Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Pemerhati masalah sosial, mahasiswa Fakultas Psikologi Undip Semarang
Boleh dua-duaan,
asal tetap di lingkaran
Tapi awas jangan pergi
berduaan, kata nenek itu
berbahaya
(Titiek Puspa- Marilah Kemari).
Ya.
Benar apa yang dikatakan Eyang Titiek Puspa. Kalau berduaan itu
berbahaya. Pasalnya aktivitas berpasangan antara dua remaja lawan jenis
yang kini marak terjadi, cenderung dapat menjadi pemicu bagi
permasalahan yang lebih kompleks. Free sex (seks bebas), misalnya, telah
mewabah di kalangan remaja, mulai dari jenjang SMP sampai SMA. Hal
serupa juga terjadi di kalangan mahasiswa, yang terasa semakin riskan
dengan kian lengkapnya fasilitas penunjang.
Seiring
berkembangnya teknologi dan informasi, seks bebas makin tak terbendung.
Seks bebas sukses bermetamorfosa sebagai “penyakit massal” yang
sewaktu-waktu bisa menular kepada siapa saja yang tak kuat pengendalian
syahwatnya, tak terkecuali pada remaja. Bahkan sekarang seks bebas
bisa digolongkan dalam perilaku yang “lumrah” di tengah derasnya arus
globalisasi. Alhasil, tak mengherankan bila seks bebas seolah-olah
menjadi tren anyar dalam jagat pergaulan remaja. Sungguh mengerikan!
Melihat
keadaan itu, pengangkatan opini ini tak lepas dari rasa penasaran
penulis untuk menggali data dan fakta di balik menjamurnya seks bebas
di usia remaja. Sebuah fenomena yang banyak dilatarbelakangi keinginan
mendapat pengakuan kedewasaan, namun dengan cara yang salah. Yakni
melakukan aktivitas pemenuhan insting seksual yang mestinya hanya boleh
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah secara agama dan
peraturan negara.
Berita berjudul Mesum di Rumah Kosong,
Pelajar Digerebek yang dimuat Joglosemar pada edisi 22 Juli 2011,
berkisah tentang ditangkapnya dua remaja SMP dan SMA di Wonogiri.
Mereka kedapatan melakukan perbuatan asusila di sebuah rumah kosong.
Terang saja, berita ini seakan mengamini dan meyakinkan kepada kita
bahwa sekapur sirih di atas bukanlah sekadar isapan jempol belaka.
Sebenarnya
berita mengenai perilaku seksual di Surakarta bukan kali pertama
dimuat Joglosemar. Menyempatkan diri berselancar di internet, saya
menemukan tulisan menarik dari website Joglosemar yang berjudul
Pramunikmat Abu-abu Putih. Pada tulisan yang berisi wawancara dengan
beberapa oknum itu, dikatakan bahwa di Kota Solo telah lama merebak
pinky (pramunikmat yang berstatus SMA). Hemat kisah, pinky yang dibagi
menjadi dua jenis yakni pop (short time) dan klasik (long time) ini,
sering didayagunakan oleh pria hidung belang.
Dua penggal
fakta tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang
merebak di DIY dan Jawa Tengah, lebih khusus kawasan Surakarta. Di luar
sana masih banyak kasus-kasus yang tak kalah parah. Bahkan di
kota-kota besar, seperti Jakarta, bisnis jual diri ala pelajar dengan
motif untuk memenuhi materi atau sekadar memenuhi gaya hidup kerap
ditemui. One night stand, swinging dan grouping tak asing lagi di
telinga.
Survei Komnas Perlindungan Anak yang dilakukan
dari Januari sampai Juni 2008 menunjukkan hasil fantastis. Sebanyak 97
persen remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno. 93,7 Persen
remaja SMP dan SMA pernah ciuman, meraba alat kelamin, dan oral seks.
62,7 Persen remaja SMP sudah tidak perawan dan 21,2 persen pernah
aborsi. Berkenaan dengan aborsi, BKKBN juga memberikan hasil survei
bahwa sebanyak 800.000 kasus dari 2,4 juta kasus aborsi, berasal dari
kalangan remaja.
Melihat hasil survei itu, otomatis
membuat kasus HIV/AIDS jadi tak kalah mencengangkan. Berdasarkan data
Kemenkes pertengahan Juni 2010 terdapat 47.257 kasus HIV dan 21.770
kasus AIDS. Perinciannya, 48,1 persen pengidap berusia 20-29 tahun dan
30,9 persen berusia 30-39 tahun. Dari kesemuanya itu sebanyak 49,3
persen menular lewat hubungan heteroseksual; 3,3 persen lewat hubungan
homoseksual, dan 40,9 persen IDU.
Fakta dan survei di
atas tentu membuat merinding bulu kuduk kita. Bagaimana tidak?
Indonesia yang konon sangat kental dengan budaya religi sudah mulai
luntur akibat sapuan budaya sekuler yang gagal difilter. Sila pertama
Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29, seakan telah jebol pertahanannya dalam
mempertahankan budaya luhur nusantara. Ironis. Remaja (Indonesia)
terjebak dalam gemerlap hedonis.
Di Balik Free Sex
Terlepas
dari kekhilafan remaja yang sudah telanjur basah masuk dalam kubangan
seks bebas, seyogianya kita juga bisa memahami apa yang terjadi di
balik itu semua. Setidaknya untuk menambah wawasan kita. Apa sih yang
sebenarnya mempengaruhi remaja sehingga nekat melakukan tindakan
seksual?
Santrock (2003) dalam buku Adolescence
mengatakan bahwa dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja
akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem
tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana
mengendalikan dorongan seksual, konflik antara yang mana boleh
dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan”
yang dialami berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan
seksual, homoseksual, kehamilan, aborsi, dan sebagainya.
Sekarang
jelas apa yang menjadi penyebab internal seks bebas. Kemudian
berkenaan dengan penyebab eksternal. Tampaknya teori social learning
yang digaungkan Albert Bandura pada tahun 1986 mampu menjawab. Dalam
teori tersebut, Albert berpendapat bahwa perilaku manusia adalah hasil
dari modeling. Di mana ada empat unsur penting dalam modeling yakni
perhatian (attention), mengingat (retention), reproduksi gerak
(reproduction) dan motivasi. Pun demikian dalam seks bebas. Besar
kemungkinan jika yang mereka lakukan adalah hasil dari modeling adegan
film porno dan konten porno yang mudah diakses melalui internet.
Maka
tak salah bila kita katakan bahwa peran penting dipegang oleh
lingkungan. Dengan kata lain baik atau buruk perilaku seseorang, tak
luput dari didikan lingkungan. Dalam kasus mesum dan pemerkosaan
misalnya. Tak sedikit kasus semacam itu diilhami dari teman sebaya.
Karena dalam tahap pencarian identitas diri, beberapa remaja sering
keblinger. Anggapan bahwa masih perawan atau perjaka itu tidak gaul,
mereka iyakan begitu saja. Kasihan.
Mengais Solusi
Menurut
Stenley Hall (1844-1924) remaja berada dalam badai dan tekanan. Untuk
itu perlu pendekatan khusus dalam menghadapi remaja dan segala
permasalahannya. Ada beberapa pihak yang harus membantu remaja agar tak
terjerumus dalam dunia pergaulan bebas, antara lain orangtua, sekolah,
dan pemerintah.
Orangtua yang notabene adalah objek lekat
paling dekat dan paham mesti memberikan perhatian pada remaja. Sebab
tak jarang remaja masuk dalam dunia seks bebas, lantaran kurang
perhatian dari orangtua. Selain itu, kombinasi yang baik antara
orangtua dan pihak sekolah sangat penting dalam memberikan pendidikan
seks. Pasalnya, sangat riskan bila informasi mengenai seksual didapat
dari informan yang salah.
Pemerintah juga harus serius
dalam membendung arus pornografi. Jangan sampai UU Nomor 44 tahun 2008
yang telah dibuat, hanya digunakan sebagai pemanis. Di samping itu,
kebijakan memasukkan pendidikan seks perlu dipertimbangkan lagi.
Harapannya agar generasi muda dapat memahami perihal seks secara benar
dan gamblang.
Sungguh, peran seluruh elemen diperlukan
dalam memutus rantai budaya seks bebas di Indonesia. Sebab Tanah Air
ini masih butuh generasi penerus dan pemimpin masa depan yang memiliki
moral serta etika layaknya bangsa timur. Tak ada kata terlambat untuk
(kembali) menjadi negara yang berwibawa. Tuhan mendengar doa kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar