Rabu, 10 Januari 2018

Mengapa Pemilih Rasional?




Sejumlah analis politik mengarahkan agar masyarakat menjadi pemilih rasional, yang berbasis pada prestasi kerja. Seolah tipe pemilih lain, seperti pemilih sosiologis, psikologis, dan relasional, perlu segera dimetamorfosiskan. Pemilih sosiologis dituding SARA, pemilih psikologis dibilang labil albaper.

Pemilih rasional itu memang bagus, tapi agaknya ada sisi unggul tipe pemilih lain yang terabaikan. Pemilih sosiologis, contohnya, mempunyai pertimbangan aspek sosial dan kewilayahan yang futuristik, memandang preferensi keberpihakan (pengambilan kebijakan) calon pemimpin jauh di masa yang akan datang. Mempertimbangkan proses dan hasil senyawa identitas sosial.

Contohnya, perilaku pemilih Jawa Tengah. Pemilih Jawa Tengah mempunyai sejarah mengantarkan calon pemimpin dengan modal elektabilitas di bawah 10% menjemput kemenangan di atas 40%. Mengapa? Banyak masyarakat Jawa Tengah merupakan pemilih relasional. Siapa pun bila berelasi dengan partai tertentu, pasti akan dipilihnya.

Calon muda atau yang baru injak kaki masuk politik, tentu tak sebanding dengan orang lama atau petahana. Dalam prestasi mengelola pemerintahan, maksudnya. Ikhwal itulah pemimpin baru hadir menawarkan ide, gagasan. Di sini ada kalanya logika tipe pemilih rasional sulit menjelaskan hal itu, namun justru rentan digunakan untuk merendahkan calon baru.

Ya. Inilah demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berdiri di bumi Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa dalam pemilihan umum seolah keragaman itu mesti dilangkahi? Kiranya tidak perlulah masyarakat digiring cepat-cepat menjadi pemilih rasional. Mengalir. Nikmati saja. Toh, kalau itu baik, pasti juga ke arah sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar