oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Kohn (1984, h.12), seorang ahli sejarah, mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang memberi kesadaran kepada para penduduk sekaligus mewajibkannya untuk memahami keanggotaan secara utuh. Dalam hal ini, nasionalisme mengarahkan penduduk agar negara kebangsaan menjadi cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik. Searle-White (dalam Houghton, 2009, h.169), seorang ilmuwan psikologi, menjelaskan bahwa nasionalisme adalah identifikasi individu terhadap kelompok yang mempunyai kesamaan sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri guna menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut negara-bangsa (yaitu negara merdeka yang penduduk utamanya berasal dari satu bangsa).
Kohn (1984, h.12), seorang ahli sejarah, mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang memberi kesadaran kepada para penduduk sekaligus mewajibkannya untuk memahami keanggotaan secara utuh. Dalam hal ini, nasionalisme mengarahkan penduduk agar negara kebangsaan menjadi cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik. Searle-White (dalam Houghton, 2009, h.169), seorang ilmuwan psikologi, menjelaskan bahwa nasionalisme adalah identifikasi individu terhadap kelompok yang mempunyai kesamaan sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri guna menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut negara-bangsa (yaitu negara merdeka yang penduduk utamanya berasal dari satu bangsa).
Psikologi
Nasionalisme
Cottam,
Uhler, Mastors dan Preston (2012, h.384-391) dalam Pengantar Psikologi Politik
memberikan gambaran orang yang memiliki nasionalisme (nasionalis). Para
nasionalis memberikan loyalitas utama kepada bangsa yang dipersepsikan, yang
dapat dianggap sebagai sebuah in-group.
Nasionalis berkomitmen terhadap persatuan, kemerdekaan, martabat, dan
kesejahteraan bangsa serta negaranya. Nasionalis tetap mencintai bangsa,
meskipun tidak menyukai pemerintah yang sedang berkuasa. Nasionalis termotivasi
untuk memiliki kelekatan positif yang kuat dengan bangsa. Nasionalis juga
memandang bahwa in-group lebih baih
daripada out-group, sehingga akan
lebih mungkin peka terhadap hal-hal seperti penghinaan, kefrustasian, dan perilaku
agresif yang dilakukan out-group.
Cottam,
Uhler, Mastors dan Preston (2012, h.385-386) memaparkan pola perilaku para
nasionalis dan negara kebangsaan. Pertama,
nasionalis cenderung lebih sensitif daripada nonnasionalis terhadap
ancaman-ancaman bagi negara bangsanya, dan terhadap citra yang digunakan untuk
memandang pengancam tersebut adalah ekstrem. Kedua, nasionalis, khususnya pemimpin, sangat sensitif terhadap
kesempatan untuk meningkatkan pengaruh negara. Ketiga, negara-bangsa memiliki kecenderungan untuk secara mendalam
memikirkan tujuan mengumpulkan komunitas yang ada di luar batas-batas
negaranya.
Keempat, para nasionalis lebih mementingkan
prestis dan martabat negara daripada para nonnasionalis. Para nasionalis lebih
ingin mengambil tindakan untuk memperbaiki penghinaan yang dipersepsikan. Kelima, para nasionalis ingin melihat
prestis dan status bangsa ditingkatkan dan dikenal secara global. Keenam, para pemimpin negara bangsa
lebih mampu membuat daya tarik yang efektif bagi warga negaranya untuk membuat
pengorbanan besar guna meningkatkan kekuasaan negara apabila dibandingkan
dengan negara-nonbangsa. Ketujuh,
publik lebih berkeinginan untuk mengabdi dalam bidang militer dan memiliki
komitmen yang lebih intens dalam mempertahankan negara. Terakhir, warga negara suatu negara-bangsa lebih mudah memberikan
para pemimpinnya banyak kebebasan untuk mengambil risiko dalam membela
kepentingan negara. Para pemimpin yang gagal akan dihukum oleh orang-orang yang
nasionalistis.
Penelitian di
Indonesia
Penelitian
yang dilakukan oleh Alfaruqy & Masykur (2014) terhadap presiden mahasiswa
menemukan bahwa nasionalisme dimaknai sebagai perasaan bangga dan cinta terhadap
bangsa yang diwujudkan melalui tindakan. Presiden mahasiswa menilai bahwa
nasionalisme penting dan relevan untuk diterapkan pada masa sekarang.
Nasionalisme berfungsi sebagai identitas sosial. Presiden mahasiswa merasa
bangga sebagai bangsa Indonesia. Rasa bangga diwujudkan dengan melakukan
autokritik atas kondisi bangsa Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, memakai
produk lokal, mengedukasi mahasiswa dan masyarakat, menolak kerjasama asing,
mengawal pemilihan umum, mengawal kasus korupsi, serta mempersiapkan diri untuk
berkontribusi di masa yang akan datang. Faktor yang mempengaruhi nasionalisme
presiden mahasiswa ialah orang yang dianggap penting, organisasi, media massa,
pendidikan, agama, dan pengalaman berkesan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfaruqy, M. Z.
& Masykur, A.M. (2014). Memaknai
nasionalisme: Studi fenomenologis pada presiden mahasiswa perguruan tinggi
negeri di jawa tengah dan daerah istimewa yogyakarta. Tidak dipublikasikan.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Cottam, M.L.,
Uhler B. D., Mastors, M., & Preston T. (2012). Pengantar psikologi politik. Jakarta: Rajawali Pers.
Houghton, D.
P. (2008). Political psychology. New York: Taylor & Francis.
Kohn, H.
(1984). Nasionalisme: Arti dan
sejarahnya. Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar