Minggu, 20 Mei 2012

Memetik Pesan Sondang (Kedaulatan Rakyat, 27 Desember 2011)

Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro

Adalah Sondang Hutagalung, mahasiswa Universitas Bung Karno yang nekat melakukan bakar diri di depan Istana Merdeka tanggal 7 Desember 2011. Motif mahasiswa yang aktif dalam Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat dan Bangsa Indonesia (Hammurabi) tersebut, masih meninggalkan spekulasi dan tanda tanya.

Namun berbagai sumber meyakini jika latar belakang Sondang ialah endapan rasa kecewa atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia yang tak jua diusut tuntas.

“Penyelenggaraan” aksi itu pun harus dibayar mahal. Sondang meninggal dunia dengan luka bakar 98 persen pada 10 Desember, tepat di Hari HAM ke-63 yang diperingati oleh manusia seantero jagad. Hal ini cukup berdampak bagi garda pergerakan mahasiswa, karena kembali harus kehilangan sosok yang peduli terhadap kelangsungan negeri tercinta.

HAM, Frustasi dan Suicide
Tb. Ronny Rahman Nitibaskara lewat buku Tegakkan Hukum Gunakan Hukum (2007), merumuskan HAM sebagai hak yang berakar dari harkat, martabat, serta kodrat manusia selaku makhluk Tuhan, yang antara lain meliputi hak untuk hidup, hak berpendapat, hak beragama, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak menentukan hari depan sendiri, serta hak untuk menikmati kehidupan secara bebas dan wajar.

Dari rumusan ini, jelaslah bahwa HAM dimiliki oleh semua orang. Tapi sayang, dalam kehidupan sehari-hari persoalan hak kodrati tersebut kurang mendapat perhatian dari para pemangku kekuasaan. Bagaimana tidak? Kasus aktivis hilang (1997/1998), kasus Munir (2004), dan beberapa kasus lain nampak terlantar dan tak menemui pencerahan. Sebaliknya, makin keruh karena ada keengganan menggali kebenaran.

Alhasil akitivis (seperti Sondang) mengalami frustasi. Dalam kajian psikologi, frustasi terjadi manakala seseorang memiliki suatu kebutuhan, namun karena hal-hal tertentu, kebutuhan itu tidak terpenuhi.

Frustasi yang berujung pada bunuh diri sangat mungkin terjadi. Menurut pandangan Emile Durkheim (1858-1917), bunuh diri Sondang dapat digolongkan sebagai bunuh diri altruistik (altruistic suicide); bunuh diri karena ada integrasi sosial yang sangat kuat. Sehingga mendorong berkorban demi kepentingan kelompok.

Memetik Pesan Sondang
Aksi Sondang menimbulkan benih-benih pro-kontra. Banyak orang yang menyanjung, namun banyak pula yang menyayangkan. Sebab bunuh diri tidak bisa dibenarkan oleh ajaran agama manapun. Bahkan, bunuh diri dipandang tidak menghargai hakikat dari hak asasi manusia itu sendiri.

Terlepas dari arus pro-kontra, kenekatan Sondang sejujurnya ada niat baik; meninggalkan pesan tentang urgensi penegakan keadilan dan HAM. Karena tak bisa dinafikkan, seiring berjalan waktu, rumusan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial hanya berfungsi sebagai dasar (menguasai) negara. Pun demikian dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa, hanya dinikmati oleh segelintir kalangan.

Hemat saya, bila semua pihak memang berharap agar kasus-kasus terkait HAM tak terulang lagi, maka kesungguhan para pengemban amanah harus segera diluruskan. Pasalnya, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat sudah lelah melihat kasus yang berakhir tanpa hasil. Masyarakat juga bosan melihat ketimpangan yang terkesan melindungi kepentingan tertentu.

Satu lagi pesan yang dapat dipetik, bahwa sebagai mahasiswa hendaknya menyampaikan uneg-uneg secara santun dan diimbangi implementasi pada diri sendiri. Jangan sampai kita menodai dengan cara-cara tak benar menurut kearifan hati. Semoga Tuhan menjaga niat baik kita dan menempatkan kita sebagai umat-Nya yang istiqomah dalam keadilan dan segala hal.

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia kendaknya kamu menetapkannya dengan adil. . .” (QS. An-Nisa’ : 58)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar