Selasa, 02 Oktober 2012

Di Balik Sejarah (Kedaulatan Rakyat, 2 Oktober 2012)



Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Sejarah adalah kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat, dan peradaban. Demikian kata Herodotus, Bapak Sejarah. Atas dasar itu, secara bijak, peradaban menempatkan manusia sebagai pelaku sekaligus penulis kronologi sejarah bangsa yang jujur apa adanya.
Salah satu sejarah pilu bangsa kita ialah G30S/PKI. Konon, berlatarbelakang perebutan kuasa, gerakan ini menghembuskan isu dewan jendral dan dengan sadis membunuh perwira AD seperti Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Brigjen D.I. Panjaitan, serta Brigjen S. Siswomiharjo. Bereaksi; rakyat yang sebagian besar mahasiswa pun menghendaki pembubaran PKI. Maka dengan wewenang pemulihan keadaan, Mayjen Soeharto mengabulkan panyuwunan tersebut.
Itu sekilas gambaran duka 1 Oktober 1965 dini hari versi literatur sejarah yang termuat di buku diktat kala kita duduk di bangku sekolah. Buku yang secara sistematis masuk dalam alam bawah sadar dan memberi imagery kisah pemberontakan berdarah.

Alur Tunggal
Satu di antara banyak ciri penulisan sejarah Indonesia ialah kental akan alur tunggal. Alur tunggal memuat satu konten narasi sejarah dan merupakan alat paling manjur dalam pembentukan ingatan kolektif masyarakat (collective memory).
Dalam konteks G30S, ingatan kolektif berperan besar guna memunculkan nama tujuh pahlawan sebagai korban, PKI sebagai tokoh antagonis, serta pembubar PKI sebagai tokoh protagonis. Meski menuai keganjilan, mengenai siapa sebenarnya dalang di balik sejarah, sebagian besar kita teguh meyakini apa yang telah ditulis pewarta sejarah. Hanya sedikit yang sangsi, dan terlalu sedikit yang sungguh hati ingin merekontruksi ulang secara jujur.
Bila boleh jujur, sejatinya terlalu banyak masa lampau yang patut dipertanyakan ke-sahih-annya. Namun apa boleh buat, kuasa penguasa Orba begitu kuat. Keganjilan bak suara hati yang diam menyaksikan alur tunggal mengoceh tak ada lawan. Ya. Alur-alur pengganggu dicitrakan sebagai tutur tinular yang (sengaja) dimatikan atau dibiarkan mati sendiri dalam ruang hampa.
Peringatan-peringatan karya Orba juga menyirat multifungsi, yang salah satu fungsinya memperkuat jalan cerita. Seberapa penting atau seberapa benar, tak terlalu dipersoalkan. Belum lagi monumen-monumen yang kokoh berdiri untuk memperkokoh narasi pilihan atau film dengan efek audio-visual nan kuat yang sengaja dicipta demi memperkuat emosi dan belief.

Kisah Lainnya
Kembali melihat G30S. Bila kita amati, yang paling kerap bersenandung dalam diktat sejarah ialah kisah pembunuhan dewan jendral, dilanjutkan pembubaran PKI. Namun apakah benar cerita pilu tersebut membilang angka tujuh sebagai jumlah korban? Apakah hanya pembubaran PKI, sebagai buntut Tri Tuntutan Rakyat? Kiranya tidak.
Kesadisan peristiwa penculikan dini hari nyatanya berujung penumpasan (balik) besar-besaran terhadap anak negeri yang tegak di bawah bendera palu-arit. Benedict Anderson tahun 1985-an memperkirakan 500.000 sampai 1 juta jiwa melayang sia-sia, tersebar seantero nusantara. Mengerikan. Penumpasan ini membantai anggota, simpatisan dan keluarga yang tak tahu menahu perihal kudeta. Sedemikian cepat kala itu, sehingga rakyat tak sempat membaca analisis lain seperti analisis yang menyebut G30S sebagai persoalan internal TNI/AD, atau kudeta Soeharto terhadap Soekarno, atau rekayasa Soekarno, atau konspirasi Aidit/Soekarno dan Mao Zedong, ataupun provokasi asing  (Sulastomo, 2008).
Sungguh, sejarah memang sebuah oase mencari kebenaran masa lalu, namun tak jarang pula ada yang memanfaatkan sebagai alat pembenaran. Malahan kita kerap larut sebagai pelaku sejarah dengan kepentingan tertentu; dan secara sukarela kita pun mewarisi apa yang Hamdi Muluk sebut sebagai ingatan palsu.
Maka, budaya triangulasi mesti kita lakukan. Sebab sudah menjadi tanggungjawab moral seluruh masyarakat, kususnya insan mahasiswa untuk tanggap memaknai peristiwa, dan menguak dalang di balik layar sejarah. Di samping terus mencari kebenaran saat menulis sejarah dalam konteks kekinian zaman. Gusti mboten sare.