Oleh
Alfaruqy M. Zulfa
Mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Sejarah
adalah kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang
tokoh, masyarakat, dan peradaban. Demikian kata Herodotus, Bapak Sejarah. Atas
dasar itu, secara bijak, peradaban menempatkan manusia sebagai pelaku sekaligus
penulis kronologi sejarah bangsa yang jujur apa adanya.
Salah satu
sejarah pilu bangsa kita ialah G30S/PKI. Konon, berlatarbelakang perebutan kuasa,
gerakan ini menghembuskan isu dewan jendral dan dengan sadis membunuh perwira AD
seperti Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T.
Haryono, Brigjen D.I. Panjaitan, serta Brigjen S. Siswomiharjo. Bereaksi; rakyat
yang sebagian besar mahasiswa pun menghendaki pembubaran PKI. Maka dengan wewenang
pemulihan keadaan, Mayjen Soeharto mengabulkan panyuwunan tersebut.
Itu sekilas gambaran
duka 1 Oktober 1965 dini hari versi literatur sejarah yang termuat di buku diktat
kala kita duduk di bangku sekolah. Buku yang secara sistematis masuk dalam alam
bawah sadar dan memberi imagery kisah
pemberontakan berdarah.
Alur Tunggal
Satu di
antara banyak ciri penulisan sejarah Indonesia ialah kental akan alur tunggal.
Alur tunggal memuat satu konten narasi sejarah dan merupakan alat paling manjur
dalam pembentukan ingatan kolektif masyarakat (collective memory).
Dalam
konteks G30S, ingatan kolektif berperan besar guna memunculkan nama tujuh
pahlawan sebagai korban, PKI sebagai tokoh antagonis, serta pembubar PKI
sebagai tokoh protagonis. Meski menuai keganjilan, mengenai siapa sebenarnya dalang
di balik sejarah, sebagian besar kita teguh meyakini apa yang telah ditulis pewarta
sejarah. Hanya sedikit yang sangsi, dan terlalu sedikit yang sungguh hati ingin
merekontruksi ulang secara jujur.
Bila boleh
jujur, sejatinya terlalu banyak masa lampau yang patut dipertanyakan ke-sahih-annya. Namun apa boleh buat, kuasa
penguasa Orba begitu kuat. Keganjilan bak suara hati yang diam menyaksikan alur
tunggal mengoceh tak ada lawan. Ya. Alur-alur pengganggu dicitrakan sebagai
tutur tinular yang (sengaja) dimatikan atau dibiarkan mati sendiri dalam ruang hampa.
Peringatan-peringatan
karya Orba juga menyirat multifungsi, yang salah satu fungsinya memperkuat
jalan cerita. Seberapa penting atau seberapa benar, tak terlalu dipersoalkan.
Belum lagi monumen-monumen yang kokoh berdiri untuk memperkokoh narasi pilihan
atau film dengan efek audio-visual nan kuat yang sengaja dicipta demi
memperkuat emosi dan belief.
Kisah Lainnya
Kembali melihat
G30S. Bila kita amati, yang paling kerap bersenandung dalam diktat sejarah
ialah kisah pembunuhan dewan jendral, dilanjutkan pembubaran PKI. Namun apakah
benar cerita pilu tersebut membilang angka tujuh sebagai jumlah korban? Apakah hanya
pembubaran PKI, sebagai buntut Tri Tuntutan Rakyat? Kiranya tidak.
Kesadisan peristiwa
penculikan dini hari nyatanya berujung penumpasan (balik) besar-besaran
terhadap anak negeri yang tegak di bawah bendera palu-arit. Benedict Anderson tahun
1985-an memperkirakan 500.000 sampai 1 juta jiwa melayang sia-sia, tersebar
seantero nusantara. Mengerikan. Penumpasan ini membantai anggota, simpatisan dan
keluarga yang tak tahu menahu perihal kudeta. Sedemikian cepat kala itu,
sehingga rakyat tak sempat membaca analisis lain seperti analisis yang menyebut
G30S sebagai persoalan internal TNI/AD, atau kudeta Soeharto terhadap Soekarno,
atau rekayasa Soekarno, atau konspirasi Aidit/Soekarno dan Mao Zedong, ataupun
provokasi asing (Sulastomo, 2008).
Sungguh, sejarah
memang sebuah oase mencari kebenaran masa lalu, namun tak jarang pula ada yang
memanfaatkan sebagai alat pembenaran. Malahan kita kerap larut sebagai pelaku
sejarah dengan kepentingan tertentu; dan secara sukarela kita pun mewarisi apa
yang Hamdi Muluk sebut sebagai ingatan palsu.
Maka, budaya
triangulasi mesti kita lakukan. Sebab sudah menjadi tanggungjawab moral seluruh
masyarakat, kususnya insan mahasiswa untuk tanggap memaknai peristiwa, dan menguak
dalang di balik layar sejarah. Di samping terus mencari kebenaran saat menulis
sejarah dalam konteks kekinian zaman. Gusti
mboten sare.