Catatan dinding
facebook Alfaruqy
M. Zulfa
11 April 2016
Negeri Tipu-Tipu
Masyarakat
kelas bawah, ibarat main, ini kalah banyak. Jangan harap perumahan elit juga
dapat perlakuan sama. Masih percaya kontrak politik?
Fenomana
kepemimpinan tipu-tipu masih menjadi primadona. Tapi anehnya dipilih juga. Aneh
kan. Memang begini. Calon pemimpinnya hobi tipu-tipu, (sebagian besar?)
masyarakatnya juga senang ditipu.
Pertanyaannya
yang menarik untuk setiap gelaran pilkada, hobi tipu-tipu dan kesenangan untuk
ditipu ini berulang lagi atau tidak? Kalau berulang
yawes. berarti . . .
11 April 2016
TERUSIR!
Dulu
saya simpatik dengan Jakarta Baru ala Jokowi-Basuki. Penawaran gaya
kepemimpinan merakyat yang memanusiakan manusia. Memprototipe kepemimpinan
santun ("wong") Solo untuk diaplikasikan di Ibu Kota. Tapi
bergulirnya waktu banyak penyimpangan "janji". Dari kebohongan satu
ke kebohongan yang lain. Dan kini tampak transformasi besar berupa gaya
kepemimpinan yang otoriter-kapitalis.
Sama-sama
buka peta rencana tata ruang wilayah kota, adakah hunian elite yang digusur? Tidak! Malah disediakan 17 pulau, yang mustahil
terjangkau kantong proletar. Disediakan rusun yang jarak lokasinya jauh dari
pekerjaan sama juga mematikan pekerjaan itu sendiri. Rusun ini tidak gratis,
tapi bayar. Tidak kuat bayar rusun dan diusir lagi!
"dan
kamilah yang terusir dari tanah kami sendiri"
- -
- - - - - -
Maaf.
Karena bukan kader partai, jadi perubahan persepsi terhadap aktor politik
tergantung dari perilakunya. Bukan dari partainya.
30 April 2016
Ramai-ramai Jadi Alay Kampus
Acara
mata najwa masuk kampus, kalau sudah bahas politik, jadi misi pihak (partai?)
tertentu untuk ajang kampanye di civitas akademika. Mahasiswa ramai-ramai
menjadi "alay" layaknya acara-acara televisi lain. Tepuk tangan, riuh
ketidaksetujuan, dan riuh persetujuan dikoordinasi.
Kampusmu,
kampus alay?
14 Mei 2016
Senja di Teras Kampus
“Kampus
kerakyatan katanya. Tapi biaya semeninggi langit, Yah.”
“Iya,
Nak. Karena tidak semua rakyat itu miskin! Ayah akan jual sepetak tanah di
belakang rumah. Semoga cukup untuk masuk kampus ini. Berharap kau akan jadi
orang pintar, Nak. Kau tak boleh kerdil. Tenanglah, keringat ayah masih deras
untuk diperas.”
“Tapi
sisakan air mata ayah untukku.”
Sang
ayah tersenyum. dipeluknya anak itu, sambil berjalan pulang menyusuri jalanan.
16 Mei 2016
Neo Palu-Arit
Dua
tahun yang lalu, saat pilpres, media sosial ramai membincangkan jikalau salah
satu pasangan yang menang maka neo-PKI akan berani menampakkan eksistensinya. Benar
saja, pasangan yang dimaksud menang. Saya tidak sedang berfantasi untuk menguji
korelasinya. Yang pasti sekarang keberadaan neo-PKI semakin nyata. Berani. Dari
wajah-wajahnya neo-PKI ini generasi 80-an dan 90-an yang sudah pasti tidak
bersinggunggan secara langsung dengan "perjuangan" paleo palu-arit. Inilah
reinkarnasi, kelahiran baru ketidaksadaran yang lama dikubur.
Setiap
bangsa memilih peradabannya sendiri, memilih sejarah dan siklus-sejarahnya
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar