Kampanye sebagai sebuah bentuk persuasi massa kian marak akhir-akhir ini. Apalagi kalau bukan gegera tahun politik. Ya. Juni 2018 kita disuguhkan pilkada di 171 daerah, dan pada Agustus 2018 nanti racik-racik komposisi Presiden-Wakil Presiden 2019 sudah dimulai.
Saya mengamati setidaknya kandidat-kandidat bakal calon kepala daerah di empat provinsi besar. Belum juga diresmikan KPUD, kampanye beraroma agama sudah harum terasa.
Kampanye dengan mengkategorisasikan diri dengan agama (satu dari empat unsur SARA) adalah sah dalam politik. Sebab yang dilarang adalah merendahkan SARA yang lain. Dari kaca mata pemilih pun, memilih berdasarkan ajaran agama jelas merupakan kemerdekaan masing-masing.
Bicara soal politik dan agama, kita ingat nasihat dari Bapak Presiden Jokowi, "Pisahkan Politik dan Agama!"
Alih-alih memisahkan diri dari agama, di Pilkada 2018 ini, politisi justru giat mendekatkan diri pada identitas, aktivitas, dan tokoh agama. Apapun asal partainya. Yang biasanya jarang sowan kyai, sekarang maraton silaturahmi. Yang tidak berkerudung, sekarang sudah menutupi rambut dengan sehelai kain. Makam pinisepuh ulama pun ramai bunga dan untaian doa.
Dalam hal pendekatan terhadap simbol agama, siapakah yang sebenarnya politisi sedang sasar? Apakah pemilih rasional? Jelas bukan. Politisi itu sedang menyasar pemilih sosiologis, pemilih yang menyandarkan keputusan berdasarkan identitas sosial. Sejumlah penelitian pun menegaskan pemilih rasional, jumlahnya tak lebih dari 35%. Artinya, pemilih sosiologis itu sangat potensial.
Sebagai penutup, saya memiliki asumsi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pemilih sosiologis. Saya tidak yakin semua pemilih mengerti (atau setidaknya hafal) visi-misi politisi kandidat itu. Tapi saya sangat yakin pemilih tau betul apa agama, partai, dan darimana kandidat itu berasal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar