Turut berduka cita atas kejahatan kemanusiaan Bom Surabaya. Dan pasca kejadian, muncullah dalil #KamiTidakTakut, yang sesungguhnya mengandung kontroversi. Mengapa?
Pertama, dalil #KamiTidakTakut merupakan bentuk psy war yang (justru) membangkitkan kembali benih-benih perilaku teror. Meskipun benih, faktanya kita masih sulit memberantas secara paripurna. Ya. Ini sejatinya bukan perkara siapa takut dan siapa tidak takut, karena memang bukan level tawuran antar kelompok. Negara tak seremeh itu; posisinya jauh lebih tinggi, jauh lebih kuat.
Kedua, dalil #KamiTidakTakut jika mengalami pengulangan perilaku teror dan efek berjatuhannya korban, malah melemahkan dalil itu sendiri. Hari Rabu (9/5) muncul pasca kerusuhan, hari Minggu (13/5) terjadi Bom di Surabaya dan Sidoarjo, serta lagi-lagi Senin (14/5) Bom di Surabaya. Bung, mekanisme otak tidak mengenal kata "Tidak". Maka residu yang tertinggal hanyalah: ketakutan.
Ketiga, dalil #KamiTidakTakut mestinya disubtitusi dengan dalil eling lan waspada (red: ingat dan waspada). Repetisi himbauan agar masyarakat untuk waspada, dan aparat untuk siap siaga. Menjaga ruang-ruang publik. Senyap, menindak benih-benih teror, di manapun, entah di gereja, entah di masjid, entah di jalanan perumahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar