Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang
Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani.
(Ki Hajar Dewantara)
Siapa
yang tak kenal untaian kalimat nan penuh makna tersebut? Ya. Hampir
dapat dipastikan jika sebagian besar dari kita sudah akrab
mendengarkannya. Bahkan boleh dikatakan sudah menjadi hafalan di luar
kepala atau mendarah daging dalam sistem kognisi setiap penduduk
Indonesia.
Apa yang disuratkan KHD kerap dikait-kaitkan
dengan dunia pendidikan di bumi pertiwi. Mengalir begitu indah dan
secara turun-temurun menjadi “pedoman tak tertulis” bagi Bapak/Ibu Guru.
Di mana guru diharapkan dapat memberi teladan ketika di depan, memberi
memotivasi saat di tengah dan menjadi pendorong tatkala berada di
belakang.
Ini artinya guru harus bisa menjadi figur yang bisa digugu lan ditiru.
Sedangkan siswa mesti menghormati guru sesuai kapasitas mereka sebagai
sosok pengajar dan orang tua kedua. Demikian idealnya. Pertanyaan
kemudian menyeruak dalam pikiran kita, apa jadinya bila keidealan
tersebut bertemu dengan realita zaman?
Kenyataan Getir
Sampai
detik ini sudah tak terhitung lagi berapa banyak kasus bertema siswa
“versus” guru mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Banyak versi, banyak
pembelaan dan banyak berebut kebenaran. Entah siapa yang memulai. Entah
siapa pula pihak yang merasa merugikan atau dirugikan. Kita yang
terus-terusan disodori kasus-kasus sejenis hanya dapat mengelus dada
sembari berdoa kepada Tuhan agar yang seperti itu tidak membudaya dari
generasi ke generasi.
Belum sembuh memori ini dari kasus
pemukulan yang dilakukan oknum guru terhadap siswa di bilangan Jakarta
Barat (30/9), kasus serupa pun muncul lagi. Kali ini terjadi di kawasan
Solo Raya, tepatnya di Kabupaten Sragen. Seorang guru Bimbingan
Penyuluhan SMP menampar siswanya yang duduk bangku kelas XI lantaran
ujung baju sang siswa tidak dimasukkan ke dalam celana ketika rampung
sekolah. Akibat dari penamparan, siswa mengalami pendarahan, trauma dan
enggan masuk sekolah. (Joglosemar, 4/11/2011).
Sungguh
sangat disayangkan. Tapi apa boleh dikata, yang sudah terjadi harus
dihadapi dengan ksatria. Meskipun konsekuensinya adalah muka dunia
pendidikan yang makin tercoreng. Jujur. Tak ada sebersit niat untuk
“menghakimi” siapa yang benar dan siapa yang salah pada kesempatan yang
mulia ini. Hemat saya, akan jauh lebih bermanfaat jika kita mencoba
menggali penyebab dan solusi mengapa konflik siswa-guru kini marak
terjadi. Harapan saya saat tulisan ini dibuat, kasus yang membelit kedua
belah pihak tadi dapat diselesaikan secara damai. Semoga.
Sebenarnya,
kasus yang mewarnai dunia pendidikan (terkait perilaku siswa) tak
terpaku pada siswa -guru saja, tapi variatif. Bagaimana tidak? Berbagai
bentuk penyimpangan makin terang-terangan menunjukkan eksistensi kepada
khalayak ramai. Pemberitaan dan beredarnya video maupun foto yang tak
sesuai dengan kodrat pelajar seakan menjadi bukti penegas bahwa telah
terjadi pergeseran nilai. Sebut saja kasus tawuran yang dilakukan
ratusan siswa SMA 6 Jakarta dengan wartawan (19/9).
Hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi. Belakangan, sekurang-kurangya ada lima tawuran ter-blow up media
massa, yakni tawuran mahasiswa antar fakultas di Universitas Hasanuddin
(12/9), Universitas Lampung (21/9), Universitas Negeri Gorontalo
(3/10), Universitas Sumatera Utara (31/10) dan Universitas Suryakiancana
Cianjur (4/11).
Maka tak bisa dipungkiri jika polah mahasiswa pun tak jauh beda dengan siswa. Bahkan kadang lebih bringas, meski title
“maha” sudah melekat di pundak. Peraturan tentang norma kampus hanya
dibaca ketika masa penerimaan mahasiswa baru saja. Setelah itu,
peraturan tak ubahnya pelengkap dan angin lalu. Miskin aplikasi.
Malahan, citra mahasiswa kian buruk akibat pola perilaku yang
mengagungkan sekuler, hedonis dan konsumtif.
