Oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Empat belas tahun sudah, reformasi bergulir mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selama itu pula, di setiap tahunnya, kita senantiasa dibawa dalam pengkajian menarik bertemakan memori Mei 1998.
Ya. Masih terekam jelas dalam arsip negeri. Betapa dahyat gelombang reformasi bergaung di tiap sudut kota seantero nusantara kala itu. Tuntutan mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat membahana menghendaki peletakan kekuasaan Sang Maestro Pembangunan. Singkat kisah, tarik ulur kesepakatan berpuncak pada 21 Mei 1998 tepat pukul 09.00 WIB, saat dimana tuntutan massa “dikabulkan” oleh pemerintah.
Sorak sorai, sujud syukur, dan tangis bahagia para demonstran menjadi cerminan rasa puas. Rasa puas atas pertaruhan tenaga, luka, nyawa, harta dan benda yang dibayar lunas dengan kukutnya rezim penguasa tiga dekade. Pula rasa puas penuh harap akan digelarnya lembaran baru yang lebih baik di tanah air tercinta.
Epifani Negeri
Reformasi 1998 sejatinya merupakan epifani negeri yang berdampak luas bagi dinamika keindonesiaan kita. Reformasi menjadi pemutus rantai Orde Baru sekaligus awal bagi sebuah masa pembaharuan yang ideal. Dengan kata lain, reformasi berfungsi sebagai gerbang penyambung antara dua tujuan dalam kesatuan harapan.
Namun, dalam praktiknya, reformasi hanya nampak menjadi pemutus rezim belaka. Peristiwa nan penting itu bak teater megah tanpa skenario yang berbenang merah. Bagaimana tidak? Sampai detik ini, pembaharuan yang dilakukan, tak jua selaras dengan pencapaian kesejahteraan sosial. Pembaharuan dibiarkan berjalan terkatung-katung tanpa konsep proporsional yang baik dan benar.
Selain itu, ramai pembenahan sistem pada masa peralihan tak diimbangi dengan pembenahan nurani para pembesar negeri. Yang demikian, diestafetkan hingga kini. Bahkan makin parah. Sebut saja sektor pendidikan yang bermetamorfosis menjadi pendidikan yang kental akan unsur komersial; atau sektor ekonomi yang digiring ke arah kapital; ataupun sektor politik yang merujuk pada politik liberal dengan orientasi kekuasaan.
Belum lagi minimnya atmosfer “edukasi” dalam masyarakat terkait demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Hasilnya mudah ditebak; masyarakat cenderung bersikap pasif atau kalau tidak, bersikap aktif namun tak faham tentang duduk persoalan. Ironis. Padahal tegaknya suatu negara mensyaratkan partisipasi aktif dan partisipasi yang tepat oleh rakyat.
Sebuah Ikhtiar
Sebagai negara yang berasas fundamental Pancasila maka salah satu langkah awal ialah menghadirkan (kembali) Pancasila di bumi Indonesia. Pasalnya, bila kita amati, banyak sekali problematika sosial dan kejanggalan usaha-usaha kesejahteraan diakibatkan karena hilangnya penghayatan Pancasila dari episentrum penyelenggaraan negara - baik ditinjau dari kebijakan publik maupun kebijakan sosial - dan kehidupan bermasyarakat.
Menghadirkan kembali di sini tidak berarti melakukan (lagi) pola indoktrinasi, tetapi implementasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai-nilai tersebut harus diejawantahkan dalam kesatuan yang berintegrasi antara satu dengan yang lain.
Stagnansi dan regresi 14 tahun reformasi juga dapat diatasi dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mengabdikan diri untuk negara dan melayani kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang menggelontorkan rupiah saat meminta kuasa, lalu mengeruk rupiah saat berkuasa. Mengutip pernyataan Inu Kencana Syafiie dalam Kuliah Umum Sosial : 14 Tahun Reformasi di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (5/5), maka pemimpin yang dibutuhkan bangsa Indonesia sekarang ialah dia yang mampu melakukan harmonisasi antara ilmu, moral dan seni.
Sungguh, persoalan bangsa-negara menuntut ikhtiar semua lapisan masyarakat. Pun demikian terkait reformasi. Akan hampa perjuangan aktivis kala itu, bila tak diimbangi dengan perbaikan di masa sekarang. Semoga hari ini lebih baik dar hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Salam sosial.
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Empat belas tahun sudah, reformasi bergulir mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selama itu pula, di setiap tahunnya, kita senantiasa dibawa dalam pengkajian menarik bertemakan memori Mei 1998.
Ya. Masih terekam jelas dalam arsip negeri. Betapa dahyat gelombang reformasi bergaung di tiap sudut kota seantero nusantara kala itu. Tuntutan mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat membahana menghendaki peletakan kekuasaan Sang Maestro Pembangunan. Singkat kisah, tarik ulur kesepakatan berpuncak pada 21 Mei 1998 tepat pukul 09.00 WIB, saat dimana tuntutan massa “dikabulkan” oleh pemerintah.
Sorak sorai, sujud syukur, dan tangis bahagia para demonstran menjadi cerminan rasa puas. Rasa puas atas pertaruhan tenaga, luka, nyawa, harta dan benda yang dibayar lunas dengan kukutnya rezim penguasa tiga dekade. Pula rasa puas penuh harap akan digelarnya lembaran baru yang lebih baik di tanah air tercinta.
Epifani Negeri
Reformasi 1998 sejatinya merupakan epifani negeri yang berdampak luas bagi dinamika keindonesiaan kita. Reformasi menjadi pemutus rantai Orde Baru sekaligus awal bagi sebuah masa pembaharuan yang ideal. Dengan kata lain, reformasi berfungsi sebagai gerbang penyambung antara dua tujuan dalam kesatuan harapan.
Namun, dalam praktiknya, reformasi hanya nampak menjadi pemutus rezim belaka. Peristiwa nan penting itu bak teater megah tanpa skenario yang berbenang merah. Bagaimana tidak? Sampai detik ini, pembaharuan yang dilakukan, tak jua selaras dengan pencapaian kesejahteraan sosial. Pembaharuan dibiarkan berjalan terkatung-katung tanpa konsep proporsional yang baik dan benar.
Selain itu, ramai pembenahan sistem pada masa peralihan tak diimbangi dengan pembenahan nurani para pembesar negeri. Yang demikian, diestafetkan hingga kini. Bahkan makin parah. Sebut saja sektor pendidikan yang bermetamorfosis menjadi pendidikan yang kental akan unsur komersial; atau sektor ekonomi yang digiring ke arah kapital; ataupun sektor politik yang merujuk pada politik liberal dengan orientasi kekuasaan.
Belum lagi minimnya atmosfer “edukasi” dalam masyarakat terkait demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Hasilnya mudah ditebak; masyarakat cenderung bersikap pasif atau kalau tidak, bersikap aktif namun tak faham tentang duduk persoalan. Ironis. Padahal tegaknya suatu negara mensyaratkan partisipasi aktif dan partisipasi yang tepat oleh rakyat.
Sebuah Ikhtiar
Sebagai negara yang berasas fundamental Pancasila maka salah satu langkah awal ialah menghadirkan (kembali) Pancasila di bumi Indonesia. Pasalnya, bila kita amati, banyak sekali problematika sosial dan kejanggalan usaha-usaha kesejahteraan diakibatkan karena hilangnya penghayatan Pancasila dari episentrum penyelenggaraan negara - baik ditinjau dari kebijakan publik maupun kebijakan sosial - dan kehidupan bermasyarakat.
Menghadirkan kembali di sini tidak berarti melakukan (lagi) pola indoktrinasi, tetapi implementasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial dalam sendi-sendi kehidupan kita. Nilai-nilai tersebut harus diejawantahkan dalam kesatuan yang berintegrasi antara satu dengan yang lain.
Stagnansi dan regresi 14 tahun reformasi juga dapat diatasi dengan melahirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar mengabdikan diri untuk negara dan melayani kepentingan rakyat. Bukan pemimpin yang menggelontorkan rupiah saat meminta kuasa, lalu mengeruk rupiah saat berkuasa. Mengutip pernyataan Inu Kencana Syafiie dalam Kuliah Umum Sosial : 14 Tahun Reformasi di Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (5/5), maka pemimpin yang dibutuhkan bangsa Indonesia sekarang ialah dia yang mampu melakukan harmonisasi antara ilmu, moral dan seni.
Sungguh, persoalan bangsa-negara menuntut ikhtiar semua lapisan masyarakat. Pun demikian terkait reformasi. Akan hampa perjuangan aktivis kala itu, bila tak diimbangi dengan perbaikan di masa sekarang. Semoga hari ini lebih baik dar hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Salam sosial.