Senin, 16 Maret 2015

Qualitative Research: Case Study (Studi Kasus)



FIELD NOTE 9TH
MEMBAHAS STUDI KASUS
Senin, 10 November 2014


Pada pertemuan kali ini kelas diisi oleh Ibu Dian. Pak Bandi tidak hadir, mungkin ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Ya. Di hari yang bertepatan dengan Hari Pahlawan, saya turut mengucapkan selamat meresapi nilai-nilai kepahlawanan, nilai-nilai nasionalisme – cinta tanah air –. Semoga generasi muda tidak melupakan jasa para pendahulu, sebaliknya akan meneruskan pengabdian mereka secara kekinian.
Kembali ke kelas MP Kualitatif. Hari ini kami memulai dengan kuis. Kami ditunjukkan teks via tayangan power point, selanjutnya kami diminta menyebutkan termasuk teks tersebut temasuk pendekatan yang apa. Jawaban memang tidak ditujukan untuk penilaian, tetapi lebih kepada evalusi pemahaman saja. Setelah lima soal ditayangkan, kami membahas satu per satu. Mirip dengan  pembahasan yang minggu lalu, yaitu pendekatan fenomenologis, naratif, grounded theory, etnorafi, dan studi kasus.
Sekali lagi saya akan mengulas fokus pendekatan. Pendekatan yang dipelopori Edmund Huerl –fenomenologi–berfokus pada penggalian makna terdalam dari pengalaman subjektif; sebuah esensi mengenai pengalaman individu. Pendekatan naratif berfokus pada life history, pada pemahaman terhadap identitas dan pandangan individu dengan mengacu pada cerita-cerita. Selanjutnya, pendekatan grounded theory yang berfokus pada pembentukan teori. Grounded theory berangkat dari permasalahan dan berbasis pada data yang ditemukan di lapangan. Grounded thoery tidaklah dibimbing oleh teori tertentu, karena teori hanya dimunculkan di bagian belakang. Etnografi berfokus pada pada aspek-aspek budaya dalam suatu masyarakat atau kultur komunitas, adapaun studi kasus berfokus mengkaji kasus-kasus tertentu yang luar biasa atau menarik.
Salah satu teman bertanya apakah ada aturan baku mengenai jumlah subjek penelitian? Ya. Tidak ada aturan baku mengenai jumlah subjek dalam berbagai pendekatan penelitian. Tapi secara umum studi kasus jumlah subjeknya lebih sedikit bila dibandingkan dengan fenomenologi, apalagi dibandingkan dengan grounded theory yang jumlahnya memang luar biasa banyak dalam konteks penelitian kualitatif.

Studi Kasus
Setelah minggu lalu mengupas fenomenologi, maka minggu ini kami mempelajari tentang studi kasus. Studi kasus memiliki kekhasan yaitu adanya batasan. Batasan tersebut meliputi tema, waktu dan tempat. Studi kasus harus membuka selebar-lebarnya mata, membuka selebar-lebarnya telinga. Kata Mawhinney (2011) dalam menerapkan pendekatan studi kasus, peneliti harus memiliki full fiew 360 derajat. Yin (2006) menyebut studi kasus sebagai studi empiris yang menginvestigasi fenomena dalam konteksnya. Batasan konteks dan fenomena harus jelas, sejelas-jelasnya. Tujuannya tidak lain, tidak bukan, yakni untuk mengetahui konteks secara kompleks. Kata Creswell, kunci pendekatan studi kasus adalah bounded system. Studi kasus bisa single case atau multiple cases. Kapan single case dan kapan multiple cases  tergantung dari apa tujuan penelitian.
Apakah studi kasus bisa digeneralisasi? Awalnya saya pikir tidak bisa. Ternyata studi kasus bisa digeneralisasi. Guna melakukan generalisasi peneliti perlu paham bahwasannya dalam studi kasus ini perlu pendeskripsian konteks. Pendeskripsian konteks sangat penting pada saat penyampaian penelitian. Menggeneralisir di sini memang bukan secara statistik, tetapi melihat konteksnya apakah mengandung tema yang sama (atau tidak?).
Penelitian baik studi kasus atau kualitatif dan kuantitatif pada umumnya baru bisa dikatakan ilmiah jika empiris (berbasis pengalaman), measurable (dapat diukur), dan falsifable (dapat disanggah). Satu kasus yang tidak mendukung bisa untuk mematahkan teori yang ada. Misalnya finding a black swan (Flyubjerg, 2006) dapat memutuskan all swans are white (Karl Popper). Atau Aristotlerian versus Gallilean mengenai teori gravitasi.  Inilah yang dinamakan falsifikasi, satu kasus saja bisa mematahkan teori.
Menurut States (1995) berdasarkan tujuannya studi kasus memiliki 1) sifat intrinsik, yaitu hanya untuk sekadar memahami aspek intrinsik dari sebuah kasus, 2) instrumental, yaitu merubah teori yang sudah ada, 3) kolektif, yaitu kumpulan untuk dikembangkan ke teori yang lebih besar. Sedangkan berdasarkan desainnya dikemukakan oleh Berg (2001) bahwa studi kasus merupakan pendekatan yang 1) descriptive, untuk mendeskripsikan, 2) eksploratory, untuk menemukan aspek-aspek, 3) ecplanatory, untuk menetahui sebab akibat.
Apa saja komponen yang harus ada dalam sebuah studi kasus? Ya. Studi kasus terdiri dari berbagai komponen, yaitu pertanyaan penelitian, study proposition (if . . . then . . .), identifikasi unit analisis (person, group, proses, specific element, process, dan aspect), logical linking of the data to the propositions (theory), serta kriteria yaitu prosesdur menginterpretasikan “finding”. Menarik sekali bukan(?) Studi kasus merupakan pendekatan yang layak untuk dikembangkan, khususnya mengenai fenomena unik dan langka.

Demikian catatan lapangan hari ini. Terima kasih.

Yogyakarta,
hari kesepuluh bulan November
Muhammad Zulfa Alfaruqy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar