Minggu, 20 Mei 2012

Kekerasan dalam Pendidikan Kita (Joglosemar, 8 November 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang

Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani.
(Ki Hajar Dewantara)

Siapa yang tak kenal untaian kalimat nan penuh makna tersebut? Ya. Hampir dapat dipastikan jika sebagian besar dari kita sudah akrab mendengarkannya. Bahkan boleh dikatakan sudah menjadi hafalan di luar kepala atau mendarah daging dalam sistem kognisi setiap penduduk Indonesia.

Apa yang disuratkan KHD kerap dikait-kaitkan dengan dunia pendidikan di bumi pertiwi.  Mengalir begitu indah dan secara turun-temurun menjadi “pedoman tak tertulis” bagi Bapak/Ibu Guru. Di mana guru diharapkan dapat memberi teladan ketika di depan, memberi memotivasi saat di tengah dan menjadi pendorong tatkala berada di belakang.

Ini artinya guru harus bisa menjadi figur yang bisa digugu lan ditiru. Sedangkan siswa mesti menghormati guru sesuai kapasitas mereka sebagai sosok pengajar dan orang tua kedua. Demikian idealnya. Pertanyaan kemudian menyeruak dalam pikiran kita, apa jadinya bila keidealan tersebut bertemu dengan realita zaman?

Kenyataan Getir
Sampai detik ini sudah tak terhitung lagi berapa banyak kasus bertema siswa “versus” guru mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Banyak versi, banyak pembelaan dan banyak berebut kebenaran. Entah siapa yang memulai. Entah siapa pula pihak yang merasa merugikan atau dirugikan. Kita yang terus-terusan disodori kasus-kasus sejenis hanya dapat mengelus dada sembari berdoa kepada Tuhan agar yang seperti itu tidak membudaya dari generasi ke generasi.

Belum sembuh memori ini dari kasus pemukulan yang dilakukan oknum guru terhadap siswa di bilangan Jakarta Barat (30/9), kasus serupa pun muncul lagi. Kali ini terjadi di kawasan Solo Raya, tepatnya di Kabupaten Sragen. Seorang guru Bimbingan Penyuluhan SMP menampar siswanya yang duduk bangku kelas XI lantaran ujung baju sang siswa tidak dimasukkan ke dalam celana ketika rampung sekolah. Akibat dari penamparan, siswa mengalami pendarahan, trauma dan enggan masuk sekolah. (Joglosemar, 4/11/2011).

Sungguh sangat disayangkan. Tapi apa boleh dikata, yang sudah terjadi harus dihadapi dengan ksatria. Meskipun konsekuensinya adalah muka dunia pendidikan yang makin tercoreng. Jujur. Tak ada sebersit niat untuk “menghakimi” siapa yang benar dan siapa yang salah pada kesempatan yang mulia ini. Hemat saya, akan jauh lebih bermanfaat jika kita mencoba menggali penyebab dan solusi mengapa konflik siswa-guru kini marak terjadi. Harapan saya saat tulisan ini dibuat, kasus yang membelit kedua belah pihak tadi dapat diselesaikan secara damai. Semoga.

Sebenarnya, kasus yang mewarnai dunia pendidikan (terkait perilaku siswa) tak terpaku pada siswa -guru saja, tapi variatif. Bagaimana tidak? Berbagai bentuk penyimpangan makin terang-terangan menunjukkan eksistensi kepada khalayak ramai. Pemberitaan dan beredarnya video maupun foto yang tak sesuai dengan kodrat pelajar seakan menjadi bukti penegas bahwa telah terjadi pergeseran nilai. Sebut saja kasus tawuran yang dilakukan ratusan siswa SMA 6 Jakarta dengan wartawan (19/9).

Hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi. Belakangan, sekurang-kurangya ada lima tawuran ter-blow up media massa, yakni tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Hasanuddin (12/9), Universitas Lampung (21/9), Universitas Negeri Gorontalo (3/10), Universitas Sumatera Utara (31/10) dan Universitas Suryakiancana Cianjur (4/11).

Maka tak bisa dipungkiri jika polah mahasiswa pun tak jauh beda dengan siswa. Bahkan kadang lebih bringas, meski title “maha” sudah melekat di pundak. Peraturan tentang norma kampus hanya dibaca ketika masa penerimaan mahasiswa baru saja. Setelah itu, peraturan tak ubahnya pelengkap dan angin lalu. Miskin aplikasi. Malahan, citra mahasiswa kian buruk akibat pola perilaku yang mengagungkan sekuler, hedonis dan konsumtif.

