Jumat, 08 Januari 2016

Psikologi Nasionalisme (Psychology of Nationalism)

oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy


Kohn (1984, h.12), seorang ahli sejarah, mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang memberi kesadaran kepada para penduduk sekaligus mewajibkannya untuk memahami keanggotaan secara utuh. Dalam hal ini, nasionalisme mengarahkan penduduk agar negara kebangsaan menjadi cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik. Searle-White (dalam Houghton, 2009, h.169), seorang ilmuwan psikologi, menjelaskan bahwa nasionalisme adalah identifikasi individu terhadap kelompok yang mempunyai kesamaan sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri guna menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut negara-bangsa (yaitu negara merdeka yang penduduk utamanya berasal dari satu bangsa).

Psikologi Nasionalisme
Cottam, Uhler, Mastors dan Preston (2012, h.384-391) dalam Pengantar Psikologi Politik memberikan gambaran orang yang memiliki nasionalisme (nasionalis). Para nasionalis memberikan loyalitas utama kepada bangsa yang dipersepsikan, yang dapat dianggap sebagai sebuah in-group. Nasionalis berkomitmen terhadap persatuan, kemerdekaan, martabat, dan kesejahteraan bangsa serta negaranya. Nasionalis tetap mencintai bangsa, meskipun tidak menyukai pemerintah yang sedang berkuasa. Nasionalis termotivasi untuk memiliki kelekatan positif yang kuat dengan bangsa. Nasionalis juga memandang bahwa in-group lebih baih daripada out-group, sehingga akan lebih mungkin peka terhadap hal-hal seperti penghinaan, kefrustasian, dan perilaku agresif yang dilakukan out-group.
Cottam, Uhler, Mastors dan Preston (2012, h.385-386) memaparkan pola perilaku para nasionalis dan negara kebangsaan. Pertama, nasionalis cenderung lebih sensitif daripada nonnasionalis terhadap ancaman-ancaman bagi negara bangsanya, dan terhadap citra yang digunakan untuk memandang pengancam tersebut adalah ekstrem. Kedua, nasionalis, khususnya pemimpin, sangat sensitif terhadap kesempatan untuk meningkatkan pengaruh negara. Ketiga, negara-bangsa memiliki kecenderungan untuk secara mendalam memikirkan tujuan mengumpulkan komunitas yang ada di luar batas-batas negaranya.
Keempat, para nasionalis lebih mementingkan prestis dan martabat negara daripada para nonnasionalis. Para nasionalis lebih ingin mengambil tindakan untuk memperbaiki penghinaan yang dipersepsikan. Kelima, para nasionalis ingin melihat prestis dan status bangsa ditingkatkan dan dikenal secara global. Keenam, para pemimpin negara bangsa lebih mampu membuat daya tarik yang efektif bagi warga negaranya untuk membuat pengorbanan besar guna meningkatkan kekuasaan negara apabila dibandingkan dengan negara-nonbangsa. Ketujuh, publik lebih berkeinginan untuk mengabdi dalam bidang militer dan memiliki komitmen yang lebih intens dalam mempertahankan negara. Terakhir, warga negara suatu negara-bangsa lebih mudah memberikan para pemimpinnya banyak kebebasan untuk mengambil risiko dalam membela kepentingan negara. Para pemimpin yang gagal akan dihukum oleh orang-orang yang nasionalistis.

Penelitian di Indonesia
Penelitian yang dilakukan oleh Alfaruqy & Masykur (2014) terhadap presiden mahasiswa menemukan bahwa nasionalisme dimaknai sebagai perasaan bangga dan cinta terhadap bangsa yang diwujudkan melalui tindakan. Presiden mahasiswa menilai bahwa nasionalisme penting dan relevan untuk diterapkan pada masa sekarang. Nasionalisme berfungsi sebagai identitas sosial. Presiden mahasiswa merasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Rasa bangga diwujudkan dengan melakukan autokritik atas kondisi bangsa Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, memakai produk lokal, mengedukasi mahasiswa dan masyarakat, menolak kerjasama asing, mengawal pemilihan umum, mengawal kasus korupsi, serta mempersiapkan diri untuk berkontribusi di masa yang akan datang. Faktor yang mempengaruhi nasionalisme presiden mahasiswa ialah orang yang dianggap penting, organisasi, media massa, pendidikan, agama, dan pengalaman berkesan.



DAFTAR PUSTAKA
Alfaruqy, M. Z. & Masykur, A.M. (2014). Memaknai nasionalisme: Studi fenomenologis pada presiden mahasiswa perguruan tinggi negeri di jawa tengah dan daerah istimewa yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Semarang: Universitas Diponegoro.
Cottam, M.L., Uhler B. D., Mastors, M., & Preston T. (2012). Pengantar psikologi politik. Jakarta: Rajawali Pers.
Houghton, D. P. (2008). Political psychology. New York: Taylor & Francis.
Kohn, H. (1984). Nasionalisme: Arti dan sejarahnya. Jakarta : Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar