The Last Samurai
Resensi Film dan Analisis Kepemimpinan Stratejik*
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
“Kita tidak boleh melupakan siapa diri
kita yang sebenarnya atau darimana kita berasal”
(Kaisar Meiji)
Alkisah, pada akhir abad ke-19, Jepang
berdiri di antara budaya tradisional dan internalisasi budaya modern Barat. Hal
ini meliputi segala bidang, termasuk pertahanan negara. Kaisar “muda” Meiji,
karena hasutan Omura, bertekad bulat beralih pada kekuatan militer modern dan
melenyapkan samurai karena dianggap kolot serta dapat menjadi batu sandungan. Sebagai
langkah strategis, pemerintah menghadirkan Kapten Nathan Algren, veteran perang
Amerika Serikat yang sukses menghancurkan suku Indian.
Tahun 1876, Nathan menginjakkan kaki
di negeri matahari terbit. Dia dijanjikan imbalan besar jika berhasil
melenyapkan para samurai Lebih dari itu, barter Amerika Serikat dan Jepang pun menjadi
kesepakatan tersendiri; yang jauh lebih berharga. Singkat kata, sang kapten diberi
kewenangan untuk melatih para pasukan yang sebagian besar adalah petani. Pasukan
diajarkan teknik perang dan cara memakai persenjataan canggih.
Belum lama melatih pasukan barunya, Nathan
dihadapkan pada perlawanan yang dilakukan para samurai pimpinan Katsumoto. Pasukan
yang belum mahir terpaksa diturunkan untuk menghadapi samurai. Pertempuran terjadi
di hutan belantara. Pasukan yang belum disiplin tampak panik dan kocar-kacir. Nathan
tak lantas menyerah. Berbekal kemahiran perang, dia melawan dan membunuh
beberapa samurai. Sayang, kekuatan tidak berimbang. Dia jatuh tersungkur. Dalam
kondisi seperti ini, Katsumoto memutuskan untuk menawannya di perkampungan
mereka.
Katsumoto meminta Taka, seorang janda
yang suaminya dibunuh di medan perang, agar merawat dan menyediakan tempat
tinggal untuk Nathan. Walau diliputi rasa benci, Taka tetap memperlakukan Nathan
dengan baik. Perlakuan inilah yang membuat dirinya kagum. Di perkampungan
samurai, kapten bertubuh kekar itu belajar banyak hal, termasuk gaya hidup
sederhana, kedisiplinan dan teknik pedang. Dia juga mulai mempelajari bahasa
Jepang dan kebiasaan setempat. Dikisahkan, dia pun mulai goyah pendirian dan
mencintai Jepang serta filosofi hidup samurai. Penghormatan pada budaya tradisionl
tidak lantas menjadikan warga percaya padanya. Hingga pada suatu saat, ada
sekelompok ninja utusan Omura menyusup untuk membunuh Katsumoto. Dalam
peristiwa percobaan pembunuhan ini, Nathan berhasil menyelematkan nyawa
Katsumoto. Dia akhirnya mendapat tempat di hati warga.
Pada hari yang sudah ditentukan,
Katsumoto pergi ke ibukota untuk membebaskan Nathan sekaligus menemui Kaisar
guna meminta kebijakan agar tidak mengurungkan niat dalam melenyapkan samurai,
mengingat samurai adalah pasukan penjaga Jepang sejak dahulu kala. Sayang,
Kaisar yang kadung terhasut oleh Omura tak bergeming. Katsumoto yang merasa
gagal bernegosiasi dengan Kaisar hendak melalukan hara-kiri (bunuh diri) dalam rumah
yang dijaga super ketat oleh pasukan pemerintah. Bagaimana dengan Nathan? Nathan
kembali ditawari untuk memimpin pasukan sama seperti misi terdahulu. Di luar
dugaan, dia justru menolak dan memilih berbalik memihak para samurai. Dia pun
bergegas membebaskan Katsumoto dalam kontak senjata yang cukup hebat. Putra
Katsumoto tewas dalam pembebasan tersebut.
Singkat kisah, Katsumoto dan Nathan
kembali ke perkampungan samurai guna perang melawan pasukan pemerintah demi
mempertahankan posisi mereka. Pertempuran hebat terjadi. Para samurai dengan
strategi yang disiapkan, berhasil menang. Namun, pasukan bersenjata tidak
tinggal diam. Mereka mendatangkan pasukan lebih banyak. Kekuatan tidak seimbang.
Pada detik - detik akhir perang, Katsumoto, Nathan, dan samurai berkuda
menyerang secara terbuka. Dalam posisi ini, pasukan bersenjata leluasa
memberondong mereka. Para samurai berjatuhan dan hanya menyisakan Katsumoto
serta Nathan. Katsumoto lantas melakukan seppuku,
mensukkan pedang pada diri sendiri. Pasukan bersenjata terperangah. Mereka
bersimpuh dan sujud sebagai penghormatan.
Di akhir cerita, Nathan menemui Kaisar
untuk mengingatkan tentang bagaimana pentingnya pemimpin menghargai tradisi dan
pengorbanan para leluhur. Kaisar yang sedang bertemu dengan perwakilan Amerika
Serikat untuk kesepakatan perjanjian modernisasi alutsisita, seketika itu juga
langsung membatalkan kesepakatan.
Analisis Kepemimpinan Stratejik
Film
besutan Edward Zwick menampilkan sosok pemimpin luar biasa yaitu Katsumoto. Katsumoto
digambarkan sebagai pemimpin samurai yang mengedepankan tradisi yang dijunjung
tinggi secara turun – temurun oleh Jepang. Hal tersebut kontras dengan Omura,
yang justru berorientasi pada modernisasi. Dengan perkataan lain, Katsumoto
menginginkan sebuah sistem pertahanan negara yang relatif stabil daripada
sistem yang bergerak ke arah pertumbuhan.
Keinginan
Katsumoto mendapat tantangan yang besar. Pasalnya, Kaisar Meiji sudah berhasil dihasut
oleh Omura yang melakukan pendekatan secara struktural. Dalam posisi seperti
ini, modal utama Katsumoto adalah kedekatan dengan masyarakat dan para samurai.
Diilustrasikan jika Katsumoto tinggal di perkampungan yang tidak memberikan
jarak antara pemimpin dan masyarakatnya. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi
Kastumoto kecuali berjuang walaupun harus menghadapi pasukan pemerintah yang
kala itu sudah dilaitih dengan alutsista modern.
Singkat
kisah, Katsumoto berhasil mempengaruhi (influencing)
para samurai agar tetap setia dengan jalan hidupnya, yakni berkorban untuk
melayani negara. Dari sini tampak bahwa kesetiaan pada negara diimplementasikan
dengan cara melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sedang dalam hasutan.
Ini merupakan poin penting yang menunjukkan keefektifan kepemimpinan Katsumoto.
Sebagaimana dikatakan Gary Yukl (2001) dalam Leadership in Organization, kepemimpinan berkaitan dengan proses
yang disengaja dari seseorang untuk menekankan pengaruhnya yang kuat terhadap orang
lain. Ditinjau dari segi kebermanfaatan tujuan, jelas, tujuan Katsumoto
sangatlah mulia. Maka, teridentifikasi dan tidak terbantahkan bahwa Kastumoto
ialah leader with good leadership.
Dalam
rangka mewujudkan tujuan, Katsumoto berkerja sama dengan Kapten Nathan Algren.
Nathan dicitrakan sebagai kapten perang yang menguasai strategi perang, baik
secara individu maupun kolektif. Ada beberapa poin penting, mangapa Nathan juga
patut diperhitungkan sebagai sosok dengan kepemimpinan efektif. Pertama, pada saat ditugaskan melawan para
samurai di hutan belantara, Nathan tidak diskusi dengan pasukan karena bisa
menjatuhkan mental sebelum menginjakkan kaki di medan perang. Hal tersebut
sesuai dengan kaidah kepemimpinan, bahwa dalam situasi kritis, seorang pemimpin
mengambil keputusan tanpa harus diskusi. Meskipun pada kenyataannya belum
berhasil dalam pertempuran itu.
Kedua, Nathan berhasil meyakinkan para warga
di perkampungan samurai bahwa meskipun dia adalah seorang kapten Amerika yang
semula bertujuan untuk melenyapkan para samurai, semenjak tinggal dengan
mereka, dia telah berubah pandangan. Dia berhasil memanfaatkan momentum
penyelematan Katsumoto. Seorang yang memiliki kepemimpinan yang tinggi dapat
melihat peluang yang ada di depan mata.
Ketiga, Nathan bersama dengan Katsumoto dapat
menyusun strategi perang samurai dengan baik. Hal ini tidak bisa dilepaskan
dari pemahamannya terhadap karakteristik dan teknik para samurai serta prediksi
strategi lawan. Menurut Blake dan Mouton pemimpin yang
efektif memperhatikan
relasi dan tugas. Dengan jumlah samurai yang tidak imbang namun mampu memberikan
perlawanan hebat, ini sungguh luar biasa.
Dalam
analisis saya, puncak dari keberhasilan dari kepemimpinan Katsumoto yang
didukung oleh Nathan adalah pada detik – detik akhir penandatanganan kesepakatan
alustsista Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun pada kesempatan pertama,
Katsumoto belum berhasil meng-influence Kaisar
Meiji. Namun pada kesempatan kedua, Nathan tidak mensia-siakan peluang untuk
meyakinkan Sang Kaisar. Dengan susunan kalimat yang baik, Nathan menyampaikan
pesan yang kurang lebih seperti ini:
“Ini pedang Katsumoto. Dia ingin Anda
memilikinya agar semangat samurai selalu bersama Anda. Dia berharap bersama
nafas terakhirnya Anda bisa mengenang para leluhur yang menggenggam pedang ini
dan untuk apa mengorbankan nyawa”
Hal tersebut
terbukti ampuh untuk merubah keyakinan Kaisar Meiji. Kaisar Meiji membatalkan
kesepakatan dan berbalik arah. Dalam ungkapannya dikatakan bahwa kita tidak
boleh melupakan siapa diri kita yang sebenarnya atau darimana kita berasal. Tradisi tetap harus dipegang teguh
meskipun modernisasi silih berganti. Nathan sukses mengeksekusi tujuan Katsumoto
dan para samurai mempertahankan tradisi dan semangat bushido. Sebagaimana pendapat Yukl (2001), efektivitas kepemimpinan
diukur dari seberapa jauh tugas atau tujuan itu tercapai.
*) Paper MK
Kepemimpinan Stratejik MAPSI UGM 2015
Referensi:
Yukl, G. 2001. Leadership in Organization. Jakarta:
Indeks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar