Senin, 17 Juni 2013

Benalu Pancasila (Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 2013)



oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Social Studies Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

“Garuda Pancasila akulah pendukungmu/ Patriot proklamasi sedia berkorban untukmu/ Pancasila dasar negara, rakyat adil makmur sentosa, pribadi bangsaku”
(Garuda Pancasila – Sudharnoto)

Inilah sepenggal lirik syarat makna yang terdengung tegas di lubuk sanubari setiap manusia Indonesia. Sebagian besar di antara kita mungkin masih teringat bahwa lagu tersebut merupakan salah satu lagu nasional yang sering kita lantunkan di usia dini. Bahkan tatkala kita belum mengerti apa arti pula esensi dari “Pancasila” itu sendiri.

Di kekinian masa, Pancasila dapat kita pahami sebagai pedoman dasar negara bangsa (nation state). Sila yang panca tersebut tidak sekejap jadi, tetapi mengalami penyesuaian secara kontinum. Maka, dalam suasana Hari Lahir Pancasila ini, marilah kita berterima kasih kepada Bung Karno dan kolega yang mencanangtegakkan lima pokok kebaikan. Kebangsaan, internasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Mahakarya yang Dikerdilkan (?)
Dalam sejarah berdirinya negara-bangsa beserta ideologi yang menyertai, Pancasila dan Indonesia (pernah) diagungkan, dihormati serta dikagumi oleh bangsa sendiri dan bangsa lain. Bagaimana tidak? Negara yang baru bebas dari pasung penjajahan sudah mampu bersuara lantang; memberi sumbangan gagasan pada dunia. Seketika itu Indonesia mercusuar di tengah negara new emerging forces.
Pancasila memanggul di pundaknya fungsi integratif bagi nusantara dengan segala kebhinnekaan suku, budaya, agama dan bahasa. Sehingga, tak berlebihan rasanya bila kita mengaklamasikan Pancasila sebagai warisan mahakarya sekaligus satu dari empat pilar kebangsaan. Namun sayang, dasar negara yang lahir 1 Juni 1945 bak menjadi pemahaman marjinal di negeri tempat dia dilahirkan.
Asyumardi Azra (2010) bertutur setidaknya ada tiga faktor yang membuat Pancasila masih marjinal. Pertama, Pancasila dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain. Ketiga, desentralisasi dan otonom daerah yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan.
Benalu Pancasila
Benalu-benalu subur menghinggapi integrasi sila dalam Pancasila. Menjerat, kemudian mengoyak hingga menipis maknanya. Ketuhanan yang esa telah terkontaminasi dengan unsur-unsur bangkrut yang mengutamakan okol kepentingan (politis mengatasnamakan) agama. Agama diadu sekonyong-konyongnya. Mokshartham jagahita atau membangun kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah; telah jauh panggang dari api.
Sementara itu, kemanusian kita menemui das sein yang condong negatif. Kita seperti dikelabuhi. Kemanusiaan yang kita anut tidaklah merampas hak fakir, tidak mengkorupsi sedekah untuk rakyat miskin, dan tidak pula memanfaatkan amanah rakyat sebagai legalitas kekuasaan nan banal. Kemanusiaan Indonesia ialah kemanusiaan yang santun, beradab dan adil sesuai kadarnya. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang menghargai kebhinnekaan. Bukan sebaliknnya, mengkerdilakan rakyat minoritas atau bahkan memecah-belah kesatuan dengan demi syahwat golongan.
Ingatan kita juga merekam jelas demokrasi yang sesumbar perihal kerakyatan. Tapi nyatanya, sistem demokrasi terperangkap dalam pusaran perwakilan transaksional antara wakil rakyat dan rakyatnya. Di parlemen pun terjadi hal serupa; yakni musyawarah transaksi kepentingan. Kasus Century misalnya, bukankah ini parodi panggung yang bertransaksi (?)
Khususnya dalam dekade terakhir, rakyat dibiarkan lama mendambakan keadilan yang berunjung pada frustasi sosial. Rakyat kecil ditudinglemparkan sebagai musabab kekacauan dan akar benalu bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Tetapi, kita seakan lupa bahwa kekacauan itu lahir dari ketidakmerataan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Semoga benalu yang melilit segera dapat dimusnahkan. Dasar negara kita bukan agama mayoritas, bukan sekadar impian kemanusiaan dan persatuan, ataupun keadilan bagi yang berkuasa. Dasar kita adalah Pancasila yang memuliakan manusia Indonesia. Selamat Hari Lahir Pancasila. Kitalah pendukung(mu).