MEREKA BERBEDA, BUKAN GILA:
Memotret Autisme dari Berbagai Sudut
Pandang*
oleh
Muhammad Zulfa Alfaruqy
Magister
Psikologi Universitas Gadjah Mada
Khadulah
Amin (14) duduk di lantai beralas tanah sambil mengangguk – anggukkan kepala.
Kaki kanannya terikat tali putih berukuran sedang pada sebuah saka. Sesekali tampak berjalan untuk
berpindah tempat. Dulah (nama sapaannya) tinggal bersama nenek Muryati dan
budhe Pariyem di desa Ngale, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi. Semenjak kecil, Dulah
ditinggal Ibunda merantau ke negeri jiran Malaysia dengan alasan untuk bekerja.
Sang Ayah pergi entah kemana. Hingga kini tiada kabar dari keduanya.
Pariyem
sudah mengobatkan Dulah ke Rumah Sakit Ngawi sebanyak lima kali. Namun nihil
tanpa hasil. Dulah tetap menunjukkan gejala – gejala seperti tidak melakukan
kontak mata ketika diajak berinteraksi, berbicara tidak jelas, dan sering
melakukan gerakan berulang. Alhasil, Pariyem sulit untuk beraktivitas seperti masyarakat
yang lain karena harus menunggui keponakannya itu.
Pariyem
menuturkan bahwa pemasungan terhadap Dulah dilakukan demi keamanan bersama. Dikisahkan
empat tahun yang lalu, Dulah keluar rumah dan tidak bisa kembali. Semua
keluarga kebingungan mencari di mana gerangan Dulah. Beruntung ada seorang baik
yang menemukan Dulah di desa seberang berkenan mengantarkan pulang ke rumah.
Sejak saat itulah, kaki Dulah diikat. Semua pakaian Dulah juga disablon
bertuliskan nama dan alamat tempat tinggal. Tujuannya adalah apabila suatu saat
ikatan kaki lepas dan Dulah kabur, mudah untuk mencari keberadaannya.
Apa
yang dialami Dulah merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam masyarakat.
Perilaku yang berbeda dengan anak pada umumnya dan disertai labeling yang kurang menyenangkan.
Temuan awal menunjukkan bahwa Dulah menyandang autis. Secara singkat, autis
dapat dimengerti sebagai gangguan yang merujuk pada gaya berpikir yang
memandang diri sendiri sebagai pusat dunia. Anak autis menutup diri dari
masukan dunia luar dan menciptakan kesendirian autistik (Nevid, Rathus, &
Greene, 2005). Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan
menggunakan berbagai sudut pandang, termasuk budaya? Lantas intervensi apa yang
dapat diterapkan?
MULTIPERSPEKTIF
Perspektif
Budaya
Pada
kasus di atas tidak dijelaskan secara eksplisit istilah apa yang dipakai masyarakat
desa Ngale untuk menyebut gangguan yang dialami Khadulah Amin. Namun, ada satu
fakta menarik bahwa masyarakat kita dengan pengetahuan yang dimiliki, memandang
gangguan tersebut identik (atau bahkan disamakan) dengan gila. Dalam pergaulan
masyarakat Jawa disebut edan. Hal itu
pernah diungkapkan Ir Nurani MT, seorang pegiat autis dari Yayasan Autisma
Semarang, “Banyak yang dibiarkan begitu saja. Bahkan ada beberapa tahun lalu
kami menemukan anak dipasung karena dianggap gila, padahal menderita autisme.” (Suara
Merdeka, 24/07/2011)
Tahun
2013, istilah gila juga latah diucapkan masyarakat sebuah kabupaten di Jawa
Timur kepada seorang anak autis. Kala itu ada seorang anak autis yang memiliki
obsesi pada api menyulut api. Demi pemenuhan rasa puas, dia membakar seisi
rumah. Masyarakat lantas menyebut dia gila dan memutuskan untuk mamasung anak
tersebut. Istilah lain yang lazim digunakan masyarakat untuk menyebut autis
adalah sinting, sebagaimana yang banyak
ditemui di kabupaten Wonogiri.
Masyarakat
mempunyai keyakinan masing – masing terhadap penyebab sinting atau edan (yang sebenarnya
memenuhi kriteria DSM untuk autis). Keyakinan tersebut antara lain disebabkan karena
keterbelakangan mental, kutukan dari dewa, kutukan dari penunggu suatu tempat
atau benda, penyakit mistis, guna-guna, atau kemasukan roh jahat. Tidak jarang
anak-anak seperti Dulah dijauhi oleh masyarakat sekitar karena dianggap bisa
menularkan pada anak – cucu mereka. Sementara si anak dijauhi dan di-bully, orang tua dilanda rasa malu dan
khawatir karena tidak ada penerimaan dari masyarakat setempat (National
Geograpic, 2013).
Perspektif
Behavior
Perspektif
behavior menjelaskan bahwa autis disebabkan oleh kesalahan belajar pada masa
kanak – kanak. Ferster (dalam Davidson, Neale, & Kring, 2010) berpendapat
tidak adanya perhatian dari orang tua, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi
yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial (stimulus – respons). Akibat orang
tua tidak menjadi penguat sosial, perilaku anak tidak terkendali dan
mengakibatkan gangguan autistik. Pun demikian, perspektif ini patut
dipertanyakan hubungan kausalitasnya.
Perspektif Kognitif Behavior
Perspektif
kognitif – behavior memandang bahwa penyebab autis karena ada defisit
perseptual yang membuat anak hanya bisa memproses satu stimulus pada waktu
tertentu. Hal tersebut menyebabkan lambat belajar (asosiasi SR). Anak autis
diketahui tidak menghu-bungkan reinforcement
primer seperti makanan atau pelukan dengan pengasuhnya.
Menurut
Rutter (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005) anak autis juga memiliki
defisit kognitif yang membuatnya sulit untuk mengintegrasikan informasi dari
berbagai indera. Anak autis sensitif pada satu rangsangan tetapi tidak sensitif
pada rangsangan yang lain. Defisit perseptual dan kognitif mengurangi kapasitas
mereka dalam menggunakan informasi guna memahami serta menerapkan norma dan
aturan sosial.
Perspektif Neuropsikologi
Dari
perspektif neuropsikologi, autis dikaitkan dengan abnormalitas otak. Disinyalir
penyebabnya sangat majemuk. Stokard (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005)
menyebut penyebab autis adalah kebiasaan atau perilaku ibu hamil yang sering
bersentuhan dengan lingkungan lercemar zat polutan, sehingga menyebabkan kerusakan
gen ketika bayi masih di dalam kandungan. Konsumsi terhadap makanan dengan
pengawet dan pewarna yang tak aman juga dinilai menjadi penyebab.
FAKTA AUTIS
Daniel
Tammet (36) mampu mengingat 22.514 angka dan menguasai 10 bahasa.
Microsoft
merekrut karyawan autis karena unggul dalam kode dan matematika tahun ini.
Khalid
Abu Musa (10) mampu menghafal Al Quran.
DIAGNOSIK ABNORMAL (DSM –IV)
v
Diagnosis
membutuhkan kombinasi dari ciri – ciri yang ada di beberapa kelompok berikut
ini. Tidak semua ciri dari setiap kelompok harus ada untuk dapat dilakukan
diagnosis.
A. Hendaya
Interaksi Sosial
1. Hendaya pada perilaku nonverbal
seperti ekpresi wajah, postur tubuh, gesture, dan kontak mata yang biasanya
mengatur interkasi sosial.
2. Tidak mengembangkan hubungan teman
sebaya yang sesuai dengan usianya.
3. Kegagalan dalam berbagi kegembiraan
dengan orang lain.
4. Tidak menunjukkan reaksi sosial dan
emosional timbal balik.
B. Hendaya
Komunikasi
1. Keterlambatan pada pekembangan bahasa
verbal.
2. Kurangnya kemampuan untuk memulai dan
mempertahankan percakapan.
3. Menunjukkan abnormalitas pada bentuk
atau isi bahasa.
4. Tidak mempelihatkan kemampuan bermain
sosial spontan dan imajinatif
C. Pola
Perilaku yang Terbatas dan Repetitif
1. Menunjukkan minat yang terbatas.
2. Memaksakan rutinitas.
3. Menunjukkan gerakan – gerakan stereotip.
4. Menunjukkan fokus yang berlebihan pada
bagian-bagian objek atau kelekatan yang tidak biasa terhadap objek – objek.
v
Kemunculannya
terjadi sebelum usia 3 tahun yang tampak dari fungsi yang abnormal pada paling
tidak satu dari hal-hal berikut ini: perilaku sosial, komunikasi, atau bermain
imajinatif.
INTERVENSI
Apa
yang dialami oleh Dulah dan penyandang autisme lain perlu diberikan perlakuan
atau intervensi, baik secara budaya setempat maupun psikologi.
Intervensi
Budaya
Di
beberapa daerah di Jawa bahkan mungkin Indonesia, penyandang autis (atau dalam
bahasa masyarakat sinting) kurang
mendapat perhatian. Sebagian masyarakat menerapkan pasung. Kaki penyandang
diikatkan pada saka rumah. Bahkan di
daerah seperti Wonogiri dan Ponorogo dilakukan pememasungan kaki pada kayu yang
telah dibentuk sedemikian rupa. Pasung dipandang masyarakat mampu untuk
memberikan ketenanganan bagi penyandang dan mengurangi rasa malu bagi orang tua
karena sering dijadikan bahan pergunjingan oleh lingkungan sekitar ketika anak mereka
“berulah”. Keefektifan pasung sebagai sebuah penangangan masih perlu dikaji
ulang, karena pasung justru membatasi ruang gerak sosialisasi dan membiarkan
asyik dengan kesendiriannya.
Akupunktur
di Klaten
Di
kabupaten Klaten orang tua penyandang autis menginisiasi sebuah Yayasan Arogya
Mitra yang memberikan intervensi alternatif, yaitu akupunktur. Akupunktur
sebenarnya merupakan penanganan tradisional asal China. Akupunktur dilakukan
dengan menusukkan jarum tipis ke titik – titik tertentu pada tubuh penyandang
autis. Tujuannya adalah untuk merangsang pengaktifan neurotransmitter. Secara
medis, intervensi akupunktur meyakini bahwa tubuh manusia mempunyai titik
tumpul, sebuah tempat energi yang apabila tidak mengalir akan menjadi
kesakitan. Tertusuknya titik – titik tersebut akan menjadikan keseimbangan
sistem syaraf, hormonal dan neurotransmitter. Akupunktur memiliki dua mekanisme
kerja. Pertama, menusuk pada titik terentu yang dapat menaikkan aliran darah ke otak, sehingga
metabolime otak meningkat. Naiknnya metabolisme otak dapat merangsang kecerdasan
anak. Kedua, menstrabilkan neurotransmitter di dalam otak.
Intervensi
Psikologi
Terapi
berbasis pendekatan perilaku (behavioral therapy)
masih menjadi salah satu primadona dari intervensi psikologi untuk
penanganan autis. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi perilaku yang
mengganggu dan meningkatkan keterampilan belajar serta komunikasi. Perilaku
baru dicapai dengan reinforcer. Terapis memasangkan reiforcer sosial (pujian)
dengan reinforcer primer (makanan) untuk membentuk perilaku baru. Seorang
terapis Ivar Lovas mempraktikkan behavioral
therapy pada 19 anak autis dengan penanganan 40 jam/minggu selama dua
tahun. Setiap anak berperilaku baik diberikan reward. Hasilnya 12 anak mencapai IQ normal, 9 di antaranya naik
kelas dua (Davidson, Neale, & Kring, 2010)
REKOMENDASI
Penulis
merekomendasikan kepada terapis atau orang tua yang mempunyai buah hati
penyandang autis, seperti Dulah, untuk memberikan intervensi psikologi behavioral therapy yang dipadukan dengan
intervensi alternatif akupunktur. Dua pendekatan secara kolaboratif dinilai
efektif untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Intervensi akupunktur diarahkan
untuk pengaktifan neurotransmitter, sedangkan intervensi behavioral therapy diarahkan untuk kondisioniong penghasil perilaku
baru.
REFERENSI
Davidson, G.C., Neale, J.M, &
Kring, A.M. (2010). Psikologi Abnormal
Edisi Keenam. Jakarta: Rajawali Press.
National Geograpic. (27 September
2013). Mengubah Persepsi Anak Autis
Melalui Autimaze. Diakses dari http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/mengubah-persepsi-anak-autis-melalui-autismaze
pada tanggal 5 April 2015.
Nevid, N.S., Rathus, S.A. &
Greene, B. Psikologi Abnormal Edisi Kedua.
Jakarta: Erlangga.
Nurani. (24 Juli 2011). Salah Kaprah yang Membahayakan. http://suaramerdeka.com/v1/
index. php/ read/cetak/2011/07/24/153634/Salah-Kaprah-yang-Membahayakan.
Diakses pada tanggal 5 April 2015.
Youtube. (2014). Arogya Akupunktur
Klaten. https://www.youtube.com/watch?v=5GS8cOc1
Youtube. (2015). Bocah Penderita Autis
Dipasung https://www.youtube.com/watch?v=TRR4
*)
merupakan tugas mata kuliah Patologi dan Terapi Lintas Budaya MAGPSI
2014/2015
Dosen
Prof Dra Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar