Ringkasan penelitian “Menapak Tilas Jalan Panjang
Persatuan: Sebuah Analisis Biografis–Hermeneutis Makna Nasionalisme Ir.
Soekarno” oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy (2015)
oleh Muhammad Zulfa Alfaruqy
Pendahuluan
Ir Soekarno, presiden pertama
Indonesia, adalah salah satu tokoh nasional yang memainkan peran sentral dalam
pergerakan, prosesi kemerdekaan, dan pembentukan karakter bangsa. Meskipun
telah empat puluh lima tahun meninggal dunia, Soekarno atau yang lebih akrab
disapa Bung Karno tidak lekang oleh waktu. Banyak kajian yang dilakukan untuk
menelisik lebih dalam pribadi kharismatik tersebut, namun sepertinya tidak
pernah menemui ujung akhir. Menurut Azra (dalam Ans, 2014) Soekarno merupakan
sosok yang fenomenal dan kompleks, sehingga tidak pernah habis dibahas dalam
ranah kajian ilmiah maupun ranah kajian yang lain. Selalu ada sisi kehidupannya
yang menarik untuk diperbincangkan lebih jauh.
Mahfud M.D. (dalam Daras, 2013)
menyebut Soekarno sebagai manusia dengan kualitas multidimensional. Soekarno
bukan hanya politikus tetapi negarawan par
excellence yang berhasil membangun kekaguman rakyat atas dirinya karena
visi kenegarawanan dan perjuangan untuk nasionalisme. Sehingga apapun latar
belakang politik yang dimiliki anak bangsa sekarang, bahkan termasuk yang
berseberangan aliran politik, selama masih waras pasti akan menaruh hormat
kepada Panglima Besar Revolusi Indonesia tersebut.
Soekarno dengan ketajaman
filosofinya mengekstraksi penyelaman keindonesiaan dalam sebuah dasar negara
yang dikenal dengan Pancasila. Lima
dasar negara yang terdiri dari kebangsaan (nasionalisme),
internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan
sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Philosophie
grondslag itu disampaikan pada sidang terakhir BPUPKI. Dari dasar negara
yang dipaparkan tampak ada kelekatan Soekarno dengan nasionalisme. Kelekatan
tersebut diperkuat dengan kutipan naskah yang dipublikasikan pada tahun 1941:
“Sejak dari waktu pergerakan pemuda
(waktu itu saya murid kelas dua H.B.S. Surabaya), sampai masuk ke dalam
pergerakan politik, sampai mendirikan partai politik sendiri, sampai masuk
penjara, sampai diinternir, sampai sekarang, masih tetaplah nasionalisme, saya punya “rasa” dan
saya punya “haluan”.
Mengkonstruksi nasionalisme Soekarno
menjadi tantangan bagi para ilmuwan, tidak terkecuali bagi ilmuwan psikologi.
Houghton (2008) dalam Political Psychology mengatakan meskipun merupakan
kajian baru dalam bidang psikologi, nasionalisme bukanlah fenomena baru.
Searle-White (2001), menjelaskan bahwa dalam kancah psikologi, nasionalisme
merupakan identifikasi individu terhadap kelompok yang mempunyai kesamaan
sejarah, bahasa, wilayah dan kombinasinya. Nasionalisme menjadi gerakan bagi suatu bangsa untuk menentukan nasib sendiri
guna menciptakan sebuah negara merdeka yang disebut negara-bangsa (yaitu negara
merdeka yang penduduk utamanya berasal dari satu bangsa).
Metode Penelitian
Peneliti menggunakan penelitian
kualitatif dengan perspektif biografis-hermeneutis. Menurut Denzin dan Licoln
(dalam Herdiansyah, 2012), biografi adalah studi mengenai kehidupan seseorang
yang menggambarkan peristiwa penting dengan berdasarkan kepada kumpulan
dokumen-dokumen. Hermeneutika, berasal dari kata hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan teks.
Pengumpulan data dilakukan dengan analisis teks dokumen pribadi dan dokumen
resmi. Dokumen tersebut berasal dari Arsip Nasional dan naskah Di Bawah Bendera
Revolusi (Soekarno, 2005). Secara
garis besar, penelitian ditujukan untuk menjawab pertanyaan berikut: a) Apa
makna nasionalisme bagi Ir Soekarno?, b) Bagaimana dinamika nasionalisme dalam
setiap fase hidup Ir Soekarno dari masa ke masa?
Hasil Penelitian
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Ir Soekarno memaknai nasionalisme sebagai perasaan
sekaligus ideologi yang mecintai tanah air atas dasar pengetahuan/ kesadaran
bahwa merupakan bagian dari persatuan bangsa. Nasionalisme timbul dari rasa
cinta kepada manusia dan kemanusiaan, yang di dalamnya menyertakan peran Tuhan
sebagai sang pemberi anugerah perasaan. Penginsyafan pada hal tersebut
memberikan corak khas nasionalisme yang tidak bersifat destruktif atau
menyerang negara-bangsa lain. Nasionalisme dimanifestasikan melalui totalitas
pengabdian kepada tanah air dengan menggeluti dunia politik untuk mencapai dan
mempertahankan Indonesia Merdeka.
Nasionalisme
Soekarno yang dinamis memunculkan empat segmen. Pertama, segmen nasionalis, yang memiliki kekhasan berupa usaha
keras membangun kesadaran dan kemuan (pemimpin) tiga gerakan ideologi
nasionalisme, islamisme, dan marxisme agar tidak saling bertikai dan bersatu
padu untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Kedua,
segmen nasionalisme marhaenis/marhaenisme yang mempunyai kekhasan berupa upaya
mengangkat derajat kemapanan kaum-kaum yang tertindas karena sistem kapitalisme
yang telah dipraktikkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketiga, segmen integrasi diri, yang mempunyai kekhasan berupa
sintesis diri antara nasionalisme, marxis serta Islam, sebagai efek atas
pendalaman agama yang telah dilakukan. Keempat,
segmen pembentukan karakter bangsa, yang mempunyai kekhasan berupa upaya
peningkatan nasionalisme rakyat yang dimanifestasikan nyata dalam pembentukan
karakter tangguh.
Daftar
Pustaka
Ans, S. (2014). Harta amanah
soekarno. Jakarta: Ufuk.
Daras, R. (2013). Total bung karno.
Depok: Imania
Herdiansyah,
H. (2012). Metodologi penelitian
kualitatif untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Houghton, D.
P. (2008). Political psychology. New York: Taylor & Francis.
Searle-White,
J. (2001). The psychology of nationalism.
New York: Palgrave.
Soekarno, Ir.
(2005). Di bawah bendera revolusi.
Jakarta: Yayasan Bung Karno.