Catatan 25
Desember 2015
Di penghujung tahun ini,
ada beberapa catatan menarik terkait jalannya roda politik Indonesia, khususnya
mengenai tarik – menarik kebutuhan berkuasa (need
for power). Pertama, koalisi yang dibangun selama 2014 ternyata, satu tahun
berselang, menjadi cair. Sebagian anggota koalisi oposisi nyatanya tidak tahan
dengan “daging-daging” kekuasaan. Sudah berapa partai saja yang gaduh dan terbelah
menjadi dua kubu. Satu kubu istiqmah
ingin jadi oposisi sejati, sedangkan kubu lainnya ngiler aroma daging kekuasaan. Pun, aneh, dalihnya sama yaitu mengatasnamakan
rakyat. Pertanyaannya rakyat yang mana (?)
Kedua, tidak ada
pemerintahan (eksekutif) yang kokoh berdiri hanya dengan dukungan koalisi
ramping. Sekuat pun (calon) presiden Jokowi kala pilpres 2014 meyakinkan bahwa
kolisinya adalah koalisi partai ditambah dengan rakyat, nyatanya sekarang koalisi
ramping justru membuatnya tidak nyaman. Terlebih beliau bukan tokoh utama
partainya. Meski tidak tersurat, langkah – langkah yang ditampilkan saat ini
menunjukkan ada upaya “penarikan pernyataan” (penulis tidak menggunakan istilah
“menjilat ludah sendiri”). Sehingga komunikasi untuk mendapatkan dukungan terus
dilakukan sana – sini.
Ketiga, sinyal tawaran
untuk menjadi partai pendukung pemerintah, sejauh ini berhasil menarik satu
partai dari koalisi oposisi. Dengan perkataan lain, struktur koalisi ramping sudah
menandakan ada penggemukan. Dalam perspektif ilmu politik, memang idealnya
eksekutif didukung 50% + 1 legislatif. Jika terlalu ramping kurang
menguntungkan, dan terlalu gemuk juga kurang baik. Mengapa? Koalisi terlalu
gemuk membuat kurang gesit karena tersandera oleh banyak kepentingan. Kemungkinan
besar ada satu partai lagi yang akan ditarik.
Keempat, setelah ada partai
baru masuk ke koalisi partai pendukung pemerintah, maka tidak lama lagi akan ada
reshuffle. Setegas apapun partai baru ini meyakinkan bahwa tidak minta jatah
menteri dan memang secara murni ingin menguatkan pemerintahan, pasti udang di
balik bakwannya menginginkan jua. Saya pikir, rakyat sudah cukup cerdas membaca
kasus ini. Sebagai catatan, presiden Jokowi perlu tegas, senada dengan
pernyataannya tahun 2014 bahwa menteri – menteri di kabinet dipikir-persiapkan
secara matang. Sayang, jika muncul persepsi liar bahwa presiden terombang –
ambing oleh kepentingan, dan tidak mengedepankan kompetensi si menteri.
Kelima, prediksi saya manuver-manuver
partai-partai sekarang akan berimplikasi pada 2019 nanti. Pada ujungnya partai yang konsisten menjadi opisisi ataupun konsisten
berada di lingkaran pemerintahan yang akan bertahan dan memperoleh dukungan konstituen.
Sementara partai yang “galau” dan tidak jelas arahnya perlahan-lahan akan
ditinggalkan. Mengapa? Karena sebagian besar masyarakat ada di dua kutub yang saling
berbeda. Nah, partai yang “galau”,
tidak jelas arah, apalagi tidak punya basis massa tetap, dan relatif (meng)kecil
perannya –baik yang di oposisi, maupun yang di lingkaran pemerintahan— akan gulung
tikar.