Sudah sekian waktu tidak menulis, dan mungkin ini yang sangat tepat. Seperti judulnya kali ini saya mau bahas tentang fenomena gerakan 212. Sekadar menjelaskan posisi, saya tidak pernah ikut 212 baik 2016 maupun 2017. Jadi, izinkan saya membahas dengan sudut pandang sebagai penikmat isu sosial.
Baik, yang dimaksud gerakan 212 memang tidak bisa lepas dari 2 Desember 2016, yang pada intinya adalah mendukung proses hukum pelaku penistaan agama, yang kebetulan ialah Ahok. Gerakan itu begitu besar dan akan gagal dijelaskan jika hanya melihatnya dengan kalkulasi politik dan materialistik. Saya sebutnya sebagai gerakan iman.
Gerakan ini jika kita perhatikan sudah ada dalam memori kolektif sebagian masyarakat Indonesia. Perihal apa? Ya, memori kolektif untuk mewujudkan negara yang di dalamnya terselenggara nilai-nilai keislaman (red: tidak sama dengan Negara Islam). Sejak kapan? Setidaknya sejak awal abad ke-19, ketika tumbuh subur beberapa organisasi pergerakan bernafas Islam. Di saat yang sama muncul pergerakan nasionalis, dan beberapa lainnya.
Nah, semangat keislaman ini kemudian tersatukan dengan gerakan lain pada 1928, 1945-1949, serta pada masa Orde Baru. Ketiga waktu ini memiliki faktor pemersatu masing-masing yang khas. Sebab itulah, dalam kajian psikologis kita tak bisa abai dengan konteks sosialnya.
Pertanyaanya, apakah semangat itu hilang sama sekali? Tidak. Ada masa surut dan pasangnya. Sekitar 1950-1959, semangat keislaman itu masih diperjuangkan. Lihat bagaimana Masyumi - PNI, silih berganti mengisi kepemimpinan kabinet antara lain Natsir dan Burhanudin Harahap. Lihat juga bagaimana, konstituante tak kunjung mencapai hasil mutlak seperti harapan Soekarno. 55% menginginkan UUD 1945, sementara 45% menginginkan UUD dengan mengakomodir (lebih banyak) aspirasi Islam sebagaimana dijanjikan Soekarno saat terjadi perbedaan pendapat antara Hatta dan Ki Bagus Hadikusumo tanggal 18 Agustus 1945.
Saat Orde Baru berkuasa, dalam narasi pembangunan, nyaris (di)ti(a)dak(kan) perbedaan. Pasca kejatuhan Orde Baru, semangat itu tumbuh lagi. Salah satunya termanifestasi melalui menjamurnya partai politik Islam, yang jika dikuantifikasikan dalam presentase masih di bawah capaian tahun 1955. Namun pada perkembangannya, beberapa partai politik Islam ini dalam kadar dan situasi tertentu, belum bisa memenuhi sepenuhnya idea keislaman, di antaranya yang paling utama ialah menyangkut penegakan keadilan.
Alhasil, muncul ke permukaan gerakan terbarukan bernama 212. Kendati tidak semua organisasi Islam resmi menyatakan diri, agaknya memang anggota dari seluruh organisasi ada di situ. Jika semangat 212 hanya sekadar praktis untuk mendukung proses hukum pelaku penistaan agama, kiranya akan paripurna di tahun 2016 saja karena Ahok sudah ditahan di Mako Brimob. Nyatanya, kemarin hari, 212 masih melakukan konsolidasi gerakan dengan tajuk Reuni.
Apakah ini mengandung unsur politis? Setiap yang mempengaruhi kebijakan dan persepsi sosial adalah perilaku politis. Kita berbagi berita merupakan akualisasi jiwa politis. Pun sama, saat berbagi sepeda atau berbagi argumentasi di laman media sosial. Dan, saya menulis ini pun boleh jadi politis. Maka, perdebatan politis - tidak politis bukan sesuatu hal yang esensial.
Selanjutnya, saya pribadi sangat yakin 212 atau dengan nama lain, akan terus ada, senantiasa berdialog dengan kawan lamanya --nasionalisme. Lebih dari itu, menjalar pula kapitalisme dan liberalisme. Yang demikian yang tentu menarik atensi publik, berikut identifikasi dirinya: saya lebih condong ke mana(?)
Dalam keputusan mengambil jalan demokrasi, yang demikian merupakan dinamika yang lumrah. Bukankah kita sudah sepakat tentang sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Kita tidak bisa sewaktu-waktu memilih bhinneka (perbedaan) saja atau tunggal ika (persatuan) saja. Kecuali, kita sudah hanyut menjadi pengikut setia media massa bertuan. Salam.