17 Januari 2016
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Awal
2016 diawali dengan masuknya aliran dukungan Golkar terhadap pemerintahan
Jokowi-JK, menyusul sikap PAN yang terlebih dahulu membuka sambut tangan.
Dengan apapun istilahnya, keberpihakan dua partai yang pernah berafiliasi dalam
KMP telah bulat. Abaikan, kemungkinan atribusi bahwa sikap Golkar di awal 2016
ini ada kaitannya dengan titik temu ARB dan AL bahwa sikap partai sesuai dengan
kehendak kubu AL tetapi nahkoda tetap diberikan kepada ARB.
Bandul Kekuatan Legislatif
Sementara
pimpinan dan alat kelengkapan masih di pundak sejumlah elite yang terdeklarasi dalam
KMP tahun 2014, bandul kekuatan legislatif nyatanya sudah begeser ke KIH.
Hitungan matematis, dari 560 kursi DPR RI, PDIP (109) + PKB (47) + Nasdem (36)
+ Hanura (16) saja sudah berjumlah 208. Jika ditambah PAN (48) + Golkar (91)
maka jumlahnya sudah mencapai 347 kursi atau 61,96%. Tafsir kita, legislatif
sudah selaras dengan eksekutif. Praduga bahwa akan ada penjegalan terhadap
pemerintahan sudah tidak relevan lagi. Terlepas bahwa setahun lebih berjalan,
kritik pedas terhadap Jokowi-JK sebenarnya justru datang dari partai pengusung.
Konsekuensi
dari otak-atik komposisi kelompok tersebut di atas, juga mengirim pesan bahwa
nilai tawar PPP (39) di legislatif bagi KIH sudah menurun jika dibandingkan
sebelum ada manuver partai beringin di awal 2016 ini. Pesan lain dilayangkan kepada Partai Demokrat (61). Posisinya sebagai partai penyeimbang
boleh dikatakan tidak urgen lagi sebab komposisi KIH jauh meninggalkan KMP. Akhirnya
partai yang masih “ada” di KMP hanya tinggal Gerindra (73) dan PKS (40). Jumlah
ini sangat kecil bahkan layak untuk disebut kelompok sub-ordinat.
Jatah Eksekutif Kursi Menteri
Bagaimana
kondisi di eksekutif, khususnya pembagian kursi menteri? Masuknya Golkar dan
PAN tentu merupakan kemenangan lobi punggawa Jokowi. Kemenangan tersebut lantas
menyisakan pekerjaan rumah baru bagi Jokowi untuk membagi kursi menteri. Tentu
kita masih ingat saat diumumkan di Istana Merdeka, 34 menteri Kabinet Kerja terdiri
dari 18 menteri dari unsur profesional dan 16 menteri dari unsur partai
(26/10/2014). Komposisi itu berubah pada Agustus 2015 dan akan berubah lagi tahun
2016.
Sementara
PAN dan Golkar berpotensi mendapat (2 – 4) kursi menteri, maka posisi menteri
dari unsur profesional dan dari unsur partai lama akan terpelanting keluar. Sejumlah
menteri yang sering gaduh, entah profesional entah elite politik, daya tawarnya
menurun di mata presiden. Partai yang tergabung dalam KIH Pemilu 2014, pun
harus bersiap – siap kehilangan sejumlah menteri mereka. Terlebih partai yang
relatif kecil. Makan hati berulam jantung.
Jalan Menuju Pemilu Legislatif 2019
Sejauh
ini masyarakat, secara psikologis, masih terbelah menjadi dua kutub, yaitu
pendukung Jokowi dan bukan pendukung Jokowi (lebih relevan daripada menyebut
sebagai pendukung Prabowo, apalagi Hatta). Fenomena dua kutub ini memang
merupakan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia dan menarik untuk dianalisis
bagaimana prediksi di waktu yang akan datang. Sebagai catatan modal politik
Jokowi di 2014 adalah 70,9 juta suara, sedangkan yang bukan pendukung Jokowi
adalah 62,5 juta suara.
Satu
hal yang pasti, jika Jokowi sukses memimpin pemerintahan yang masih tersisa 3
tahun ini maka medan magnet kutub pendukung Jokowi akan semakin kuat dan
bertambah, sebaliknya jika gagal maka yang bertambah adalah kutub yang bukan
pendukung Jokowi. Pun demikian, trend yang
ada sekarang terjadi menunjukkan bahwa pendukung Jokowi menanjak naik.
Pertanyaanya seberapa besar efek dua kutub ini bagi pileg 2019 mendatang?
Bertambahnya
jumlah pendukung Jokowi pada gilirannya akan menambah gemuk dukungan masyarakat
terhadap partai pendukung pemerintahan. Sayangnya, penggemukan ini diprediksi tidak
proporsional. Hanya sebagian partai saja yang akan menikmati presentase
kenaikan dukungan pada pileg 2019. Dan kandidat terkuat tentulah PDIP. Mengapa?
Masyarakat akan melihat keberhasilan pemerintahan sebagai keberhasilan Jokowi
yang notabene adalah kader PDIP.
Kenaikan
suara tersebut berasal dari hijrahnya masyarakat bukan pendukung Jokowi menjadi
pendukung Jokowi dan hasil reduksi dari partai-partai lain yang sekarang mendukung
pemerintahan. Bukan kenaikan suara yang diperoleh, justru stagnansi bahkan
penurunan yang didapat. Apa pasal? Partai lain, khususnya partai kecil,
tersisih perannya di mata masyarakat lantaran dipersepsi tidak banyak
berkontribusi. Partai yang memiliki massa tetap mungkin akan bisa bertahan
meskipun untuk grafik naik masih dipertanyakan.
Hal
yang berpeluang besar mengalami kenaikan justru datang dari partai yang sekarang
berada di luar pemerintahan. Mengapa? Partai semacam ini diuntungkan karena
memperoleh dukungan masyarakat yang masih setia menjadi bagian dari kelompok bukan
pendukung Jokowi. Jumlahnya tidak kurang dari 1/3 penduduk Indonesia. Ini
menjadi potensi besar yang akan digarap oleh partai seperti Gerindra dan PKS.
Potensi semakin besar, jika prestasi pemerintahan tidak menunjukkan
kegemilangan namun menunjukkan kebangkrutan karena lilitan hutang dan keterpurukan
ekonomi.
Patut
kita nantikan siapa yang akan berjaya dalam pemilu 2019 mendatang. Akankah
posisi empat besar masih sama seperti tahun 2014 yakni PDIP (18,95%), Golkar
(14,75%), Gerindra (11,81%) dan Demokrat (10,19%)? Atau justru ada partai lain
yang lihai memanfaatkan peluang dan potensi dukungan masyarakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar