oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
#KamiTidakTakut adalah tagar
yang muncul pasca tragedi Bom Sarinah Januari 2016. Tagar ini tidak hanya masyhur
di dunia maya dan media massa, tetapi juga mengalir deras di aktivitas nyata
yang dimanifestasikan melalui aksi pengecaman atau sekadar foto selfie bertagar
#KamiTidakTakut. Tagar ini barangkali ditujukan untuk menggugah perasaan dan
laku kita untuk tidak takut terhadap aksi teroris. Dalam khazanah psikologi
kita mengenal hal ini sebagai bentuk sugesti diri (yang meluas menjadi persuasi
massal). Benar saja optimisme akan keamanan lingkungan sekitar merupakan bentuk
positif perilaku manusia.
Mencoba sedikit
mengabaikan bahwa teror bom Sarinah sudah diketahui oleh pemerintah sebelumnya
atau tidak, settingan atau tidak, dan pengalihan isu atau tidak. Mencoba
sedikit mengabaikan bahwa konon dana berasal dari pihak sekutu. Dan mencoba
untuk melupakan bahwa ternyata tidak ada balasan dari Prancis sebab masyarakat
Indonesia pernah larut dalam simpati penggunaan gradasi bendera Prancis kala
ada serangan bom Paris.
Pada kesempatan kali ini
saya akan membingkai dari kacamata psikologi mengenai beberapa hal yang luput dari
perhatian khalayak masyarakat. Pertama,
#KamiTidakTakut, merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) yang sebenarnya
tidak menghilangkan rasa takut itu sendiri. Rasa takut hanya ditekan dan
dimunculkan dalam bentuk lain. Sebut saja maraknya meme yang berseliweran di
media sosial; tukang sate, asongan, polisi ganteng, sarinah/suriah dan lain sebagainya.
Kedua, #KamiTidakTakut secara tidak sadar, justru
menanamkan ketakutan. Bagaimana bisa? Otak kita tidak mengenal kata “tidak”.
Misalnya saya meminta Anda untuk “tidak membayangkan gajah”. Apa yang tejadi?
Anda justru membayangkan gajah. Mekanisme inilah yang kemudian yang lambat laun
tertanam dalam bawah sadar. Akhirnya yang muncul adalah was-was terhadap orang-orang
yang secara visual memiliki penampilan sama atau mirip pelaku bom. Beda
ceritanya jika menggunakan kata “berani”.
Ketiga,
#KamiTidakTakut mengandung
ekspresi kurang simpatik terhadap korban ledakan bom, baik yang mengalami luka
maupun meninggal. Kita mungkin bisa saja mengatakan tidak takut karena tidak
mengalami secara langsung. Tapi bagaimana dengan saudara kita yang menjadi korban
dalam peristiwa tersebut? Traumatis atas suatu pengalaman adalah keniscayaan
bagi mereka yang terjebak dalam pengalaman nan mencekam. Jika pernah melihat
video amatir yang sempat diambil saksi mata tentu kita tidak menyaksikan
situasi dan sorak sorai kegembiraan. Yang ada hanyalah jeritan, ekspresi kekhawatiran,
dan penyebutan nama Tuhan Allah SWT seraya meminta perlindungan-Nya.
Keempat,
#KamiTidakTakut
justru berpotensi memicu munculnya aksi teror di kemudian hari, yang barangkali
kualitas dan kuantitas terornya lebih dari ledakan bom Sarinah. Coba bayangkan dalam
situasi chaos ada seseorang yang menyerang
kita, lantas kita katakan padanya, oh saya tidak takut. Apa yang terjadi? Ada
dua kemungkinan: seseorang tersebut akan mundur atau kembali menyerang. Pun, dalam
situasi yang seperti ini kemungkinan besar adalah kembali menyerang. Tentu
bukan perkara sedikit atau banyaknya korban, tetapi ini perkara kemanusiaan,
khususnya nyawa manusia.
Sungguh, teror bom
merupakan perbuatan yang sangat mendegradasi sisi kemanusiaan. Tidak bisa
dibenarkan dari segi manapun. Biarlah polisi yang bertindak sebagaimana mestinnya;
mencabut radikalisme hingga keakar-akarnya. Mencabut bibit-bibit teroris tidak
hanya setelah tiba kejadian yang tidak diinginkan. Dan menebas terorisme bukan
karena pesanan pihak-pihak tertentu dan berdasarkan agama tertentu.
Sebagai masyarakat patutlah
kita tidak berlebihan yang mewujud dalam membuat dan menyebarkan gambar atau
tulisan yang mungkin dianggap lucu tapi justru mengikis rasa simpati dan rasa syukur
kita. Sebab yang dibutuhkan bukan keberanian menantang teoris bahwa kita tidak
takut. Yang kita butuhkan adalah sikap yang senantiasa eling lan waspada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar