Minggu, 28 Januari 2018

Agama dan Politik


Kampanye sebagai sebuah bentuk persuasi massa kian marak akhir-akhir ini. Apalagi kalau bukan gegera tahun politik. Ya. Juni 2018 kita disuguhkan pilkada di 171 daerah, dan pada Agustus 2018 nanti racik-racik komposisi Presiden-Wakil Presiden 2019 sudah dimulai.

Saya mengamati setidaknya kandidat-kandidat bakal calon kepala daerah di empat provinsi besar. Belum juga diresmikan KPUD, kampanye beraroma agama sudah harum terasa.

Kampanye dengan mengkategorisasikan diri dengan agama (satu dari empat unsur SARA) adalah sah dalam politik. Sebab yang dilarang adalah merendahkan SARA yang lain. Dari kaca mata pemilih pun, memilih berdasarkan ajaran agama jelas merupakan kemerdekaan masing-masing.

Bicara soal politik dan agama, kita ingat nasihat dari Bapak Presiden Jokowi, "Pisahkan Politik dan Agama!"

Alih-alih memisahkan diri dari agama, di Pilkada 2018 ini, politisi justru giat mendekatkan diri pada identitas, aktivitas, dan tokoh agama. Apapun asal partainya. Yang biasanya jarang sowan kyai, sekarang maraton silaturahmi. Yang tidak berkerudung, sekarang sudah menutupi rambut dengan sehelai kain. Makam pinisepuh ulama pun ramai bunga dan untaian doa.

Dalam hal pendekatan terhadap simbol agama, siapakah yang sebenarnya politisi sedang sasar? Apakah pemilih rasional? Jelas bukan. Politisi itu sedang menyasar pemilih sosiologis, pemilih yang menyandarkan keputusan berdasarkan identitas sosial. Sejumlah penelitian pun menegaskan pemilih rasional, jumlahnya tak lebih dari 35%. Artinya, pemilih sosiologis itu sangat potensial.

Sebagai penutup, saya memiliki asumsi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pemilih sosiologis. Saya tidak yakin semua pemilih mengerti (atau setidaknya hafal) visi-misi politisi kandidat itu. Tapi saya sangat yakin pemilih tau betul apa agama, partai, dan darimana kandidat itu berasal.

Rabu, 10 Januari 2018

Mengapa Pemilih Rasional?




Sejumlah analis politik mengarahkan agar masyarakat menjadi pemilih rasional, yang berbasis pada prestasi kerja. Seolah tipe pemilih lain, seperti pemilih sosiologis, psikologis, dan relasional, perlu segera dimetamorfosiskan. Pemilih sosiologis dituding SARA, pemilih psikologis dibilang labil albaper.

Pemilih rasional itu memang bagus, tapi agaknya ada sisi unggul tipe pemilih lain yang terabaikan. Pemilih sosiologis, contohnya, mempunyai pertimbangan aspek sosial dan kewilayahan yang futuristik, memandang preferensi keberpihakan (pengambilan kebijakan) calon pemimpin jauh di masa yang akan datang. Mempertimbangkan proses dan hasil senyawa identitas sosial.

Contohnya, perilaku pemilih Jawa Tengah. Pemilih Jawa Tengah mempunyai sejarah mengantarkan calon pemimpin dengan modal elektabilitas di bawah 10% menjemput kemenangan di atas 40%. Mengapa? Banyak masyarakat Jawa Tengah merupakan pemilih relasional. Siapa pun bila berelasi dengan partai tertentu, pasti akan dipilihnya.

Calon muda atau yang baru injak kaki masuk politik, tentu tak sebanding dengan orang lama atau petahana. Dalam prestasi mengelola pemerintahan, maksudnya. Ikhwal itulah pemimpin baru hadir menawarkan ide, gagasan. Di sini ada kalanya logika tipe pemilih rasional sulit menjelaskan hal itu, namun justru rentan digunakan untuk merendahkan calon baru.

Ya. Inilah demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berdiri di bumi Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa dalam pemilihan umum seolah keragaman itu mesti dilangkahi? Kiranya tidak perlulah masyarakat digiring cepat-cepat menjadi pemilih rasional. Mengalir. Nikmati saja. Toh, kalau itu baik, pasti juga ke arah sana.

Selasa, 09 Januari 2018

Tipe Pemilih dalam Pemilu



2018 adalah tahun politik. Awal sampai pertengahan tahun ada diramaikan dengan Pilkada, sementara mulai tengah tahun kita sudah akan menyaksikan bursa calon Presiden dan Wakil Presiden.

Kita akan menggunakan hak pilih. Pertanyaannya kita cenderung sebagai pemilih yang mana?

Pertama, Pemilih Sosiologis
Pemilih yang mendasarkan pada atribut identitas sosial seperti suku, agama, golongan, dan kewilayahan. Pemilih ini ada. Apakah SARA? Iya. Makanya, saya pribadi heran, mengapa pemilih tidak boleh memilih berdasarkan SARA. Yang tidak boleh itu merendahkan SARA pihak lain. Kalimatnya beda tipis, tapi maknanya jauh berbeda.

Kedua, Pemilih Psikologis
Pemilih yang mendasarkan pada magnet personal (calon) pemimpin. Kecerdasan, kharisma, keterkenalan, adalah beberapa di antaranya.

Ketiga, Pemilih Rasional
Pemilih yang mendasarkan pada kinerja (calon) pemimpin. Histori prestasi dan hasil kerja menjadi bagian yang akan menjadi atensi dalam memilih pemimpin.

Keempat, Pemilih Relasional
Pemilih yang mendasarkan pada keterkaitan. Pemilih tidak melihat asal, prestasi, dan personality (calon) pemimpin, tapi lebih kepada bagaimana menelisik keterkaitan (calon) pemimpin dengan sosok panutannya.