Fakta-fakta di atas memang tak bisa digunakan untuk dapat menggeneralisasi bahwa perilaku menyimpang merajai tangga life style semua siswa dan atau mahasiswa Indonesia, tapi setidaknya bisa dijadikan peringatan  yang mesti diindahkan oleh berbagai pihak.

Memahami dan Mengais Solusi
Penyimpangan perilaku yang ditunjukkan siswa merupakan contoh riil dari dinamika remaja yang sangat kompleks; yang sekurang-kurangnya melibatkan hubungan erat antara perkembangan fisik dan psikis. Tugas-tugas perkembangan seperti menerima keadaan fisik, menjalin hubungan baru dan menjalankan peran sosial pun menuntut penyelesaian. Semua mengendap membentuk stereotip yang mengatakan jika masa remaja adalah masa yang penuh dengan tekanan. Stanley Hall (1844-1924) menyebutnya sebagai masa badai dan tekanan (storm and stress).

Menurut kajian aliran behaviorisme, segala bentuk perilaku seseorang dipengarungi oleh lingkungan. Ini artinya lingkunganlah membentuk karakter siswa. Degradasi moral dan etika yang berujung pada terjadinya krisis merupakan akibat dari tidak mampunya lingkungan menciptakan siswa sebagai aset masa depan.

Pemahaman lingkungan tersebut tak lantas mendiskreditkan pada lengahnya pihak sekolah sebagai pihak tunggal penyebab krisis moral siswa. Pasalnya ada lingkungan yang lebih mendominasi di luar jam sekolah, antara lain pergaulan dengan teman sebaya (peers group) dan kuatnya arus globalisasi. Di mana imitasi, identifikasi dan modeling terhadap tingkah laku tertentu dapat dengan mudah dipraktikkan oleh para siswa dan atau remaja.

Celakanya tingkah laku negatiflah yang kerap memenangi sistem kognisi, afeksi dan konasi siswa. Sehingga segala bentuk kenakalan tak bisa dielakkan. Bayangkan penggunaan narkoba, tawuran antarpelajar, seks bebes (free sex), premanisme dan berbagai bentuk penyimpangan lain bisa menjadi bom waktu yang siap sewaktu-waktu.

Untuk itu peran keluarga dan sekolah dalam memantau pergaulan siswa sangat diperlukan. Menjadi lingkungan yang nyaman bagi mereka juga merupakan salah satu solusi terbaik. Sebab tak jarang penyimpangan pada usia remaja terjadi lantaran minimnya kasih sayang. Apalagi menurut Erickson (Hurlock, 2009) masa remaja adalah masa pencarian identitas. Di mana orang terdekat memegang andil besar.

Bila kita perhatikan, dalam diri siswa maupun remaja ada kecenderungan ingin menjadi pusat perhatian. Syukur kalau diwujudkan dalam prestasi. Lha kalau diwujudkan dalam perilaku nakal, tentu menjadi masalah baru. Maka pemberian pemahaman yang benar, sangat penting di sini. Apalagi bila ditambah penguatan (reinforcement), pasti akan lebih memotivasi kebiasaan baik. Di samping itu penanaman agama dan nilai sosial kemasyarakatan juga merupakan poin penting yang tidak boleh diabaikan.

Sungguh, masalah yang mewarnai dunia pendidikan, harus ditangani oleh semua pihak. Semoga ada perbaikan di posisi masing-masing. Harapannya pada saatnya nanti akan kita jumpai generasi yang berakhlak mulia, pandai, tahu unggah-ungguh dan tidak rajin korupsi. Amin. Gusti mboten Sare.

... dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk  tanah air Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia.
(Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956)

1 komentar:

  1. kalo mau dilihat lihat..tenaga pendidik saat ini cenderung kurang mendidik. mendidik tidak hanya sekedar materi kurikulum saja, tetapi moral pun perlu dididik, bener g?

    kurangnya pemahaman pada sebuah peran sebagaipendidik yang merupakan pondasi seorang guru, bisa memengaruhi perannya di lingkungan pendidikan.

    rata" saat ini mereka hanya ingin bekerja, namun tak paham apa yang mereka kerjakan. padahal semua pekerjaan bila tidak disertai dengan hati, dan benar" memahami, bukankah akan menjadi setengah"?

    kayaknya perlu transparansi dalam pembuatan kurikulum, supaya tidak hanya mementingkan kognisi saja, tapi psikis juga :)

    karena kalo tidak dari pendidikan sejak dini, kapan lagi mengenal etika, budaya, nilai" moral..?

    BalasHapus