Fakta-fakta di atas memang tak bisa digunakan untuk dapat menggeneralisasi bahwa perilaku menyimpang merajai tangga life style semua siswa dan atau mahasiswa Indonesia, tapi setidaknya bisa dijadikan peringatan yang mesti diindahkan oleh berbagai pihak.
Memahami dan Mengais Solusi
Penyimpangan
perilaku yang ditunjukkan siswa merupakan contoh riil dari dinamika
remaja yang sangat kompleks; yang sekurang-kurangnya melibatkan hubungan
erat antara perkembangan fisik dan psikis. Tugas-tugas perkembangan
seperti menerima keadaan fisik, menjalin hubungan baru dan menjalankan
peran sosial pun menuntut penyelesaian. Semua mengendap membentuk
stereotip yang mengatakan jika masa remaja adalah masa yang penuh dengan
tekanan. Stanley Hall (1844-1924) menyebutnya sebagai masa badai dan
tekanan (storm and stress).
Menurut kajian aliran
behaviorisme, segala bentuk perilaku seseorang dipengarungi oleh
lingkungan. Ini artinya lingkunganlah membentuk karakter siswa.
Degradasi moral dan etika yang berujung pada terjadinya krisis merupakan
akibat dari tidak mampunya lingkungan menciptakan siswa sebagai aset
masa depan.
Pemahaman lingkungan tersebut tak lantas
mendiskreditkan pada lengahnya pihak sekolah sebagai pihak tunggal
penyebab krisis moral siswa. Pasalnya ada lingkungan yang lebih
mendominasi di luar jam sekolah, antara lain pergaulan dengan teman
sebaya (peers group) dan kuatnya arus globalisasi. Di mana
imitasi, identifikasi dan modeling terhadap tingkah laku tertentu dapat
dengan mudah dipraktikkan oleh para siswa dan atau remaja.
Celakanya
tingkah laku negatiflah yang kerap memenangi sistem kognisi, afeksi dan
konasi siswa. Sehingga segala bentuk kenakalan tak bisa dielakkan.
Bayangkan penggunaan narkoba, tawuran antarpelajar, seks bebes (free sex), premanisme dan berbagai bentuk penyimpangan lain bisa menjadi bom waktu yang siap sewaktu-waktu.
Untuk
itu peran keluarga dan sekolah dalam memantau pergaulan siswa sangat
diperlukan. Menjadi lingkungan yang nyaman bagi mereka juga merupakan
salah satu solusi terbaik. Sebab tak jarang penyimpangan pada usia
remaja terjadi lantaran minimnya kasih sayang. Apalagi menurut Erickson
(Hurlock, 2009) masa remaja adalah masa pencarian identitas. Di mana
orang terdekat memegang andil besar.
Bila kita perhatikan,
dalam diri siswa maupun remaja ada kecenderungan ingin menjadi pusat
perhatian. Syukur kalau diwujudkan dalam prestasi. Lha kalau
diwujudkan dalam perilaku nakal, tentu menjadi masalah baru. Maka
pemberian pemahaman yang benar, sangat penting di sini. Apalagi bila
ditambah penguatan (reinforcement), pasti akan lebih memotivasi
kebiasaan baik. Di samping itu penanaman agama dan nilai sosial
kemasyarakatan juga merupakan poin penting yang tidak boleh diabaikan.
Sungguh,
masalah yang mewarnai dunia pendidikan, harus ditangani oleh semua
pihak. Semoga ada perbaikan di posisi masing-masing. Harapannya pada
saatnya nanti akan kita jumpai generasi yang berakhlak mulia, pandai,
tahu unggah-ungguh dan tidak rajin korupsi. Amin. Gusti mboten Sare.
...
dan ilmu itu bukan itu bukan untukmu sendiri. Tetapi ialah untuk anak
cucumu, untuk bangsa Indonesia, untuk rakyat Indonesia, untuk tanah air
Indonesia dan untuk Negara Republik Indonesia.
(Ir. Soekarno – Pidato untuk Mahasiswa AS 1956)
kalo mau dilihat lihat..tenaga pendidik saat ini cenderung kurang mendidik. mendidik tidak hanya sekedar materi kurikulum saja, tetapi moral pun perlu dididik, bener g?
BalasHapuskurangnya pemahaman pada sebuah peran sebagaipendidik yang merupakan pondasi seorang guru, bisa memengaruhi perannya di lingkungan pendidikan.
rata" saat ini mereka hanya ingin bekerja, namun tak paham apa yang mereka kerjakan. padahal semua pekerjaan bila tidak disertai dengan hati, dan benar" memahami, bukankah akan menjadi setengah"?
kayaknya perlu transparansi dalam pembuatan kurikulum, supaya tidak hanya mementingkan kognisi saja, tapi psikis juga :)
karena kalo tidak dari pendidikan sejak dini, kapan lagi mengenal etika, budaya, nilai" moral..?