Saya baru mengamati isu sosial-politik 10 tahun terakhir dan mempelajari psikologi 7 tahun. Dalam perjalanan pengamatan ini saya membuat beberapa simpulan profil politik manusia Indonesia.
Pertama, pemahaman parsial-egoistik. Indonesia tahun 1950 mencantumkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika seiring dengan diresmikannya Garuda Pancasila sebagai lambang negara. Bhinneka (beragam) tunggal ika (persatuan). Kata bhinneka lebih sering digunakan dari pada tunggal ika maupun kalimat utuh bhinneka tunggal ika. Agaknya keparsialan ini pada gilirannya terinternalisasi dan menjadikan kita potensial memiliki diri egoistik. Sementara kita sering lupa ikrar ketunggalikaan.
Kedua, pengagungan kelompok. Seperti kita ketahui Indonesia ini beragam suku, ras, agama, dan golongan. Kesetiaan itu melekat dalam memori kolektif bangsa, mungkin karena kita pernah hidup dalam kerajaan-kerajaan dari Hindu Budha hingga Islam. Feodalistik itu masih menjadi prototipe, sehingga kesetiaan diberikan kepada kelompok. Saat itulah mereka merasa bahwa kelompok (dan pemimpinnya) adalah paling benar dan paling benar.
Ketiga, manusia sosiologis-psikologis. Manusia Indonesia lebih melekatkan diri dalam ikatan sosiologis seperti kesukuan, agama, dan kewilayahan serta psikologis seperti kekaguman pada pemimpin. Sisi rasional hanya sebatas manfaat transaksional, bukan rasional formal sebagaimana yang dipahami saat ini seperti atensi pada kinerja maupun kompetensi. Rasional lebih cenderung sebagai mekanisme pertahanan karena melarang SARA dan untuk menunjukkan seberapa terdidik dia. Hanya sedikit orang yang benar-benar rasional.
Dst tulisan ini masih berlanjoet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar