Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Semarang
...
dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak
cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk tanah air
Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia. (Ir. Soekarno – Pidato
untuk Mahasiswa AS 1956)
Sepakat dengan apa yang
diwejangkan oleh Ir. Soekarno. Begitu besar harapan dan ekspektasi
Beliau terhadap mahasiswa kala itu. Pun demikian sampai sekarang.
Mahasiswa merupakan sosok tangguh yang bukan hanya pemikul tanggungjawab
estafet pendahulu tapi juga pribadi yang potensial untuk mengemban
titah kebhinekaan.
Mahasiswa bak aset besar sekaligus ruh
sebuah negara. Namun sayang, ketangguhan mahasiswa tergoyahkan karena
kerikil-kerikil (persatuan) yang menghadang. Alhasil, (sebagian)
mahasiswa bertransformasi dari intelektual muda menjadi preman
berkampus. Mereka gagah, pintar dan beralmamater, tapi mudah terpancing
marah serta tindakan agresi.
Bak menjawab segala spekulasi maupun opini, akhir-akhir ini tawuran mahasiswa menampakkan wujud aslinya di berbagai mass media.
Mulai dari tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Lampung
(21/9), Universitas Negeri Gorontalo (3/10), Universitas Sumatera Utara
(31/10), Universitas Suryakiancana Cianjur (4/11) sampai Universitas
Hasanuddin (15/11). Ngeri, tapi inilah kenyataan; buah dari minim
penerapan sila Persatuan.
Cidera Persatuan Indonesia
Deras
gelombang tawuran menerjang dengan pasti. Bagaimana tidak? Tawuran
hampir senada dengan pola hidup hedonis, konsumtif, dan sekuler yang tak
pandang bulu dalam memapar pemuda masa kini. Akibatnya, tawuran
menambah deretan masalah selain korupsi, kemiskinan, pergolakan politik,
pencaplokan wilayah, dan degradasi moral generasi baru yang makin
kencang membekap rakyat Indonesia.
Tawuran merupakan bagian dari agresi. Dalam Psikologi Sosial, Sarlito
W. Sarwono (2005) mengartikan agresi sebagai perilaku fisik atau lisan
yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.
Adapun tawuran masuk dalam kategori agresi instrumental, di mana agresi
lebih kepada tujuan tertentu, misalnya membela kelompok, balas dendam
kelompok dan lain sebagainya.
Berbagai motif yang
melatarbelakangi tawuran seakan mengisyaratkan bahwa ada cidera
berkepanjangan di tubuh Pancasila, terutama sila ketiga; Persatuan
Indonesia. Sila yang diekstrasi oleh para pendiri bangsa (founding father) kini
terancam “dimuseumkan” oleh zaman. Bukan salah pada Pancasila, tapi
salah (kita) yang mengaplikasikan “persatuan” hanya sebagai pemanis di
antara beragam suku, ras, agama, adat dan sosial budaya. Pendeknya,
makna persatuan seperti kehilangan esensi dan urgensi.
Tawuran seakan menjadi hal wajar, meski tak bisa dibenarkan.
Rindu Kedamaian
Siapa
yang tidak rindu kedamaian? Secara akal sehat pasti tidak ada yang
tidak mengharapkan kedamaian. Apalagi untuk negara “sekelas” Indonesia
yang konon punya budi luhur, ramah, sopan dan tahu unggah-ungguh.
Kampus
sebagai tempat aktivitas kaum intelatual harusnya bisa menjadi panutan.
Panutan dalam segala hal, terutama saling mengerti dan memahami
hubungan antar sesama baik dari kajian teoritis maupun praktis. Bukan
menebar jala perang. Bayangkan apa jadinya negeri ini, bila calon
pendidik, calon ilmuwan, calon penegak keadilan dan calon pengampu
kekuasaan punya kebiasaan tawuran di masa muda? Mau di bawa ke mana
tanah air kita? Tentu bukan arena tinju illegal yang kita harap. Bukan
medan perang yang kita damba.
Tenggangrasa, toleransi
serta saling menghargai merupakan kunci yang harus ditanam dalam lubuk
sanubari bila memang ada niatan yang tulus untuk menyelamatkan muka
dunia pendidikan (jangka pendek) dan keberlangsungan negeri ini dua-tiga
dekade mendatang (jangka panjang). Semoga Tuhan meridhoi itikad baik
kita dan menempatkan kita sebagai kaum-Nya yang selalu istiqomah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar