Sabtu, 12 Desember 2015

Psikologi Nasionalisme



Membaca Serpihan Nasionalisme Indonesia*
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy


Nasionalisme identik dengan paham kebangsaan yang tumbuh mekar sekitar abad ke-18. Kala itu, negara-negara di Eropa saling bersaing untuk memperkuatkan diri, harkat dan martabatnya. Meskipun demikian –bila kita mau telusuri jauh lebih lampau–  sejatinya semangat yang serupa dengan nasionalisme telah ada sejak dahulu. Hanya belum beristilah saja. Cakupannya pun tidaklah sama. Dia lebih nyaman berkembang sebagai paham yang menuntun para kawula untuk mengkategorisasikan diri, mencintai dan mengabdi pada sebuah kota maupun raja yang berkuasa.
Gelombang nasionalisme sebagai paham meluas seiring dengan ekspansi Eropa. Semangat kecintaan atas identitas kebangsaan menjangkiti seluruh bangsa di muka bumi. Sayang, Asia dan Afrika terlebih dahulu harus merasai derita menjadi korban nasionalisme Eropa. Sebab apa? Nasionalisme Eropa adalah kecintaan yang bersifat destruktif; yang menyerang-nyerang. Dia menyempit dan menjelma dalam laku chauvinis. Dia tersandera dalam pola pikir pengunggulan diri dan perendahan bangsa lain.
Membicarakan nasionalisme memang penuh dengan tanda tanya. Awal mendalami konsep ini dalam beberapa tahun terakhir, saya pun dirundung pertanyaan; apa iya nasionalisme berbahaya? Seperti apakah nasionalisme yang (telah) berkembang dalam peradaban manusia Indonesia? Kemudian, bagaimana nasionalisme dipahami menggunakan kacamata psikologi? Barangkali pertanyaaan-pertanyaan sederhana inilah yang menarik untuk kita diskusikan pada kesempatan yang mulia ini.

Sekilas Nasionalisme
Sebelum jauh melangkah, perlu kiranya kita membahas terlebih dahulu apa itu nasionalisme(?) Seorang ahli sejarah bernama Hans Kohn (1984) mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu paham yang memberikan kesadaran kepada penduduk dan mewajibkan meraka untuk memahami keanggotaannya. Negara-kebangsan dianggap sebagai cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik. Senada dengan Kohn, Anthonie Smith (2003) memandangnya sebagai suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau bangsa yang potensial. Artinya, benang merah nasionalisme ialah paham loyalitas kebangsaan.
Di ranah ilmu psikologi, nasionalisme mulai dilirik ilmuwan psikologi dalam dua dekade terakhir. Sebagian besar dari ilmuwan berjuang untuk membahasakannya secara psikologis, kemudian mengidentifikasi perilaku yang ditampilkan serta mengkaji kasus-kasus yang relevan. Setidaknya ada dua rujukan yang bisa kita tuju, yaitu Psychology of Nationalism-nya Joshua Searle-White (2001) dan satu bab yang khusus membahas Nasionalisme dari karya berjudul Introduction of Political Psychology milik Cottam, Uhler, Mastors dan Preston (2010).
Kata Searle-White nasionalisme merupakan identifikasi individu dengan kelompok yang memiliki kesamaan sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk penentuan nasib sendiri demi menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut negara-bangsa (negara merdeka yang penduduk utamanya satu bangsa). Dalam penelitian saya tahun 2014 pada kaum muda-kritis-terdidik, nasionalisme dimaknai sebagai sebuah perasaan bangga dan cinta terhadap bangsa yang diwujudkan dalam tindakan. Perasaan bangga diawali oleh pemahaman tentang potensi dan masalah negara-bangsa serta kontribusi yang diberikan oleh negara-bangsa. Pemahaman inilah yang menumbuhkan sense of belonging. Jadi, boleh dibilang bahwa nasionalisme dari pisau bedah psikologi mengarah pada identifikasi individu pada kelompok bernama bangsa. Tak ayal, Social Identity Theory dan teori sikap punya andil besar dalam pembahasan tema ini.
Lalu, seperti apa nasionalisme dimanifestasikan? Kata Cottam dan kawan-kawan, para nasionalis memberikan loyalitas utama bagi bangsa yang dipersepsikan sebagai sebuah in-group. Mereka berkomitmen terhadap persatuan, kemerdekaan, martabat, dan kesejahteraan negara-bangsanya. Mereka tetap mencintai bangsa, bahkan ketika tidak menyukai pemerintah. Mereka juga termotivasi untuk memiliki suatu kelekatan positif yang kuat dengan bangsa serta memandang bahwa in-group lebih baih daripada out-group.

Indonesia Muda
Aku ingin membangun negara di mana semua orang merasa bahagia di dalamnya
-Mohammad Hatta-

Nasionalisme dalam peradaban Indonesia merupakan rekayasa sosial yang mahadahsyat. Kenapa dikatakan rekayasa mahadahsyat? Karena sesungguhnya Indonesia atau Hindia Belanda adalah kumpulan suku-suku yang tidak sama satu dengan yang lain; yang memiliki latar belakang dan narasi historis yang tidak berbeda. Kesemuanya itu dipersatukan oleh derita dan keinginan merdeka. Alhasil, terjadilah epifani yang saya istilahkan sebagai “proklamasi nasionalisme” pada tahun 1928.
Apa nasionalisme menurut pendiri bangsa? Kata Soekarno (1926) –seorang muda yang berideologi kebangsaan–  nasionalisme adalah itikad rakyat yang menyatakan bahwa mereka satu bangsa. Rasa nasionalistis ini menimbulkan rasa percaya diri; yang pada gilirannya memunculkan ketetapan hati untuk mencapai Indonesia Merdeka. Dia juga mengemukakan bahwa Indonesia terilhami dari nasionalisme yang berkembang di dunia timur. Ada keyakinan, tidak sedikit pemikiran Soekarno dipengaruhi oleh pendekar nasionalis seperti Mahatma Gandhi (India) dan Sun Yat Sen (Tiongkok). Berikut kutipan penjabaran pemikirannya saat sudah didaulat menjadi jurumudi Indonesia:

Untuk membuat bangsa kita ini kuat dan negara kita ini kuat dan untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan mak­mur nanti, kita tidak menghendaki supaya nasionalisme kita men­jadi nasionalisme yang chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan, nasionalisme yang mencari usaha agar segala umat manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya. (22 Juli 1958)

Nasionalisme dalam perkembangannya menjadi bagian dari satu meja statis yang bernama Pancasila. Ketuhanan, Perikemanusiaan (internasionalisme universal), Persatuan (nasionalisme), Musyawarah (demokrasi), dan Keadilan Sosial. Pancasila dirumuskan dalam sidang BPUPKI yang dihadiri banyak tokoh yang secara keyakinan dan kesukuan relatif hadir. Saya pribadi menangkap bahwa Pancasila adalah masterpiece kontemplasi yang tidak bisa lepas dari tiga kekuatan pikir NASAKOM!

Indonesia Kekinian



Pasca kejatuhan reformasi 1998, Pancasila seperti disudutkan begitu sahaja. Pancasila seperti diisolasi dalam lorong-lorong gelap nan sepi dalam ramainya hiruk-pikuk kehidupan masyarakat. Tampaknya memori kelam penyalahgunaan asas Tunggal Pancasila oleh kepemimpinan Soeharto masih belum menemui kesepakatan damai di tubuh masyarakat, khususnya golongan tua. Golongan generasi pembangunan. Sementara itu golongan muda, yang minim akses hanya samar-samar mengenal Pancasila. Padahal di dalam Pancasila, seperti yang saya katakan tadi: mengandung semangat kebangsaan. Nasionalisme!
 Nasionalisme termaknai bebas oleh individu, sebagai akibat minimnya peran negara. Individu (dan kelompok tertentu) seperti dibiarkan mencari kecintaannya. Locus of control-nya internal. Minim retorika hegemonik dan romantik perihal kebanggaan sebagai bangsa oleh tokoh-tokoh nasional. Saya tidak mengatakan ini hal yang buruk sama sekali, karena barangkali Indonesia harus melewati fase yang demikian.
Pun demikian kondisi tersebut menimbulkan dugaan, mungkin saja kealfaan tokoh nasionalis sejati menjadi salah satu sebab yang menjadikan kepercayaan diri dan self esteem masyarakat berkurang. Tanpa mengesampingkan penyebab lain seperti memori kolektif penindasan dan narasi modern yang miris lantaran dibola-saljukan oleh media massa bertuan.
Lebih lanjut, saya pribadi khawatir bila hal ini dibiarkan bekerlanjutakan bisa saja akan memunculkan etno-nasionalisme; yang pada waktunya nanti banyak daerah “berpamit” untuk berdiri sebagai negara yang merdeka. Atau mungkin memunculkan pertanyaan miris “apa manfaat menjadi Indonesia?”, yang berujung pada hijrah massal kewarganegaraan. Kekhawatiran ini sejujurnya bukanlah hal yang baru, karena sejak awal Indonesia Muda kita sudah diingatkan bahwa bukan tidak mungkin simpul-simpul persatuan itu akan memudar dengan berbagai pemantik.
Oleh sebab itu, untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia seutuhnya, yang kita butuhkan adalah ikhtiar mewujudkan nasionalisme yang memberi ruang bagi pemaknaan nasionalisme secara individual, dan (kembali) menghadirkan negara sebagai penjaga simpul kebhinnekaan untuk tetap menjadi tunggal ika. Nasionalisme yang menginsyafi kondisi faktual keberagaman di tanah air untuk mencapai tujuan mulia yang sudah terumus dalam konstitusi. Nasionalisme yang boleh disebut sebagai Nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika!

Tanahku tak ku lupakan, engkau kubanggakan
Tanah ku yang kucintai, engkau kuhargai
(Ibu Soed)


* disampaikan dalam Forum Psikologi Progresif di Yogyakarta tahun 2014


REFERENSI
Alfaruqy, M.Z. & Masykur, A.M. (2014). Memaknai nasionalisme: Studi kualitatif fenomenologis. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Semarang: Universitas Diponegoro
Cottam, M.L., Uhler B. D., Mastors, M., & Preston T. (2012). Pengantar psikologi politik. Jakarta: Rajawali Pers.
Kohn, H. (1984). Nasionalisme: Arti dan sejarahnya. Jakarta : Erlangga.
Searle-White, J. (2001). The psychology of nationalism. New York: Palgrave.
Smith, A. D. (2003). Nasionalisme: Teori, ideologi, sejarah. Jakarta: Erlangga.
Soekarno. (2005). Dibawah bendera revolusi; jilid satu. Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar