Minggu, 20 Mei 2012

Remaja di Lembah Free Sex (Joglosemar, 2 Agustus 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Pemerhati masalah sosial, mahasiswa Fakultas Psikologi Undip Semarang


Boleh dua-duaan,
asal tetap di lingkaran
Tapi awas jangan pergi
berduaan, kata nenek itu
berbahaya
(Titiek Puspa- Marilah Kemari).


Ya. Benar apa yang dikatakan Eyang Titiek Puspa. Kalau berduaan itu berbahaya. Pasalnya aktivitas berpasangan antara dua remaja lawan jenis yang kini marak terjadi, cenderung dapat menjadi pemicu bagi permasalahan yang lebih kompleks. Free sex (seks bebas), misalnya, telah mewabah di kalangan remaja, mulai dari jenjang SMP sampai SMA. Hal serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa, yang terasa semakin riskan dengan kian lengkapnya fasilitas penunjang.

Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, seks bebas makin tak terbendung. Seks bebas sukses bermetamorfosa sebagai “penyakit massal” yang sewaktu-waktu bisa menular kepada siapa saja yang tak kuat pengendalian syahwatnya, tak terkecuali pada remaja. Bahkan sekarang seks bebas bisa digolongkan dalam perilaku yang “lumrah” di tengah derasnya arus globalisasi. Alhasil, tak mengherankan bila seks bebas seolah-olah menjadi tren anyar dalam jagat pergaulan remaja. Sungguh mengerikan!

Melihat keadaan itu, pengangkatan opini ini tak lepas dari rasa penasaran penulis untuk menggali data dan fakta di balik menjamurnya seks bebas di usia remaja. Sebuah fenomena yang banyak dilatarbelakangi keinginan mendapat pengakuan kedewasaan, namun dengan cara yang salah. Yakni melakukan aktivitas pemenuhan insting seksual yang mestinya hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah secara agama dan peraturan negara.

Berita berjudul Mesum di Rumah Kosong, Pelajar Digerebek yang dimuat Joglosemar pada edisi 22 Juli 2011, berkisah tentang ditangkapnya dua remaja SMP dan SMA di Wonogiri. Mereka kedapatan melakukan perbuatan asusila di sebuah rumah kosong. Terang saja, berita ini seakan mengamini dan meyakinkan kepada kita bahwa sekapur sirih di atas bukanlah sekadar isapan jempol belaka.

Sebenarnya berita mengenai perilaku seksual di Surakarta bukan kali pertama dimuat Joglosemar. Menyempatkan diri berselancar di internet, saya menemukan tulisan menarik dari website Joglosemar yang berjudul Pramunikmat Abu-abu Putih. Pada tulisan yang berisi wawancara dengan beberapa oknum itu, dikatakan bahwa di Kota Solo telah lama merebak pinky (pramunikmat yang berstatus SMA). Hemat kisah, pinky yang dibagi menjadi dua jenis yakni pop (short time) dan klasik (long time) ini, sering didayagunakan oleh pria hidung belang.

Dua penggal fakta tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang merebak di DIY dan Jawa Tengah, lebih khusus kawasan Surakarta. Di luar sana masih banyak kasus-kasus yang tak kalah parah. Bahkan di kota-kota besar, seperti Jakarta, bisnis jual diri ala pelajar dengan motif untuk memenuhi materi atau sekadar memenuhi gaya hidup kerap ditemui. One night stand, swinging dan grouping tak asing lagi di telinga.

Survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan dari Januari sampai Juni 2008 menunjukkan hasil fantastis. Sebanyak 97 persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. 93,7 Persen remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin, dan oral seks. 62,7 Persen remaja SMP sudah tidak perawan dan 21,2 persen pernah aborsi. Berkenaan dengan aborsi, BKKBN juga memberikan hasil survei bahwa sebanyak 800.000 kasus dari 2,4 juta kasus aborsi, berasal dari kalangan remaja.

Melihat hasil survei itu, otomatis membuat kasus HIV/AIDS jadi tak kalah mencengangkan. Berdasarkan data Kemenkes pertengahan Juni 2010 terdapat 47.257 kasus HIV dan 21.770 kasus AIDS. Perinciannya, 48,1 persen pengidap berusia 20-29 tahun dan 30,9 persen berusia 30-39 tahun. Dari kesemuanya itu sebanyak 49,3 persen menular lewat hubungan heteroseksual; 3,3 persen lewat hubungan homoseksual, dan 40,9 persen IDU.

Fakta dan survei di atas tentu membuat merinding bulu kuduk kita. Bagaimana tidak? Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya religi sudah mulai luntur akibat sapuan budaya sekuler yang gagal difilter. Sila pertama Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29, seakan telah jebol pertahanannya dalam mempertahankan budaya luhur nusantara. Ironis. Remaja (Indonesia) terjebak dalam gemerlap hedonis.


Di Balik Free Sex
Terlepas dari kekhilafan remaja yang sudah telanjur basah masuk dalam kubangan seks bebas, seyogianya kita juga bisa memahami apa yang terjadi di balik itu semua. Setidaknya untuk menambah wawasan kita. Apa sih yang sebenarnya mempengaruhi remaja sehingga nekat melakukan tindakan seksual?

Santrock (2003) dalam buku Adolescence  mengatakan bahwa dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara yang mana boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan” yang dialami berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan, aborsi, dan sebagainya.

Sekarang jelas apa yang menjadi penyebab internal seks bebas. Kemudian berkenaan dengan penyebab eksternal. Tampaknya teori social learning yang digaungkan Albert Bandura pada tahun 1986 mampu menjawab. Dalam teori tersebut, Albert berpendapat bahwa perilaku manusia adalah hasil dari modeling. Di mana ada empat unsur penting dalam modeling yakni perhatian (attention), mengingat (retention), reproduksi gerak (reproduction) dan motivasi. Pun demikian dalam seks bebas. Besar kemungkinan jika yang mereka lakukan adalah hasil dari modeling adegan film porno dan konten porno yang mudah diakses melalui internet.

Maka tak salah bila kita katakan bahwa peran penting dipegang oleh lingkungan. Dengan kata lain baik atau buruk perilaku seseorang, tak luput dari didikan lingkungan. Dalam kasus mesum dan pemerkosaan misalnya. Tak sedikit kasus semacam itu diilhami dari teman sebaya. Karena dalam tahap pencarian identitas diri, beberapa remaja sering keblinger. Anggapan bahwa masih perawan atau perjaka itu tidak gaul, mereka iyakan begitu saja. Kasihan.

Mengais Solusi
Menurut Stenley Hall (1844-1924) remaja berada dalam badai dan tekanan. Untuk itu perlu pendekatan khusus dalam menghadapi remaja dan segala permasalahannya. Ada beberapa pihak yang harus membantu remaja agar tak terjerumus dalam dunia pergaulan bebas, antara lain orangtua, sekolah, dan pemerintah.

Orangtua yang notabene adalah objek lekat paling dekat dan paham mesti memberikan perhatian pada remaja. Sebab tak jarang remaja masuk dalam dunia seks bebas, lantaran kurang perhatian dari orangtua. Selain itu, kombinasi yang baik antara orangtua dan pihak sekolah sangat penting dalam memberikan pendidikan seks. Pasalnya, sangat riskan bila informasi mengenai seksual didapat dari informan yang salah.

Pemerintah juga harus serius dalam membendung arus pornografi. Jangan sampai UU Nomor 44 tahun 2008 yang telah dibuat, hanya digunakan sebagai pemanis. Di samping itu, kebijakan memasukkan pendidikan seks perlu dipertimbangkan lagi. Harapannya agar generasi muda dapat memahami perihal seks secara benar dan gamblang.

Sungguh, peran seluruh elemen diperlukan dalam memutus rantai budaya seks bebas di Indonesia. Sebab Tanah Air ini masih butuh generasi penerus dan pemimpin masa depan yang memiliki moral serta etika layaknya bangsa timur. Tak ada kata terlambat untuk (kembali) menjadi negara yang berwibawa. Tuhan mendengar doa kita. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar