oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (UU Nomor 23 tahun 2004, Pasal 1). Yang
termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 adalah:
1.
suami, isteri, dan anak;
2.
orang yang mempunyai hubungan keluarga
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau
3.
orang yang bekerja membantu dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.
Bentuk KDRT
Bentuk KDRT meliputi
beberapa hal. Dalam UU Nomor 23 tahun 2014, Pasal 5 dijelaskan bahwa bentuk
KDRT meliputi:
1. Kekerasan
Fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka
berat.
2. Kekerasan
Psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan
Seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencerminkan:
a. pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut;
b. pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran
Rumah Tangga, yaitu perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga,
padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena
persetujuan atau perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penyebab KDRT
Zastrow & Browker
(dalam Wahab, 2010) mengatakan bahwa terdapat 3 teori yang mampu menjelaskan
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu teori biologis, teori kontrol,
dan teori frustasi-agresi.
1. Teori
Biologis
Teori biologis mamandang manusia
sebagai makhluk yang sejak lahir memiliki insting agresif. Pendiri
psikodinamika, Sigmund Freud, menjelaskan bahwa manusia mempunyai insting
kematian yang dimanifestasikan dengan melukai dan membunuh diri sendiri atau
orang lain. Menurut Konrad Lorenz, kekerasan sangat bermanfaat untuk dapat
bertahan hidup. Tindakan ini membantu seseorang untuk memperoleh dominasi dalam
kelompok. Beberapa ahli biologi, berpendapat bahwa pria memiliki lebih hormon
yang menyebabkan berperilaku agresif daripada wanita. Teori ini seperti
memberikan penjelasan mengapa KDRT lebih banyak dilakukan oleh pria.
2. Teori
Kontrol
Teori kontrol menerangkan bahwa
orang yang tidak terpuaskan dalam berelasi dengan orang lain akan mudah untuk
melakukan kekerasan. Dengan kata lain, orang yang memiliki relasi yang baik
dengan orang lain cenderung lebih mampu mengontrol dan mengendalikan
perilakunya yang agresif. Travis Hirschi melalui temuannya mendukung teori ini.
Disebutkan bahwa remaja laki-laki yang berperilaku agresif cenderung tidak
mempunyai relasi yang baik dengan orang lain. Hal sama juga terjadi pada mantan
narapidana di Amerika yang ternyata juga terasingkan dengan teman dan
keluarganya.
3. Teori
Frustasi-Agresi
Teori frustasi agresi memandang
kekerasan merupakan cara seseorang mengurangi ketegangan yang diakibatkan oleh
situasi yang membuat frustasi. Orang yang frustasi akan melakukan agresi
(kekerasan) kepada sumber frustasi atau kepada orang lain yang bisa menjadi
pelampiasan. Misalnya, seorang suami yang kekurangan penghasilan dan memiliki
harga diri rendah, memanifestasikan rasa frustasinya kepada istri dan
anak-anaknya. Teori ini sedikit-banyak juga dapat menjalaskan kasus yang kami
angkat pada paper “Menelaah Kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga” yang melibatkan Amir dan Susi sebagai pelaku dan korban KDRT.
KDRT di Indonesia
Keberadaan
UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
PKDRT) membuat KDRT menjadi isu nasional. Masyarakat berbondong-bondong
melaporkan kekerasan yang mereka alami. Imbasanya, telah terjadi peningkatan
jumlah kasus yang dilaporkan. Sebelum pemberlakuan UU PKDRT, yaitu dalam
rentang 2001-2004, jumlah yang dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662 kasus.
Sejak diberlakukannya UU PKDRT, yaitu dalam rentang 2005-2007, terhimpun
sebanyak 53.704 kasus.
Komnas
Perempuan (2011) menyebutkan jumlah kasus kekerasan pada tahun 2010 meningkat 5
kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun 2006. KDRT adalah kasus yang
mendominasi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlahnya mencapai 96%
pada 2010. Kebanyakan korban adalah perempuan dalam rentang usia produktif
antara 25-40 tahun. Dua tahun berselang, Komnas Perempuan (2013) kembali
merilis data yang memperlihatkan bahwa pada tahun 2012 saja terdapat 8.315
kasus kekerasan terhadap istri. 66 persen di antaranya dapat ditangani. Berdasarkan
jenis kekerasan, dari keseluruhan kasus, sebanyak 46 persen merupakan kekerasan
psikis, 28 persen kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan 8 persen
kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang sedang menjamur ternyata dilakukan
oleh pejabat publik, yaitu berupa kejahatan perkawinan (misalnya kawin siri)
Penelitian tentang KDRT
di Indonesia
Penelitian
mengenai KDRT di Indonesia telah banyak dilakukan oleh ilmuwan psikologi. Salah
satunya dilakukan oleh Veralia (2010), yang mengambil judul Persepsi Istri terhadap Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa istri mempersepsi
kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindakan yang negatif, Hal ini sesuai
dengan pengalamannya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Bagi istri,
kekerasan yang dialami merupakan suatu pengalaman buruk dalam kehidupannya,
sehingga mereka berharap tidak mengalami perlakuan yang sama di kehidupan
mendatang. Akar permasalahan tentang persepsi istri terhadap kekerasan dalam
rumah tangga didorong oleh kondisi ekonomi, pendidikan, campur tangan pihak
ketiga, kekuasaan suami, dan perselingkuhan. Penelitian menemukan bahwa ketiga
subjek yang mengalami kekerasan secara fisik, psikis, ekonomi, dan seksual
didominasi oleh kondisi ekonomi dan perselingkuhan suami dengan perempuan lain.
Penelitian kuantitatif dilakukan oleh Afandi, Rosa,
Suyanto, Khodijah, dan Widyaningsih (2012) terhadap seluruh
kasus KDRT yang diperiksa di Rumah Sakit Bhayangkara Tk. IV Pekanbaru. Hasil menunjukkan bahwa selama periode 1 Januari sampai dengan 31
Desember 2011 didapati 237 korban KDRT. Perempuan dalam umur produktif (19-40) merupakan jenis kelamin dan
golongan umur yang paling
sering ditemukan. Sebanyak 79,3% berstatus ibu rumah tangga. Jenis luka yang
paling banyak ditemukan adalah
luka memar (79,3%). Bagian tubuh yang paling sering menjadi lokasi luka adalah kepala dan leher (73,8%).
Mayoritas korban mengalami kekerasan tumpul (91,6%) dengan luka derajat ringan (92,4%).
Penelitian
tentang KDRT juga dilakukan oleh Margaretha, Nuringtyas, dan Rachim (2013).
Penelitian tersebut mengambil tajuk Trauma Kekerasan Masa
Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim. Penelitian terdiri dari dua studi.
Studi 1 melibatkan 62 laki-laki pelaku KDRT dengan usia berkisar antara 20
hingga 65 tahun (rata-rata 43 tahun). Sedangkan studi 2 melibatkan 21 perempuan
dengan usia 15 hingga 31 tahun (rata-rata 19 tahun). Penelitian ini menemukan
bahwa baik korban maupun pelaku KDRT mengalami trauma KDRT pada masa lalunya.
Korban maupun pelaku KDRT terjerat dalam rantai kekerasan karena mengalami
trauma KDRT pada masa kanaknya, sehingga mengembangkan persepsi yang salah
tentang kekerasan dan pada akhirnya mempengaruhi ketidakmampuan coping atas
masalahmasalah pribadi mereka kelak.
Secara
khusus, hasil studi 1 menunjukkan adanya pengaruh negatif jangka panjang trauma
menyaksikan dan mengalami KDRT masa kanak terhadap kekerasan di dalam relasi
intim masa dewasa. Adapun hasil studi 2 menunjukkan tidak ada hubungan langsung
antara trauma menyaksikan KDRT dengan pengalaman kekerasan dalam relasi intim
masa dewasa. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan ini mungkin terjadi secara
kompleks, atau dengan kata lain perlu diteliti berbagai kemungkinan terjadinya
suatu hubungan tidak langsung antara trauma KDRT dan pengalaman korban.
Referensi
Afandi, D., Rosa, W.Y., Suyanto, Khodijah,
Widyaningsih, C. (2012). Karakteristik kasus kekerasan dalam rumah tangga. Journal Indonesia Medeical Association, 62
(11), 435 – 438.
Komisi
Nasional Perempuan. (2007). Catatan tahunan
tentang kekerasan terhadap perempuan tahun 2007. Jakarta: Komnas Perempuan.
Komisi
Nasional Perempuan. (2011). Teror dan
kekerasan terhadap perempuan: Hilangnya kendali negara, catatan KTP tahun 2010.
Jakarta: Komnas Perempuan.
Margaretha,
Nuringtyas, R., Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan
dalam relasi intim. Makara Seri Sosial Humaninora, 17(1), 33-42.
DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1800
Pemerintah. (2004). Undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Indonesia: Republik Indonesia
Veralia, M.B. (2011). Persepsi istri terhadap
kekerasan dalam rumah tangga: Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.
bisakah anda memberikan contoh teori lain yang berhubungan dengan masalah keluarga?
BalasHapus