Membaca Serpihan
Nasionalisme Indonesia*
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Nasionalisme
identik dengan paham kebangsaan yang tumbuh mekar sekitar abad ke-18. Kala itu,
negara-negara di Eropa saling bersaing untuk memperkuatkan diri, harkat dan
martabatnya. Meskipun demikian –bila kita mau telusuri jauh lebih lampau– sejatinya semangat yang serupa dengan nasionalisme
telah ada sejak dahulu. Hanya belum beristilah saja. Cakupannya pun tidaklah
sama. Dia lebih nyaman berkembang sebagai paham yang menuntun para kawula untuk mengkategorisasikan diri, mencintai
dan mengabdi pada sebuah kota maupun
raja yang berkuasa.
Gelombang
nasionalisme sebagai paham meluas seiring dengan ekspansi Eropa. Semangat kecintaan
atas identitas kebangsaan menjangkiti seluruh bangsa di muka bumi. Sayang, Asia
dan Afrika terlebih dahulu harus merasai derita menjadi korban nasionalisme
Eropa. Sebab apa? Nasionalisme Eropa adalah kecintaan yang bersifat destruktif;
yang menyerang-nyerang. Dia menyempit dan menjelma dalam laku chauvinis. Dia tersandera
dalam pola pikir pengunggulan diri dan perendahan bangsa lain.
Membicarakan
nasionalisme memang penuh dengan tanda tanya. Awal mendalami konsep ini dalam
beberapa tahun terakhir, saya pun dirundung pertanyaan; apa iya nasionalisme
berbahaya? Seperti apakah nasionalisme yang (telah) berkembang dalam peradaban
manusia Indonesia? Kemudian, bagaimana nasionalisme dipahami menggunakan kacamata
psikologi? Barangkali pertanyaaan-pertanyaan sederhana inilah yang menarik
untuk kita diskusikan pada kesempatan yang mulia ini.
Sekilas Nasionalisme
Sebelum
jauh melangkah, perlu kiranya kita membahas terlebih dahulu apa itu
nasionalisme(?) Seorang ahli sejarah bernama Hans Kohn (1984) mendefinisikan
nasionalisme sebagai suatu paham yang memberikan kesadaran kepada penduduk dan
mewajibkan meraka untuk memahami keanggotaannya. Negara-kebangsan dianggap
sebagai cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik. Senada
dengan Kohn, Anthonie Smith (2003) memandangnya sebagai suatu gerakan ideologis
untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu
populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang
aktual atau bangsa yang potensial. Artinya, benang merah nasionalisme ialah paham loyalitas kebangsaan.
Di
ranah ilmu psikologi, nasionalisme mulai dilirik ilmuwan psikologi dalam dua
dekade terakhir. Sebagian besar dari ilmuwan berjuang untuk membahasakannya secara
psikologis, kemudian mengidentifikasi perilaku yang ditampilkan serta mengkaji
kasus-kasus yang relevan. Setidaknya ada dua rujukan yang bisa kita tuju, yaitu
Psychology of Nationalism-nya Joshua Searle-White
(2001) dan satu bab yang khusus membahas Nasionalisme dari karya berjudul Introduction of Political Psychology
milik Cottam, Uhler, Mastors dan Preston (2010).
Kata
Searle-White nasionalisme merupakan identifikasi individu dengan kelompok yang
memiliki kesamaan sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk
penentuan nasib sendiri demi menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut
negara-bangsa (negara merdeka yang penduduk utamanya satu bangsa). Dalam
penelitian saya tahun 2014 pada kaum muda-kritis-terdidik, nasionalisme dimaknai
sebagai sebuah perasaan
bangga dan cinta terhadap bangsa yang diwujudkan dalam tindakan. Perasaan
bangga diawali oleh pemahaman tentang potensi dan masalah negara-bangsa serta
kontribusi yang diberikan oleh negara-bangsa. Pemahaman inilah yang menumbuhkan sense of belonging. Jadi, boleh dibilang bahwa nasionalisme dari pisau bedah
psikologi mengarah pada identifikasi
individu pada kelompok bernama bangsa. Tak ayal, Social Identity Theory dan teori sikap punya andil besar dalam pembahasan
tema ini.
Lalu,
seperti apa nasionalisme dimanifestasikan? Kata Cottam dan kawan-kawan, para nasionalis memberikan
loyalitas utama bagi bangsa yang dipersepsikan sebagai sebuah in-group. Mereka berkomitmen terhadap
persatuan, kemerdekaan, martabat, dan kesejahteraan negara-bangsanya. Mereka
tetap mencintai bangsa, bahkan ketika tidak menyukai pemerintah. Mereka juga
termotivasi untuk memiliki suatu kelekatan positif yang kuat dengan bangsa
serta memandang bahwa in-group lebih
baih daripada out-group.
Indonesia Muda
Aku ingin membangun negara di mana
semua orang merasa bahagia di dalamnya
-Mohammad Hatta-
Nasionalisme
dalam peradaban Indonesia merupakan rekayasa sosial yang mahadahsyat. Kenapa
dikatakan rekayasa mahadahsyat? Karena sesungguhnya Indonesia atau Hindia
Belanda adalah kumpulan suku-suku yang tidak sama satu dengan yang lain; yang
memiliki latar belakang dan narasi historis yang tidak berbeda. Kesemuanya itu
dipersatukan oleh derita dan keinginan merdeka. Alhasil, terjadilah epifani
yang saya istilahkan sebagai “proklamasi nasionalisme” pada tahun 1928.
Apa
nasionalisme menurut pendiri bangsa? Kata Soekarno (1926) –seorang muda yang
berideologi kebangsaan– nasionalisme
adalah itikad rakyat yang menyatakan bahwa mereka satu bangsa. Rasa
nasionalistis ini menimbulkan rasa percaya diri; yang pada gilirannya
memunculkan ketetapan hati untuk mencapai Indonesia Merdeka. Dia juga
mengemukakan bahwa Indonesia terilhami dari nasionalisme yang berkembang di
dunia timur. Ada keyakinan, tidak sedikit pemikiran Soekarno dipengaruhi oleh pendekar
nasionalis seperti Mahatma Gandhi (India) dan Sun Yat Sen (Tiongkok). Berikut kutipan
penjabaran pemikirannya saat sudah didaulat menjadi jurumudi Indonesia:
Untuk membuat
bangsa kita ini kuat dan negara kita ini kuat dan untuk menyelenggarakan
masyarakat adil dan makmur nanti, kita tidak menghendaki supaya nasionalisme
kita menjadi nasionalisme yang chauvinis, tapi nasionalisme yang hidup di
dalam suasana perikemanusiaan, nasionalisme yang mencari usaha agar segala umat
manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga besar yang sama
bahagianya. (22 Juli 1958)
Nasionalisme
dalam perkembangannya menjadi bagian dari satu meja statis yang bernama Pancasila. Ketuhanan, Perikemanusiaan (internasionalisme
universal), Persatuan (nasionalisme), Musyawarah (demokrasi), dan Keadilan
Sosial. Pancasila dirumuskan dalam sidang BPUPKI yang dihadiri banyak tokoh yang
secara keyakinan dan kesukuan relatif hadir. Saya pribadi menangkap bahwa Pancasila
adalah masterpiece kontemplasi yang
tidak bisa lepas dari tiga kekuatan pikir NASAKOM!
Indonesia Kekinian
Pasca kejatuhan reformasi 1998, Pancasila seperti disudutkan begitu sahaja. Pancasila seperti diisolasi dalam lorong-lorong gelap nan sepi dalam ramainya hiruk-pikuk kehidupan masyarakat. Tampaknya memori kelam penyalahgunaan asas Tunggal Pancasila oleh kepemimpinan Soeharto masih belum menemui kesepakatan damai di tubuh masyarakat, khususnya golongan tua. Golongan generasi pembangunan. Sementara itu golongan muda, yang minim akses hanya samar-samar mengenal Pancasila. Padahal di dalam Pancasila, seperti yang saya katakan tadi: mengandung semangat kebangsaan. Nasionalisme!
Nasionalisme termaknai bebas oleh individu,
sebagai akibat minimnya peran negara. Individu (dan kelompok tertentu) seperti
dibiarkan mencari kecintaannya. Locus of
control-nya internal. Minim retorika hegemonik dan romantik perihal
kebanggaan sebagai bangsa oleh tokoh-tokoh nasional. Saya tidak mengatakan ini
hal yang buruk sama sekali, karena barangkali Indonesia harus melewati fase
yang demikian.
Pun
demikian kondisi tersebut menimbulkan dugaan, mungkin saja kealfaan tokoh
nasionalis sejati menjadi salah satu sebab yang menjadikan kepercayaan diri dan
self esteem masyarakat berkurang. Tanpa
mengesampingkan penyebab lain seperti memori kolektif penindasan dan narasi modern
yang miris lantaran dibola-saljukan oleh media massa bertuan.
Lebih
lanjut, saya pribadi khawatir bila hal ini dibiarkan bekerlanjutakan bisa saja akan
memunculkan etno-nasionalisme; yang pada waktunya nanti banyak daerah “berpamit”
untuk berdiri sebagai negara yang merdeka. Atau mungkin memunculkan pertanyaan
miris “apa manfaat menjadi Indonesia?”, yang berujung pada hijrah massal kewarganegaraan. Kekhawatiran ini sejujurnya bukanlah
hal yang baru, karena sejak awal Indonesia Muda kita sudah diingatkan bahwa
bukan tidak mungkin simpul-simpul persatuan itu akan memudar dengan berbagai
pemantik.
Oleh
sebab itu, untuk mewujudkan kebangsaan Indonesia seutuhnya, yang kita butuhkan
adalah ikhtiar mewujudkan nasionalisme yang memberi ruang bagi pemaknaan
nasionalisme secara individual, dan (kembali) menghadirkan negara sebagai
penjaga simpul kebhinnekaan untuk tetap menjadi tunggal ika. Nasionalisme yang
menginsyafi kondisi faktual keberagaman di tanah air untuk mencapai tujuan
mulia yang sudah terumus dalam konstitusi. Nasionalisme yang boleh disebut
sebagai Nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika!
Tanahku tak ku lupakan, engkau kubanggakan
Tanah ku yang kucintai, engkau
kuhargai
(Ibu Soed)
* disampaikan dalam Forum Psikologi Progresif di Yogyakarta tahun 2014
REFERENSI
Alfaruqy,
M.Z. & Masykur, A.M. (2014). Memaknai
nasionalisme: Studi kualitatif fenomenologis. Skripsi. Tidak
Dipublikasikan. Semarang: Universitas Diponegoro
Cottam,
M.L., Uhler B. D., Mastors, M., & Preston T. (2012). Pengantar psikologi politik. Jakarta: Rajawali Pers.
Kohn, H. (1984).
Nasionalisme: Arti dan sejarahnya.
Jakarta : Erlangga.
Searle-White,
J. (2001). The psychology of nationalism.
New York: Palgrave.
Smith, A. D. (2003).
Nasionalisme: Teori, ideologi, sejarah.
Jakarta: Erlangga.
Soekarno.
(2005). Dibawah bendera revolusi; jilid
satu. Jakarta: Yayasan Bung Karno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar