Minggu, 20 Mei 2012

Tawuran Ciderai Pancasila (Kedaulatan Rakyat, 22 November 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro - Semarang

... dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk  tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia. (Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956)

Sepakat dengan apa yang diwejangkan oleh Ir. Soekarno. Begitu besar harapan dan ekspektasi Beliau terhadap mahasiswa kala itu. Pun demikian sampai sekarang. Mahasiswa merupakan sosok tangguh yang bukan hanya pemikul tanggungjawab estafet pendahulu tapi juga pribadi yang potensial untuk mengemban titah kebhinekaan.

Mahasiswa bak aset besar sekaligus ruh sebuah negara. Namun sayang, ketangguhan mahasiswa tergoyahkan karena kerikil-kerikil (persatuan) yang menghadang. Alhasil, (sebagian) mahasiswa bertransformasi dari intelektual muda menjadi preman berkampus. Mereka gagah, pintar dan beralmamater, tapi mudah terpancing marah serta tindakan agresi.

Bak menjawab segala spekulasi maupun opini, akhir-akhir ini tawuran mahasiswa menampakkan wujud aslinya di berbagai mass media. Mulai dari tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Lampung (21/9), Universitas Negeri Gorontalo (3/10), Universitas Sumatera Utara (31/10), Universitas Suryakiancana Cianjur (4/11) sampai Universitas Hasanuddin (15/11). Ngeri, tapi inilah kenyataan; buah dari minim penerapan sila Persatuan.

Cidera Persatuan Indonesia
Deras gelombang tawuran menerjang dengan pasti. Bagaimana tidak? Tawuran hampir senada dengan pola hidup hedonis, konsumtif, dan sekuler yang tak pandang bulu dalam memapar pemuda masa kini. Akibatnya, tawuran menambah deretan masalah selain korupsi, kemiskinan, pergolakan politik, pencaplokan wilayah, dan degradasi moral generasi baru yang makin kencang membekap rakyat Indonesia.

Tawuran merupakan bagian dari agresi. Dalam Psikologi Sosial, Sarlito W. Sarwono (2005) mengartikan agresi sebagai perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Adapun tawuran masuk dalam kategori agresi instrumental, di mana agresi lebih kepada tujuan tertentu, misalnya membela kelompok, balas dendam kelompok dan lain sebagainya.

Berbagai motif yang melatarbelakangi tawuran seakan mengisyaratkan bahwa ada cidera berkepanjangan di tubuh Pancasila, terutama sila ketiga; Persatuan Indonesia. Sila yang diekstrasi oleh para pendiri bangsa (founding father) kini terancam “dimuseumkan” oleh zaman. Bukan salah pada Pancasila, tapi salah (kita) yang mengaplikasikan “persatuan” hanya sebagai pemanis di antara beragam suku, ras, agama, adat dan sosial budaya. Pendeknya, makna persatuan seperti kehilangan esensi dan urgensi.

Tawuran seakan menjadi hal wajar, meski tak bisa dibenarkan. 


Rindu Kedamaian
Siapa yang tidak rindu kedamaian? Secara akal sehat pasti tidak ada yang tidak mengharapkan kedamaian. Apalagi untuk negara “sekelas” Indonesia yang konon punya budi luhur, ramah, sopan dan tahu unggah-ungguh.

Kampus sebagai tempat aktivitas kaum intelatual harusnya bisa menjadi panutan. Panutan dalam segala hal, terutama saling mengerti dan memahami hubungan antar sesama baik dari kajian teoritis maupun praktis. Bukan menebar jala perang. Bayangkan apa jadinya negeri ini, bila calon pendidik, calon ilmuwan, calon penegak keadilan dan calon pengampu kekuasaan punya kebiasaan tawuran di masa muda? Mau di bawa ke mana tanah air kita? Tentu bukan arena tinju illegal yang kita harap. Bukan medan perang yang kita damba.

Tenggangrasa, toleransi serta saling menghargai merupakan kunci yang harus ditanam dalam lubuk sanubari bila memang ada niatan yang tulus untuk menyelamatkan muka dunia pendidikan (jangka pendek) dan keberlangsungan negeri ini dua-tiga dekade mendatang (jangka panjang). Semoga Tuhan meridhoi itikad baik kita dan menempatkan kita sebagai kaum-Nya yang selalu istiqomah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar