Dia adalah gadis remaja, umurnya baru belasan. Seperti remaja pada umumnya, dia dalam suatu pengembaraan identitas.
Gadis itu menyusuri jalan. Lurus, enggan berbelok. Namun, suatu ketika, tibalah pada persimpangan jalan. Dia mulai lelah, dia tampak kebingungan memilih jalan. Jalan yang begitu-begitu saja, yang menurutnya mulai menjenuhkan, atau jalan yang lain(?)
Dia pejamkan matanya. Dibiarkan langkah kaki yang memandunya.
Saat membuka mata, dia sadar jalan yang dipilih tidaklah seirama dengan apa yang sudah dilaluinya. Dari belakang terdengar suara amak, apak dan sanak keluarga memanggilnya untuk kembali.
Namun dia abaikan, karena di sepanjang jalan baru itu dia menemukan sesuatu yang belum pernah ditemui, sesuatu yang lebih menantang. Matanya terbuka lebar-berbinar, menandakan suasana hati nan gembira. Kemudian dikeluarkanlah kertas dari tas jerami. Dia menulis, dan terus menulis. Dia menulis setiap pengalaman dan mambagikannya kepada setiap orang di tepi-tepi jalan.
Orang yang membaca sungguh terkesima akan kelihaiannya meramu kata(k)ata. Bagaimana tidak? Beberapa saudagar ulung pembawa berita telah mencatat namanya. Perempuan bermata tajam laksana surya pun menyebut-sebutnya sebagai gadis pandai yang menggenggam pita kebhinnekaan. Bahkan pedepokan terpandang di seantero negeri tak sungkan mempersilakan bertandang untuk mengalirkan ilmu kepada orang-orang sepuh yang belajar di situ. Puncaknya, menteri keluhuran budi diminta oleh Sang Raja untuk memanggul gadis itu ke istana. Hampir seluruh negeri mengelu-elukannya.
Di kemudian hari, aku melihat tulisannya mulai disangkali. Dia letih, tak mengerti dengan semua yang dialami. Meninggi langit dan terhempas seketika. Hari ini, dia jatuh dan terluka. Tapi mereka yang sudah meninggikan, seolah bisu. Kemana wahai kau raja? Kemana kau menteri? Kemana kau ki ageng? Kemana kau perempuan bermata surya(pal)? Oh, kemana kau saudagar-saudagar penyebar berita?
Gadis ini terluka. Tidakkah kau memanggilkan seorang tabib untuk meredakannya?
Luka itu begitu menganga, bukan hanya di tubuhnya, tetapi karena seperti sabdamu banyak anak-anak negeri sudah terlanjur mengikuti jejak langkahnya. Akankah mereka terluka jua pada akhirnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar