FIELD
NOTE 9TH
MEMBAHAS STUDI KASUS
Senin, 10 November 2014
Senin, 10 November 2014
Pada pertemuan kali ini kelas diisi oleh Ibu Dian. Pak
Bandi tidak hadir, mungkin ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Ya.
Di hari yang bertepatan dengan Hari Pahlawan, saya turut mengucapkan selamat
meresapi nilai-nilai kepahlawanan, nilai-nilai nasionalisme – cinta tanah air
–. Semoga generasi muda tidak melupakan jasa para pendahulu, sebaliknya akan
meneruskan pengabdian mereka secara kekinian.
Kembali ke kelas MP Kualitatif. Hari ini kami memulai
dengan kuis. Kami ditunjukkan teks via tayangan power point, selanjutnya kami
diminta menyebutkan termasuk teks tersebut temasuk pendekatan yang apa. Jawaban
memang tidak ditujukan untuk penilaian, tetapi lebih kepada evalusi pemahaman
saja. Setelah lima soal ditayangkan, kami membahas satu per satu. Mirip dengan pembahasan yang minggu lalu, yaitu pendekatan
fenomenologis, naratif, grounded theory,
etnorafi, dan studi kasus.
Sekali lagi saya akan mengulas fokus pendekatan.
Pendekatan yang dipelopori Edmund Huerl –fenomenologi–berfokus
pada penggalian makna terdalam dari pengalaman subjektif; sebuah esensi mengenai
pengalaman individu. Pendekatan naratif
berfokus pada life history, pada
pemahaman terhadap identitas
dan pandangan individu
dengan mengacu pada cerita-cerita. Selanjutnya, pendekatan grounded theory yang berfokus
pada pembentukan teori. Grounded theory
berangkat dari permasalahan dan berbasis pada data yang ditemukan di lapangan. Grounded thoery tidaklah dibimbing oleh
teori tertentu, karena teori hanya dimunculkan di bagian belakang. Etnografi berfokus pada pada
aspek-aspek budaya dalam suatu masyarakat atau kultur komunitas, adapaun studi kasus berfokus mengkaji
kasus-kasus tertentu yang luar biasa atau menarik.
Salah satu teman bertanya apakah ada aturan baku
mengenai jumlah subjek penelitian? Ya. Tidak ada aturan baku mengenai jumlah
subjek dalam berbagai pendekatan penelitian. Tapi secara umum studi kasus
jumlah subjeknya lebih sedikit bila dibandingkan dengan fenomenologi, apalagi
dibandingkan dengan grounded theory yang
jumlahnya memang luar biasa banyak dalam konteks penelitian kualitatif.
Studi Kasus
Setelah minggu lalu mengupas fenomenologi, maka minggu
ini kami mempelajari tentang studi kasus. Studi kasus memiliki kekhasan yaitu
adanya batasan. Batasan tersebut meliputi tema, waktu dan tempat. Studi kasus
harus membuka selebar-lebarnya mata, membuka selebar-lebarnya telinga. Kata Mawhinney (2011) dalam menerapkan pendekatan
studi kasus, peneliti harus memiliki full
fiew 360 derajat. Yin (2006) menyebut studi kasus sebagai studi empiris
yang menginvestigasi fenomena dalam konteksnya. Batasan konteks dan fenomena harus
jelas, sejelas-jelasnya. Tujuannya tidak lain, tidak bukan, yakni untuk
mengetahui konteks secara kompleks. Kata Creswell, kunci pendekatan studi kasus
adalah bounded system. Studi kasus
bisa single case atau multiple cases. Kapan single case dan
kapan multiple cases tergantung dari apa
tujuan penelitian.
Apakah studi kasus bisa digeneralisasi? Awalnya saya
pikir tidak bisa. Ternyata studi kasus bisa digeneralisasi. Guna melakukan
generalisasi peneliti perlu paham bahwasannya dalam studi kasus ini perlu pendeskripsian
konteks. Pendeskripsian konteks sangat penting pada saat penyampaian
penelitian. Menggeneralisir di sini memang bukan secara statistik, tetapi
melihat konteksnya apakah mengandung tema yang sama (atau tidak?).
Penelitian baik studi kasus atau kualitatif dan
kuantitatif pada umumnya baru bisa dikatakan ilmiah jika empiris (berbasis
pengalaman), measurable (dapat diukur), dan falsifable (dapat disanggah). Satu
kasus yang tidak mendukung bisa untuk mematahkan teori yang ada. Misalnya finding a black swan (Flyubjerg, 2006)
dapat memutuskan all swans are white
(Karl Popper). Atau Aristotlerian versus Gallilean mengenai teori gravitasi. Inilah yang dinamakan falsifikasi, satu kasus
saja bisa mematahkan teori.
Menurut States (1995) berdasarkan tujuannya studi
kasus memiliki 1) sifat intrinsik, yaitu hanya untuk sekadar memahami aspek
intrinsik dari sebuah kasus, 2) instrumental, yaitu merubah teori yang sudah
ada, 3) kolektif, yaitu kumpulan untuk dikembangkan ke teori yang lebih besar.
Sedangkan berdasarkan desainnya dikemukakan oleh Berg (2001) bahwa studi kasus
merupakan pendekatan yang 1) descriptive,
untuk mendeskripsikan, 2) eksploratory,
untuk menemukan aspek-aspek, 3) ecplanatory,
untuk menetahui sebab akibat.
Apa saja komponen yang harus ada dalam sebuah studi
kasus? Ya. Studi kasus terdiri dari berbagai komponen, yaitu pertanyaan
penelitian, study proposition (if . . .
then . . .), identifikasi unit analisis (person,
group, proses, specific element, process, dan aspect), logical linking of the data to the propositions (theory), serta
kriteria yaitu prosesdur menginterpretasikan “finding”. Menarik sekali bukan(?)
Studi kasus merupakan pendekatan yang layak untuk dikembangkan, khususnya
mengenai fenomena unik dan langka.
Demikian catatan lapangan hari ini. Terima kasih.
Yogyakarta,
hari kesepuluh bulan November
Muhammad Zulfa Alfaruqy
Muhammad Zulfa Alfaruqy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar