Selasa, 17 Mei 2016

Psyframe: Mudanesia 4


17 Januari 2016

 oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy


Awal 2016 diawali dengan masuknya aliran dukungan Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK, menyusul sikap PAN yang terlebih dahulu membuka sambut tangan. Dengan apapun istilahnya, keberpihakan dua partai yang pernah berafiliasi dalam KMP telah bulat. Abaikan, kemungkinan atribusi bahwa sikap Golkar di awal 2016 ini ada kaitannya dengan titik temu ARB dan AL bahwa sikap partai sesuai dengan kehendak kubu AL tetapi nahkoda tetap diberikan kepada ARB.

Bandul Kekuatan Legislatif
Sementara pimpinan dan alat kelengkapan masih di pundak sejumlah elite yang terdeklarasi dalam KMP tahun 2014, bandul kekuatan legislatif nyatanya sudah begeser ke KIH. Hitungan matematis, dari 560 kursi DPR RI, PDIP (109) + PKB (47) + Nasdem (36) + Hanura (16) saja sudah berjumlah 208. Jika ditambah PAN (48) + Golkar (91) maka jumlahnya sudah mencapai 347 kursi atau 61,96%. Tafsir kita, legislatif sudah selaras dengan eksekutif. Praduga bahwa akan ada penjegalan terhadap pemerintahan sudah tidak relevan lagi. Terlepas bahwa setahun lebih berjalan, kritik pedas terhadap Jokowi-JK sebenarnya justru datang dari partai pengusung.

Konsekuensi dari otak-atik komposisi kelompok tersebut di atas, juga mengirim pesan bahwa nilai tawar PPP (39) di legislatif bagi KIH sudah menurun jika dibandingkan sebelum ada manuver partai beringin di awal 2016 ini. Pesan lain dilayangkan kepada Partai Demokrat (61). Posisinya sebagai partai penyeimbang boleh dikatakan tidak urgen lagi sebab komposisi KIH jauh meninggalkan KMP. Akhirnya partai yang masih “ada” di KMP hanya tinggal Gerindra (73) dan PKS (40). Jumlah ini sangat kecil bahkan layak untuk disebut kelompok sub-ordinat.

Jatah Eksekutif Kursi Menteri
Bagaimana kondisi di eksekutif, khususnya pembagian kursi menteri? Masuknya Golkar dan PAN tentu merupakan kemenangan lobi punggawa Jokowi. Kemenangan tersebut lantas menyisakan pekerjaan rumah baru bagi Jokowi untuk membagi kursi menteri. Tentu kita masih ingat saat diumumkan di Istana Merdeka, 34 menteri Kabinet Kerja terdiri dari 18 menteri dari unsur profesional dan 16 menteri dari unsur partai (26/10/2014). Komposisi itu berubah pada Agustus 2015 dan akan berubah lagi tahun 2016.

Sementara PAN dan Golkar berpotensi mendapat (2 – 4) kursi menteri, maka posisi menteri dari unsur profesional dan dari unsur partai lama akan terpelanting keluar. Sejumlah menteri yang sering gaduh, entah profesional entah elite politik, daya tawarnya menurun di mata presiden. Partai yang tergabung dalam KIH Pemilu 2014, pun harus bersiap – siap kehilangan sejumlah menteri mereka. Terlebih partai yang relatif kecil. Makan hati berulam jantung.

Jalan Menuju Pemilu Legislatif 2019
Sejauh ini masyarakat, secara psikologis, masih terbelah menjadi dua kutub, yaitu pendukung Jokowi dan bukan pendukung Jokowi (lebih relevan daripada menyebut sebagai pendukung Prabowo, apalagi Hatta). Fenomena dua kutub ini memang merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia dan menarik untuk dianalisis bagaimana prediksi di waktu yang akan datang. Sebagai catatan modal politik Jokowi di 2014 adalah 70,9 juta suara, sedangkan yang bukan pendukung Jokowi adalah 62,5 juta suara.

Satu hal yang pasti, jika Jokowi sukses memimpin pemerintahan yang masih tersisa 3 tahun ini maka medan magnet kutub pendukung Jokowi akan semakin kuat dan bertambah, sebaliknya jika gagal maka yang bertambah adalah kutub yang bukan pendukung Jokowi. Pun demikian, trend yang ada sekarang terjadi menunjukkan bahwa pendukung Jokowi menanjak naik. Pertanyaanya seberapa besar efek dua kutub ini bagi pileg 2019 mendatang?

Bertambahnya jumlah pendukung Jokowi pada gilirannya akan menambah gemuk dukungan masyarakat terhadap partai pendukung pemerintahan. Sayangnya, penggemukan ini diprediksi tidak proporsional. Hanya sebagian partai saja yang akan menikmati presentase kenaikan dukungan pada pileg 2019. Dan kandidat terkuat tentulah PDIP. Mengapa? Masyarakat akan melihat keberhasilan pemerintahan sebagai keberhasilan Jokowi yang notabene adalah kader PDIP.

Kenaikan suara tersebut berasal dari hijrahnya masyarakat bukan pendukung Jokowi menjadi pendukung Jokowi dan hasil reduksi dari partai-partai lain yang sekarang mendukung pemerintahan. Bukan kenaikan suara yang diperoleh, justru stagnansi bahkan penurunan yang didapat. Apa pasal? Partai lain, khususnya partai kecil, tersisih perannya di mata masyarakat lantaran dipersepsi tidak banyak berkontribusi. Partai yang memiliki massa tetap mungkin akan bisa bertahan meskipun untuk grafik naik masih dipertanyakan.

Hal yang berpeluang besar mengalami kenaikan justru datang dari partai yang sekarang berada di luar pemerintahan. Mengapa? Partai semacam ini diuntungkan karena memperoleh dukungan masyarakat yang masih setia menjadi bagian dari kelompok bukan pendukung Jokowi. Jumlahnya tidak kurang dari 1/3 penduduk Indonesia. Ini menjadi potensi besar yang akan digarap oleh partai seperti Gerindra dan PKS. Potensi semakin besar, jika prestasi pemerintahan tidak menunjukkan kegemilangan namun menunjukkan kebangkrutan karena lilitan hutang dan keterpurukan ekonomi.

Patut kita nantikan siapa yang akan berjaya dalam pemilu 2019 mendatang. Akankah posisi empat besar masih sama seperti tahun 2014 yakni PDIP (18,95%), Golkar (14,75%), Gerindra (11,81%) dan Demokrat (10,19%)? Atau justru ada partai lain yang lihai memanfaatkan peluang dan potensi dukungan masyarakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar