oleh Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa Social
Studies Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
“Garuda
Pancasila akulah pendukungmu/ Patriot proklamasi sedia berkorban untukmu/ Pancasila
dasar negara, rakyat adil makmur sentosa, pribadi bangsaku”
(Garuda
Pancasila – Sudharnoto)
Inilah sepenggal lirik syarat makna yang terdengung tegas di lubuk sanubari setiap manusia Indonesia. Sebagian besar di antara kita mungkin masih teringat bahwa lagu tersebut merupakan salah satu lagu nasional yang sering kita lantunkan di usia dini. Bahkan tatkala kita belum mengerti apa arti pula esensi dari “Pancasila” itu sendiri.
Di kekinian masa, Pancasila dapat kita pahami sebagai pedoman dasar negara bangsa (nation state). Sila yang panca tersebut tidak sekejap jadi, tetapi mengalami penyesuaian secara kontinum. Maka, dalam suasana Hari Lahir Pancasila ini, marilah kita berterima kasih kepada Bung Karno dan kolega yang mencanangtegakkan lima pokok kebaikan. Kebangsaan, internasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Mahakarya
yang Dikerdilkan (?)
Dalam
sejarah berdirinya negara-bangsa beserta ideologi yang menyertai, Pancasila dan
Indonesia (pernah) diagungkan, dihormati serta dikagumi oleh bangsa sendiri dan
bangsa lain. Bagaimana tidak? Negara yang baru bebas dari pasung penjajahan
sudah mampu bersuara lantang; memberi sumbangan gagasan pada dunia. Seketika
itu Indonesia mercusuar di tengah negara new
emerging forces.
Pancasila
memanggul di pundaknya fungsi integratif bagi nusantara dengan segala
kebhinnekaan suku, budaya, agama dan bahasa. Sehingga, tak berlebihan rasanya
bila kita mengaklamasikan Pancasila sebagai warisan mahakarya sekaligus satu
dari empat pilar kebangsaan. Namun sayang, dasar negara yang lahir 1 Juni 1945 bak
menjadi pemahaman marjinal di negeri tempat dia dilahirkan.
Asyumardi
Azra (2010) bertutur setidaknya ada tiga faktor yang membuat Pancasila masih
marjinal. Pertama, Pancasila
dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang pernah menjadikan
Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh
Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap
organisasi yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain. Ketiga, desentralisasi dan otonom daerah
yang sedikit banyak memperkuat semangat kedaerahan.
Benalu
Pancasila
Benalu-benalu
subur menghinggapi integrasi sila dalam Pancasila. Menjerat, kemudian mengoyak
hingga menipis maknanya. Ketuhanan yang esa telah
terkontaminasi dengan unsur-unsur bangkrut yang mengutamakan okol kepentingan
(politis mengatasnamakan) agama. Agama diadu sekonyong-konyongnya. Mokshartham jagahita atau membangun
kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah; telah jauh panggang dari api.
Sementara
itu, kemanusian
kita menemui das sein yang condong
negatif. Kita seperti dikelabuhi. Kemanusiaan yang kita anut tidaklah merampas
hak fakir, tidak mengkorupsi sedekah untuk rakyat miskin, dan tidak pula memanfaatkan
amanah rakyat sebagai legalitas kekuasaan nan banal. Kemanusiaan Indonesia ialah
kemanusiaan yang santun, beradab dan adil sesuai kadarnya. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang
menghargai kebhinnekaan. Bukan sebaliknnya, mengkerdilakan rakyat minoritas
atau bahkan memecah-belah kesatuan dengan demi syahwat golongan.
Ingatan
kita juga merekam jelas demokrasi yang sesumbar perihal kerakyatan. Tapi nyatanya,
sistem demokrasi terperangkap dalam pusaran perwakilan transaksional antara
wakil rakyat dan rakyatnya. Di parlemen pun terjadi hal serupa; yakni
musyawarah transaksi kepentingan. Kasus Century misalnya, bukankah ini parodi panggung
yang bertransaksi (?)
Khususnya
dalam dekade terakhir, rakyat dibiarkan lama mendambakan keadilan yang berunjung
pada frustasi sosial. Rakyat kecil ditudinglemparkan sebagai musabab kekacauan
dan akar benalu bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Tetapi, kita seakan
lupa bahwa kekacauan itu lahir dari ketidakmerataan, ketimpangan dan ketidakadilan
sosial.
Semoga
benalu yang melilit segera dapat dimusnahkan. Dasar negara kita bukan agama
mayoritas, bukan sekadar impian kemanusiaan dan persatuan, ataupun keadilan
bagi yang berkuasa. Dasar kita adalah Pancasila yang memuliakan manusia
Indonesia. Selamat Hari Lahir Pancasila. Kitalah pendukung(mu).