebutkan termasuk teks tersebut temasuk pendekatan yang apa. Jawaban memang tidak ditujukan untuk penilaian, tetapi lebih kepada evalusi pemahaman saja. Setelah lima soal ditayangkan, kami membahas satu per satu. Mirip dengan  pembahasan yang minggu lalu, yaitu pendekatan fenomenologis, naratif, grounded theory, etnorafi, dan studi kasus.
Sekali lagi saya akan mengulas fokus pendekatan. Pendekatan yang dipelopori Edmund Huerl –fenomenologi–berfokus pada penggalian makna terdalam dari pengalaman subjektif; sebuah esensi mengenai pengalaman individu. Pendekatan naratif berfokus pada life history, pada pemahaman terhadap identitas dan pandangan individu dengan mengacu pada cerita-cerita. Selanjutnya, pendekatan grounded theory yang berfokus pada pembentukan teori. Grounded theory berangkat dari permasalahan dan berbasis pada data yang ditemukan di lapangan. Grounded thoery tidaklah dibimbing oleh teori tertentu, karena teori hanya dimunculkan di bagian belakang. Etnografi berfokus pada pada aspek-aspek budaya dalam suatu masyarakat atau kultur komunitas, adapaun studi kasus berfokus mengkaji kasus-kasus tertentu yang luar biasa atau menarik.
Salah satu teman bertanya apakah ada aturan baku mengenai jumlah subjek penelitian? Ya. Tidak ada aturan baku mengenai jumlah subjek dalam berbagai pendekatan penelitian. Tapi secara umum studi kasus jumlah subjeknya lebih sedikit bila dibandingkan dengan fenomenologi, apalagi dibandingkan dengan grounded theory yang jumlahnya memang luar biasa banyak dalam konteks penelitian kualitatif.

Studi Kasus
Setelah minggu lalu mengupas fenomenologi, maka minggu ini kami mempelajari tentang studi kasus. Studi kasus memiliki kekhasan yaitu adanya batasan. Batasan tersebut meliputi tema, waktu dan tempat. Studi kasus harus membuka selebar-lebarnya mata, membuka selebar-lebarnya telinga. Kata Mawhinney (2011) dalam menerapkan pendekatan studi kasus, peneliti harus memiliki full fiew 360 derajat. Yin (2006) menyebut studi kasus sebagai studi empiris yang menginvestigasi fenomena dalam konteksnya. Batasan konteks dan fenomena harus jelas, sejelas-jelasnya. Tujuannya tidak lain, tidak bukan, yakni untuk mengetahui konteks secara kompleks. Kata Creswell, kunci pendekatan studi kasus adalah bounded system. Studi kasus bisa single case atau multiple cases. Kapan single case dan kapan multiple cases  tergantung dari apa tujuan penelitian.
Apakah studi kasus bisa digeneralisasi? Awalnya saya pikir tidak bisa. Ternyata studi kasus bisa digeneralisasi. Guna melakukan generalisasi peneliti perlu paham bahwasannya dalam studi kasus ini perlu pendeskripsian konteks. Pendeskripsian konteks sangat penting pada saat penyampaian penelitian. Menggeneralisir di sini memang bukan secara statistik, tetapi melihat konteksnya apakah mengandung tema yang sama (atau tidak?).
Penelitian baik studi kasus atau kualitatif dan kuantitatif pada umumnya baru bisa dikatakan ilmiah jika empiris (berbasis pengalaman), measurable (dapat diukur), dan falsifable (dapat disanggah). Satu kasus yang tidak mendukung bisa untuk mematahkan teori yang ada. Misalnya finding a black swan (Flyubjerg, 2006) dapat memutuskan all swans are white (Karl Popper). Atau Aristotlerian versus Gallilean mengenai teori gravitasi.  Inilah yang dinamakan falsifikasi, satu kasus saja bisa mematahkan teori.
Menurut States (1995) berdasarkan tujuannya studi kasus memiliki 1) sifat intrinsik, yaitu hanya untuk sekadar memahami aspek intrinsik dari sebuah kasus, 2) instrumental, yaitu merubah teori yang sudah ada, 3) kolektif, yaitu kumpulan untuk dikembangkan ke teori yang lebih besar. Sedangkan berdasarkan desainnya dikemukakan oleh Berg (2001) bahwa studi kasus merupakan pendekatan yang 1) descriptive, untuk mendeskripsikan, 2) eksploratory, untuk menemukan aspek-aspek, 3) ecplanatory, untuk menetahui sebab akibat.
Apa saja komponen yang harus ada dalam sebuah studi kasus? Ya. Studi kasus terdiri dari berbagai komponen, yaitu pertanyaan penelitian, study proposition (if . . . then . . .), identifikasi unit analisis (person, group, proses, specific element, process, dan aspect), logical linking of the data to the propositions (theory), serta kriteria yaitu prosesdur menginterpretasikan “finding”. Menarik sekali bukan(?) Studi kasus merupakan pendekatan yang layak untuk dikembangkan, khususnya mengenai fenomena unik dan langka.

Demikian catatan lapangan hari ini. Terima kasih.

Yogyakarta,
hari kesepuluh bulan November
Muhammad Zulfa Alfaruqy