Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Demokrasi. Kata yang satu ini tentu sudah tak asing lagi bagi kita. Demokrasi mengandung dua unsur kata, yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Kekuasaan rakyat. Dengan demikian dalam suatu pemerintahan, idealnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Demokrasi dalam pemikiran Abraham Lincoln diterjemahkan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sekali lagi itu idealnya. Di Indonesia sendiri, demokrasi telah mendapat kesepakatan bersama oleh para founding father. Namun berbeda dengan negera lain, demokrasi kita didasarkan pada permusyawaratan perwakilan.
Pasang surut penyelenggaraan demokrasi telah mewarnai indah perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998) hingga Demokrasi Era Transisi (1998-sekarang). Meski berbeda praktik, tapi sebenarnya semua berpijak pada satu tujuan mulia, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jalan Terjal
Secara matematis, masa kejatuhan Orde Baru telah melewati tahun ke-13. Namun demokrasi tak kunjung menemui titik perbaikan. Bagaimana tidak? Bakuhantam kepentingan selalu dikedepankan tanpa melihat kebutuhan rakyat. Neraca sejahtera makin menunjukkan ketimpangan. Bahkan kemiskinan terus lestari di antara megah-mewah kehidupan para penguasa negeri.
Jika diperhatikan, demokrasi kita seperti berjalan tanpa pedoman pokok. Kehadirannya mengalir begitu saja. Rakyat pun dibiasakan dan atau membiasakan diri pada meriah dentuman demokrasi, tapi tidak sampai menyentuh wilayah hakikat.
Kita ambil contoh penolakan BBM yang memanas menjelang 1 April. Gonjang-ganjing berawal dari wacana pemerintah memangkas subsidi BBM, dengan alasan menyelamatkan APBN lantaran mengikuti kenaikan harga dunia. Maka, mengatasnamakan kepentingan rakyat, demontran yang terdiri dari mahasiswa dan beberapa elemen lain bergerak menyuarakan penolakan. Bumi pertiwi kian panas. Demonstran dan “penjaga keamanan” terlihat beringas layaknya pasukan perang yang adu kekuatan.
Dari situlah, tampak kontaminasi terhadap hakikat demokrasi. Kekuasaan rakyat, oleh sebagian orang “termaknai” sebagai kebebasan tanpa aturan (lawlessness freedom). Aksi vandalisme lantas dianggap lumrah. Belum lagi aksi-aksi yang berakhir pada bentrok dengan pihak yang notabene dibela (warga setempat). Pertanyaan pun menyeruak, kalau begitu sebenarnya demonstran membela siapa? Bijakkah vandalisme itu?
Menggugat
Bila kita telah menentukan sebuah metode penelitian, maka kita akan melakukan penelitian berdasarkan metode tersebut. Demikian halnya pada penyelenggaraan pemerintahan. Ketika kita sudah sepakat pada demokrasi, maka kita wajib malakukan semua hal dengan menggunakan rule-nya demokrasi.
Sosok pemimpin negara demokrasi haruslah berangkat dari hati rakyat. Asumsi bahwa pilihan dari dan oleh rakyat dapat mewakili aspirasi rakyat memang masih perlu dukungan serta tindakan nyata. Sebab banyak fakta menyiratkan jika perwakilan hanya berhenti pada proses pemilihan. Artinya pemilihan umum hanya dipakai sebagai alat mendapatkan hak perwakilan dan hak kekuasaan. Adapun esensinya telah menguap bersama janji-janji.
Terkait permasalahan nasional, seharusnya pemerintah mampu melihat, mendengar dan merasakan apa yang menjadi keluh-kesah rakyat. Sehingga dapat diambil keputusan yang bijak dan masuk akal. Tapi kata “seharusnya” tak berbanding lurus dengan fakta “senyatanya”. Kembali menyinggung soal BBM, pemerintah terkesan apatis dan menutup hati. Pihak Senayan juga tak menentu karena pecah suara. Kondisi inilah yang memunculkan parlemen jalanan. Tapi tetap saja, anarkisme dan vandalisme tak bisa dibenarkan. Oleh sebab itu, kiranya kita perlu membaca ulang budaya, yang konon katanya santun, ramah dan faham unggah-ungguh.
Memang tak mungkin melaksanakan satu per satu kepentingan 237 juta penduduk Indonesia. Tapi masih sangat mungkin meluruskan hati untuk senantiasa berikhtiar mewujudkan negara kesejahteraan sosial. Pasti ada jalan.
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Demokrasi. Kata yang satu ini tentu sudah tak asing lagi bagi kita. Demokrasi mengandung dua unsur kata, yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Kekuasaan rakyat. Dengan demikian dalam suatu pemerintahan, idealnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Demokrasi dalam pemikiran Abraham Lincoln diterjemahkan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sekali lagi itu idealnya. Di Indonesia sendiri, demokrasi telah mendapat kesepakatan bersama oleh para founding father. Namun berbeda dengan negera lain, demokrasi kita didasarkan pada permusyawaratan perwakilan.
Pasang surut penyelenggaraan demokrasi telah mewarnai indah perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998) hingga Demokrasi Era Transisi (1998-sekarang). Meski berbeda praktik, tapi sebenarnya semua berpijak pada satu tujuan mulia, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jalan Terjal
Secara matematis, masa kejatuhan Orde Baru telah melewati tahun ke-13. Namun demokrasi tak kunjung menemui titik perbaikan. Bagaimana tidak? Bakuhantam kepentingan selalu dikedepankan tanpa melihat kebutuhan rakyat. Neraca sejahtera makin menunjukkan ketimpangan. Bahkan kemiskinan terus lestari di antara megah-mewah kehidupan para penguasa negeri.
Jika diperhatikan, demokrasi kita seperti berjalan tanpa pedoman pokok. Kehadirannya mengalir begitu saja. Rakyat pun dibiasakan dan atau membiasakan diri pada meriah dentuman demokrasi, tapi tidak sampai menyentuh wilayah hakikat.
Kita ambil contoh penolakan BBM yang memanas menjelang 1 April. Gonjang-ganjing berawal dari wacana pemerintah memangkas subsidi BBM, dengan alasan menyelamatkan APBN lantaran mengikuti kenaikan harga dunia. Maka, mengatasnamakan kepentingan rakyat, demontran yang terdiri dari mahasiswa dan beberapa elemen lain bergerak menyuarakan penolakan. Bumi pertiwi kian panas. Demonstran dan “penjaga keamanan” terlihat beringas layaknya pasukan perang yang adu kekuatan.
Dari situlah, tampak kontaminasi terhadap hakikat demokrasi. Kekuasaan rakyat, oleh sebagian orang “termaknai” sebagai kebebasan tanpa aturan (lawlessness freedom). Aksi vandalisme lantas dianggap lumrah. Belum lagi aksi-aksi yang berakhir pada bentrok dengan pihak yang notabene dibela (warga setempat). Pertanyaan pun menyeruak, kalau begitu sebenarnya demonstran membela siapa? Bijakkah vandalisme itu?
Menggugat
Bila kita telah menentukan sebuah metode penelitian, maka kita akan melakukan penelitian berdasarkan metode tersebut. Demikian halnya pada penyelenggaraan pemerintahan. Ketika kita sudah sepakat pada demokrasi, maka kita wajib malakukan semua hal dengan menggunakan rule-nya demokrasi.
Sosok pemimpin negara demokrasi haruslah berangkat dari hati rakyat. Asumsi bahwa pilihan dari dan oleh rakyat dapat mewakili aspirasi rakyat memang masih perlu dukungan serta tindakan nyata. Sebab banyak fakta menyiratkan jika perwakilan hanya berhenti pada proses pemilihan. Artinya pemilihan umum hanya dipakai sebagai alat mendapatkan hak perwakilan dan hak kekuasaan. Adapun esensinya telah menguap bersama janji-janji.
Terkait permasalahan nasional, seharusnya pemerintah mampu melihat, mendengar dan merasakan apa yang menjadi keluh-kesah rakyat. Sehingga dapat diambil keputusan yang bijak dan masuk akal. Tapi kata “seharusnya” tak berbanding lurus dengan fakta “senyatanya”. Kembali menyinggung soal BBM, pemerintah terkesan apatis dan menutup hati. Pihak Senayan juga tak menentu karena pecah suara. Kondisi inilah yang memunculkan parlemen jalanan. Tapi tetap saja, anarkisme dan vandalisme tak bisa dibenarkan. Oleh sebab itu, kiranya kita perlu membaca ulang budaya, yang konon katanya santun, ramah dan faham unggah-ungguh.
Memang tak mungkin melaksanakan satu per satu kepentingan 237 juta penduduk Indonesia. Tapi masih sangat mungkin meluruskan hati untuk senantiasa berikhtiar mewujudkan negara kesejahteraan sosial. Pasti ada jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar