Zaman
sekarang (mungkin) ada peralihan dari pemimpin transformasional menjadi
pemimpin senyam-senyum dan pemimpin marah-marah yang menyihir media. Zaman
sekarang etika interpersonal sudah dikorosi. Buktinya ada pemimpin yang
teriak-teriak dan menjuluk sesuatu yang buruk, rame-rame didewakan. Saat sudah
cinta buta, benar bisa* jadi salah, salah bisa* jadi benar. Apa saja.
(*) Bisa terlihat, bagi yang bisa melihat
(*) Bisa terlihat, bagi yang bisa melihat
Catatan 11
Desember 2015
Kedua, adalah respons
terhadap pelaporan SN terhadap SS. Ketika idola dijatuhkan, penggemar merasa
turut dijatuhkan. Sense of belonging. Polanya mirip: SS dan netizen pendukung. Pencideraan
etika diselesaikan dengan pengadilan etika, pun hukum juga diselesaikan dengan
hukum. Cara mengembalikan trust masyarakat adalah sanksi etika pada SN. Sanksi
atas pencideraan kepercayaan ini berpotensi membuat SN harus merelakan turun
dari kursi DPR RI 1.
Pun masyarakat mestinya
juga tidak bisa tutup mata, JIKA perekaman oleh MS tanpa persetujuan itu
melanggar etika sekaligus hukum. Masyarakat juga akan lebih bermartabat jika
memang ada kesalahan pelontaran istilah oleh SS, yang berimplikasi hukum. Sebagai
catatan, tagar #SaveSudirmanSaid bukan dilontarkan
oleh khayalan, sebagaimana dikatakan seorang anggota MKD. Justru di sini
ungkapan emosi dan pikiran terungkap secara jujur. Dalam bahasa psikologi, inilah
wajah tanpa persona.
Catatan 18
Desember 2015
Ada yang menarik dari
stimulus (larangan ojek online menhub Jonan) dan respons (pemanggilan presiden
Jokowi terhadap sang menhub). Jarak antara larangan menhub dan respons presiden
sangat cepat, sehingga menimbulkan multi persepsi bagi publik. Pertama,
persepsi publik positif terhadap langkah cepat presiden sebagai pendengar
aspirasi masyarakat. Kedua, persepsi publik bernada negatif yang mempertanyakan
motif; hasil skenario atau tidak(?), demi mendapat atensi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar